Tok... tok... tok...
Suara pintu diketuk membuatku terbangun dipagi hari. Segera aku bangkit dan berjalan kearah pintu untuk membukanya.
"Anda memiliki waktu tiga puluh menit untuk bersiap-siap, nona. Saya akan menunggu anda di aula." Ucap seorang pelayan yang kemarin mengantarku, tentu saja setelah aku membuka pintu. Lalu ia berbalik dan sepertinya ia langsung turun ke lantai satu. Setelahnya, aku menutup pintu dan menyiapkan diri.
-//-
Aku turun ke lantai satu. Aku mencari aula istana. Karena kemarin aku lupa menanyakan letak aula, aku jadi kesusahan sendiri sekarang. Aku mencoba untuk berbelok ke arah kanan, saat melihat pintu besaryang terbuka lebar. Seakan diriku di tarik kesana, aku mengikuti arah langkahku. Saat tiba di ujung pintu itu, aku melihat sebuah kereta berukuran besar dengan seekor beruang besar berwarna ungu muda yang mengendarainya. Tempat ini seperti mimpi, batinku.
"Permisi, apa ada yang bisa saya bantu?" Tanya seseorang dari arah belakangku. Aku segera menoleh ke belakang. Ternyata hanya seorang pelayan. Aku ingat kalau aku harus ke aula istana.
"Dimana letak aula istana ini?" tanyaku langsung pada pelayan itu.
"Nona ada urusan disana?" Tanya pelayan itu. Aku mengerenyit tak suka. Pelayan yang satu ini agak kepo menerutnya.
"Tentu saja aku ada urusan disana."
"Aula istana ada di sebelah kiri jika anda berada di tangga. Ada di sebelah utara kalau dari sini."
"Terima kasih, aku permisi." Ucapku lalu melangkah ke tempat yang pelayan itu ucapkan. Dan, benar saja, pelayan itu—pelayan yang menyuruhku ke aula—menungguku disana. Sepertinya, pelayan itu adalah orang utusan sang raja yang akan menemaniku selama aku berada di istana. Karena, dari waktu raja memerintahnya sampai saat ini selalu ia yang megarahkanku.
Di aula sudah ada pelayan itu dan seorang peri cantik. Telihat jelas kalau ia berasal dari kalangan bangsawan karena penampilannya yang berkelas. Aku pun berjalan mendekat.
"Nona, perkenalkan, dia adalah putri Awalisa. Ia yang akan menjadi pembimbing serta pelatihmu selama mempelajari hal-hal tentang peri." Jelas pelayan itu. Vivy pun mengangguk paham.
"Putri, ini adalah nona Vivy. Dia adalah seorang manusia." Jelas pelayan itu mengenalkanku pada putri itu. Putri itu pun mengangguk, tersenyum ramah.
"Baiklah, tugas saya sudah selesai. Saya pamit, putri, nona." Pamit pelayan itu. Kami—Aku dan putri Awalisa—mengangguk sambil tersenyum. Setelah pelayan itu benar-benar pergi meninggalkan aula barulah sang putri menghadap padaku sepenuhnya. "Ayah sudah bercerita tentangmu. Jadi kamu tidak perlu memperkenalkan dirimu lagi. Ayo kita mulai belajar! Apa pelajaran yang ingin kamu pelajari terlebih dahulu?" Tanya putri Awalisa, membuatku harus berpikir.
"Oh ya, kamu tidak perlu memanggilku dengan sebutan Putri Awalisa. Itu terlalu panjang. Panggil saja Putri Awa." Lanjutnya berbicara. Aku mengangguk, mengiyakan.
"Sepertinya lebih baik jika kita mulai belajar dari perpustakaan istana, ya?" Tanyanya meminta persetujuanku.
"Aku tidak tahu apapun tentang duniamu, putri. Jadi, terserah padamu saja." Ucapku yang akhirnya buka suara.
"Oke, kalau seperti itu, ayo kita pergi!" Ajaknya. Kami berdua berjalan beriringan ke perpustakaan.
Tanpa mereka sadari, ada seseorang yang menguping pembicaraan mereka dari awal mereka berdua bertemu.
"Oh, jadi itu manusia yang semalam ayah bicarakan? Sepertinya tidak ada yang istimewa. Mengapa ia sangat dijaga dan diperlakukan seolah-olah ia berharga? Sepertinya tidak masalah jika aku bermain-main sedikit dengan manusia itu." Kata orang itu setelah melihat Putri Awa dan manusia bernama Vivy itu meninggalkan aula. Ia pun mengikuti Putri Awa dan Vivy pergi ke perpustakaan. Agar keberadaannya tidak diketahui, ia menggunakan mantra yang membuat dirinya tak terlihat. Lalu saat sudah sampai di perpustakaan, ia menghilangkan mantranya, membiarkan dirinya terlihat. Tentu saja, agar ia tidak di curigai.
-//-
Perpustakaan yang dimaksud Putri Awa tadi adalah suatu ruangan besar yang dipenuhi rak berisi buku-buku dan ditengah ruangan itu terdapat sebuah meja berbentuk lingkaran besar untuk peri-peri membaca. Ruangan itu pun di desain mewah dan buku-bukunya pun tersusun sangat rapi membuat siapapun yang memasukinya akan betah berlama-lama disana.
