Kepalaku terasa berat, bayangan laki-laki tua yang berjalan di depanku terus menghantuiku. Selalu saja begini, di saat semuanya baik-baik saja. Kenangan-kenangan di masa lalu muncul dengan tiba-tiba.
Membuatku harus mengingat lagi episode kehidupan paling buruk yang pernah terjadi. Sepanjang jalan, aku tak bisa fokus mengendarai motor. Beberapa kali stang motorku hampir menyerempet sepeda motor lainnya. Tubuhku rasanya oleng. Untung saja, bunyi klakson nyaring itu membuatku tersadar dari lamunan.
"Assalamualaikum, Bu... aku pulang!" tak ada jawaban. Kondisi rumah di sore ini, sepi sekali. Biasanya Ibu selalu menungguku di teras rumah. Duduk-duduk bersama ketiga keponakanku. Wajah itu yang selalu kutunggu, setiap mau pulang ke rumah
Setelah memarkir sepeda di depan rumah, aku segera masuk, cuci tangan lalu mencari di mana wanita yang kucintai berada. Saat berhasil menemukannya, kupeluk tubuhnya dengan erat dan memberinya ciuman sayang di kedua pipinya.
"Maafkan aku Bu, belum bisa membahagiakanmu" bulir-bulir bening jatuh membasahi wajahku. Melihat rambutnya yang memutih, gigi-giginya yang tanggal dan raganya yang sudah menua, membuatku semakin iba.
Ku rebahkan tubuhku di sampingnya. Menikmati kehangatan sambil memeluk tangannya. Dulu sewaktu kecil, aku dan Bintang sering berebut tangan Ibu. Sampai Ibu kewalahan menghadapi tingkah kami.
"Kamu pegang yang Kanan Bintang, kalau aku yang sebelah kiri." Aku berusaha merajuknya, agar Bintang melepaskan tangan kanan Ibu. Tapi ia tidak mau. Tangan kanan Ibu memang berbeda sentuhannya. Lebih nyaman dibandingkan tangan kirinya. Entahlah apa ini hanya perasaanku saja. Yang pasti kami berdua selalu berebut, hingga Mbak Cahya datang membawa sapu. Barulah kami akur.
Hari ini adalah hari yang melelahkan, tak ada jam istirahat. Melakukan analisis sampel bahan obat, membuatku harus fokus pada serangkaian proses pengujian di laboratorium. Lebih dari lima jam aku berdiri dan menghabiskan waktu di sana. Melakukan HPLC (High Performance Liquid Chromatography) atau biasa disebut kromatografi cair kinerja tinggi.
Kakiku terasa kram, keseimbangan tubuhku mulai tak stabil. Sementara partner kerjaku tidak bisa diandalkan. Kerjanya lambat dan sering mengeluh.
Mataku masih menatap langit langit rumah, sembari memikirkan hasil tes yang dua hari lagi akan segera diumumkan. Bismillah, semoga bisa diterima di universitas negeri.
Kalau melihat ujian kemarin, soal-soalnya bisa kutaklukkan. Besar kemungkinan aku lulus tes. Tak ia-sia belajar selama dua bulan. Tiap malam hampir tak pernah tidur. Terus berlatih. Harapanku, semoga sesuai dengan ekspektasi.
"Brakkk ...." suara pintu yang dibuka terdengar sangat keras. Sepertinya Bintang sudah pulang dari kerja. Saat masuk ke dalam kamar, wajahnya tampak kusut. Aku hanya memperhatikan gerak-geriknya. Ia melempar tas kerjanya, kemudian duduk sambil menatap layar gawainya.
"Sial, awas kau Rianti." Ia terus mengumpat, sepertinya ada kejadian tidak menyenangkan yang dialaminya di tempat kerja.
"Kamu kenapa, pulang-pulang langsung marah-marah?" Bintang hanya terdiam. Ia masih asyik dengan gawainya.
"Biasa, Rianti yang sok senior itu berbuat rusuh. Dia menuduhku melakukan pemalsuan data. Aku masih berusaha diam, karena menghormatinya sebagai seniorku. Tapi kalau setiap hari dia berbuat seperti itu. Aku harus melawannya." Ujarnya dengan nada geram sambil mengepalkan tangan.
"Ia juga melaporkanku sering membawa pulang es krim saat jaga malam." Matanya melirik ke arahku.
Hening.
Aku berusaha mencerna setiap kata-katanya.
"Tapi yang tentang membawa es krim, itu fakta kan?" wajahnya memerah, ia memukul bahu kananku.
"Iya sih, tapi kan cuma sedikit." Bintang membela diri.
"Sedikit ya, sampai membawa tujuh es krim setiap hari." Aku tertawa terbahak-bahak, sementara Bintang melempar wajahku dengan kertas.
"Sudah jangan bahas itu. Aku sedang tidak mood." Bintang langsung pergi keluar dan meninggalkanku.
Sembilan belas tahun lamanya, aku menghabiskan waktu bersamanya. Karena kami kembar, Ibu selalu membelikan baju dengan model dan warna sama. Potongan rambut sama, perlengkapan sekolah semuanya sama hingga daleman yang kami pakai juga sama.