"Apakah ini surga? Ruangan ini indah sekali." Ungkap Vivy dengan mata berbinar. Putri Awa terkekeh mendengar ungkapan polos dari manusia disampingnya.
"Ternyata kamu penyuka buku, ya? Berarti tak salah jika aku mengajakmu kesini terlebih dahulu." Ucap Putri Awa. Vivy mengangguk semangat, menanggapi ucapan Putri Awa.
"Tentu saja! Buku memberi kita banyak ilmu. Bagaimana aku tidak menyukainya?" Jawab Vivy.
"Hmmm... Bagus kalau begitu." Putri Awa menanggapi.
Mereka terus berjalan. Putri Awa membawa Vivy ke rak buku bagian pengetahuan umum tentang peri. Disana, Putri Awa memilih beberapa buku dan mengambilnya.
"Apa Putri butuh bantuan? Sepertinya buku-buku itu terlihat berat dan .... banyak." Ucap Vivy menawarkan bantuan.
"Tidak, Tidak perlu. Lagi pula, buku-buku ini tidak seberat kelihatannya." Tolak Putri Awa.
Setelah buku-buku yang diambil sudah memenuhi keinginan, Putri Awa dan Vivy melangkah menuju meja berbentuk lingkaran yang berada ditengah-tengah perpustakaan itu. Putri Awa cukup terkejut melihat Putri Nara juga berada disana. Pasalnya, Putri Nara tidak menyukai buku dan ia sangat malas berhubungan dengan hal yang berbau tentang ilmu pengetahuan. Baginya, lebih baik ia menghabiskan waktu seharian diruang dansa daripada harus bertemu buku. Putri Awa merasa ada sesuatu yang akan dilakukan Putri Nara apabila ia membiarkan Vivy tetap belajar diperpustakaan itu.
"Vivy, sepertinya akan lebih baik jika kita belajar di taman belakang istana, apa kamu keberatan?" Ajak Putri Awa.
"Itu tidak masalah, Putri." Jawab Vivy menyetujui ajakan Putri Awa.
Mereka—Putri Awa dan Vivy—baru saja akan melewati Putri Nara yang sedang membaca, tiba-tiba Putri Nara mengangkat kepala dan tersenyum melihat kedatangan Putri Awa dan Vivy.
"Selamat pagi, Tuan Putri." Sapa Putri Nara disertai sebuah senyuman yang melengkung dibibirnya, membuatnya terlihat seperti orang yang sangat ramah. Putri Awa tahu kalau Putri Nara sedang berpura-pura. Ia memutar bola matanya jengah melihat tingkah laku saudarinya. "Apa yang kamu lakukan disini Nara?" Bukannya membalas sapaan Putri Nara, ia malah bertanya. Ia memandang curiga kearah Putri Narra.
"Tentu saja aku sedang membaca, Putri." Jawab Putri Nara dengan tenang.
"Aku tahu kamu, Nara. Kamu tidak mungkin sudi menginjakkan kaki ketempat yang tidak kamu sukai. Pasti ada alasan tertentu."
"Baiklah, sepertinya kamu memang benar-benar mengenalku, ..." Putri Nara pun menutup buku yang tadi dibacanya.
"Tentu saja."Jawab Putri Awa singkat.
"... aku kesini hanya untuk melihat calon peri yang nanti akan aku uji." Lanjut Putri Nara lalu berdiri.
Tunggu dulu, kata peri ini tadi, ia ingin melihat orang yang nanti akan ia uji, ya? Itu berarti aku, bukan? Apa dia yang nanti akan mengujiku? Ah, semoga ia orang yang baik. Ucap Vivy didalam hati.
"Yah, kamu sudah melihatnya, bukan? Kalau begitu kamu boleh keluar dari tempat ini."
"Hmm... Jadi kamu mengusirku, yah? Oke, kalau begitu aku permisi." Ucap Putri Nara lalu berbalik dan meninggalkan perpustakaan.
"Vivy, sepertinya aku berubah pikiran. Kita belajar disini saja ya?"
"Eumm... Oke, tidak masalah."
Mereka berdua akhirnya duduk bersampingan. Putri Awa pun meletakkan buku-buku yang sedaritadi ia bawa.
"Putri, apa boleh aku bertanya?" Dengan ragu-ragu Vivy bertanya pada Putri Awa.
"Tentu saja. Apa yang ingin kamu tanyakan?"
"Ini tentang peri yang tadi menyapamu. Siapa dia?"
"Oh, itu tadi adalah Peri Nara. Ia saudariku. Lebih tepatnya, ia adalah adikku. Ia berbanding terbalik denganku. Walaupun ia berbanding terbalik denganku, ia tidak terlalu buruk. Dan, yah, ia lumayan jahil. Kamu harus berhati-hati."
"Apa karena tadi Putri melihat dia, Putri jadi mengajakku ke taman?"