Mungkin dulu, Ibu memberiku baju kembar agar terlihat semakin lucu, menggemaskan. Tapi saat menginjak masa remaja, kami sudah paham dan merasa malu saat berjalan bersama memakai baju kembat. Sampai sekarang pun, masih banyak teman, tetangga dan orang di sekitar kita yang belum bisa membedakan kami. Kata mereka, kami kembar identik.
"Kembar bodoh ... kembar bodoh!" Itulah julukan kami. Gadis kembar yang tak pernah punya prestasi di sekolah. Entahlah mengapa otak ini tak pernah bisa memahami pelajaran sekolah. Belajar seperti momok buatku. Nilai-nilaiku selalu berkisar antara dua puluh dan tiga puluh.
Perhitungan matematika sederhana tak mampu kuselesaikan dengan baik. Di sekolah juga jarang mendengarkan guru saat mengajar. Lebih banyak bertengkar. Masalah sedikit bisa makin runyam di tangan kami berdua.
"Cahya, Ibu minta tolong, antarkan buku PR ini ke sekolah adikmu. Kamu mau kan?" kata-kata ajaib itu yang selalu Ibu ucapkan kepada Mbak Cahya agar mau mengantarkan tugasku ke sekolah. Mbak Cahya sendiri yang menceritakan kepadaku
Selalu saja ada yang belum terbawa. Buku PR , peralatan sholat, tempat pensil, buku gambar. Mbak Cahya selalu menuruti perintah Ibu, meskipun dalam hatinya dongkol berat. Baru setelah pulang, mbak Cahya melampiaskan amarahnya. Aku selalu takut, lebih memilih bersembunyi di bawah meja.
"Sekali-kali biarkan saja Bu. Biar mereka merasakan hukuman. Agar tidak mengulanginya lagi. Sekolah kog gak punya tanggung jawab."
Ibu hanya terdiam. Sementara Mbak Cahya terus memarahiku. Hingga aku dan Bintang menangis. Tapi aku dan Bintang tak pernah jera, selalu mengulangi kesalahan yang sama.
**********
"Kamu harus tahu dik, Ibu sudah berkorban banyak untuk kita. Setiap malam, Ibu pergi menemui Ayah ke terminal Joyoboyo. Menunggu selama tiga jam kadang lebih, baru bisa bertemu dengan Ayah. Berdiri di sana sendirian, di tengah para supir lyn v yang sedang bergerumbul dan duduk santai.
Saat ada angkutan Lyn v lewat, Ibu selalu menitipkan pesan kepada temannya jika bertemu suaminya, minta agar segera kembali ke terminal karena Ibu sudah menunggu." Aku terus mendengarkan cerita Mbak Mirna, kakak pertamaku. Ada perasaan kasihan kepada Ibu
Setelah bertemu Ayah, Ibu menemaninya bekerja dengan duduk di sampingnya. Sambil berteriak, "Joyoboyo ... Tunjungan plasa, ayo Pak, Bu naik!"
Saat Ayah mulai ngantuk dan ingin menepi. Ibu selalu menepuk pundak Ayah dan menyemangatinya untuk terus mencari penumpang. Agar setoran hari ini bisa tertutupi.
Tapi, Ayah malam memilih makan di warung. Ibu yang menunggu lama di dalam angkot hanya bisa bersabar. Sementara Ayah malah asyik mengobrol bersama temannya.
"Serius Mbak Mirna, Ayah seperti itu?"
"Tuh, tanya saja sama Cahya, yang rutin ikut saat Ayah bekerja." Mbak Cahya menganggukkan kepala dan perasaanku makin tak karuan.
"Berarti uang yang didapatkan Ibu untuk membiayai kebutuhan hidup sehari-hari dan sekolah anak-anaknya dari bekerja ikut Ayah menjadi kernet?" aku tak bisa berkata apapun, hanya bisa mengelus dada.
"Iya benar Binar. Itu kalau Ayah sedang baik, kalau pas emosi. Saat pulang larut malam, Ibu tidak diantar sampai depan gang rumah, tetapi diturunkan di tengah jalan." Pernah Ibu bercerita kepadaku, terpaksa berjalan jauh sendirian di tengah malam, tidak ada angkutan yang lewat. Ibu hanya bisa berdoa, agar selamat sampai rumah. Tapi, meskipun Ibu lelah dan sakit hatinya melihat perlakuan Ayah. Keesokan harinya Ibu tetap datang menemui Ayah dan menjadi kernet lagi. Demi mendapatkan uang untuk kebutuhan hidup." Aku tak sanggup mendengar kelanjutan cerita Ibu.
Banyak penderitaaan yang dialaminya. Memilih bertahan meskipun hatinya terluka. Aku peluk tubuh Mbak Mirna, menumpahkan segala kesedihanku kepadanya.
Sementara, dari balik kamar. Seorang wanita paruh baya menangis tersedu-sedu, mendengar percakapan di antara kedua anak gadisnya. Tenggelam dalam ingatan masa lalu dan kenangan-kenangan menyedihkan.
Ada rahasia yang disembunyikannya, yang tak mungkin ia ceritakan. Tentang penyebab mengapa suaminya bersikap kasar dan tak mau pulang ke rumah.
"Tidak, anak-anak tak boleh tahu. Jika rahasia ini terbongkar. Mereka akan membenciku."