"Hmm... Iya. Aku tidak ingin kamu menjadi salah satu korban dari kejahilannya. Karena bagaimanapun, kamu itu tamu terhormat. Jadi aku harus melindungimu dari kejahilannya."
"Aku mengerti. Tapi, ..."
"Tapi, ... Apa?"
"Tapi, ... Kenapa aku merupakan tamu terhormat?"
"Kamu tidak tahu?" Vivy menjawab pertanyaan Putri Awa denga menggelengkan kepala.
"Kamu benar-benar tidak tahu?" Tanya Putri Awa, lagi. Ia tak percaya dengan gelengan Vivy.
"Kalau aku tahu, buat apa aku bertanya?"
"Oke, yang pertama, karena kamu adalah manusia. Yang kedua, karena, menurut buku ramalan pulau ini, kamu adalah manusia terakhir yang akan datang ke pulau ini. Hazzardland, lebih tepatnya. Yang ketiga, menurut buku ramalan pulau ini, manusia terakhir yang dapat masuk kedalam pulau ini, pertama kali akan di urus oleh keturunan 'De Scarlett' yah, yang satu pulau ini pun juga tahu, Kaum Scarlett adalah Kaum kalangan atas. Sangat jarang ada peri yang bisa berhubungan langsung dengan kaum itu. Yang keempat, yang lebih membuatmu terhormat. Kami, maksudnya, aku dan Nara yang nanti akan turun tangan langsung mengujimu saat tes akhir akademi jalur khusus yang di buat Ayahku untukmu. Emm ... Apalagi, ya? Kurasa poin keempat adalah yang terakhir." Jelas Putri Awa secara rinci.
Vivy mengangguk paham. Hanya ada satu pertanyaan dibenaknya, "Eumm... Putri, Aku ingin bertanya," Vivy memberanikan diri untuk bertanya.
"Ya, silahkan. Tanya saja apa yang kamu ingin tanyakan." Persilahkan Putri Awa.
"Mmm... Memang kenapa jika kalian yag mengujiku nanti saat tes akhir, aku menjadi lebih terhormat?" Tanya Vivy.
"Oh, jadi kau tidak merasa terhomat kalau anggota kerajaan yang mengujimu nanti saat tes akhir akademi??!" Tanya Nara emosi. Tentu saja Vivy dan Putri Awa merasa terkejut melihat kehadiran Nara yang tiba-tiba berada di tengah-tengah mereka dalam keadaan emosi.
"Aaa .... Eumm .... Bu .... bukan—" Ucapan Vivy terpotong, Vivy jadi merasa bersalah telah menanyakan hal seperti itu.
"Nara?! Mengapa kau bisa berada disini?!!"Tanya Putri Awa, memotong ucapan Vivy.
"Tentu saja aku bisa." Jawab Nara acuh.
"Ini bukan tugasmu, Nara. Sebaiknya kamu lebih baik pergi dari sini!" Putri Awa kesal karena adiknya muncul lagi saat ia sedang mengajari Vivy. Putri Awa tahu kalau adinya itu tidak terlalu menyukai kehadiran Vivy.
"Aku harap kau mengajarinya tentang tingkatan penting dalam pualu ini. Aku permisi." Setelah mengucapkan itu, Nara melenggang pergi. Putri Awa melihat yang Vivy terus menunduk akhirnya menyentuh bahu Vivy, seolah berkata "Tidak apa-apa."
"Putri, Maaf, aku tak bermaksud—" Ucap Vivy sambil mengangkat kepalanya.
"Tak apa, Vy. Itu bukan masalah." Ucap Putri Awa. "Umumnya, para peri muda yang berada di Akademi akan di uji dengan peri-peri dewasa dari berbagai kaum yang mengajar di Akademi itu. Dan, jika mereka memang benar-benar beruntung sedang ada kunjungan keluarga kerajaan, maka anggota keluarga kerajaan yang menguji mereka secara langsung. Karena itulah, jika ada calon peri dewasa yang di uji dengan anggota keluarga kerajaan, mereka akan merasa terhormat. Tapi sampai sejauh ini, aku belum pernah mengajar ataupun melatihcalon peri dewasa, apalagi manusia sepertimu. Jadi aku juga ikut merasa terhormat karena melatih seorangcalon peri." Jelas Putri Awa tanpa diminta.
"Bagaimana dengan manusia lain sebelum diriku? Apa mereka tidak ingin menjadi peri?" Tanya Vivy penasaran. Putri Awa menggeleng,
"Tidak, sekalipun mereka ingin menjadi peri, mereka tidak bisa. Karena ..... karena mereka tidak memiliki kalung itu." Putri Awa menunjuk kalung berliontin yang Vivy pakai dengan ragu. "Tapi, biasanya, para peri muda hanya memiliki kalung polos berliontin putih. Seperti ini," Ucap Putri Awa lalu mengeluarkan kalung yang ada dibalik pakaiannya.
"Tapi, itu berwarna kuning pucat, Putri." Bingung Vivy. Putri Awa tersenyum. Membuat Vivy bertambah bingung.
"Ini karena aku adalah Kaum Castle."