Chereads / Der Traum / Chapter 4 - Bab 4 : Mimpi Aneh

Chapter 4 - Bab 4 : Mimpi Aneh

Malaikat tak bersayap itu, akhirnya tumbang juga. Fisiknya makin melemah, hanya bisa berbaring di tempat tidur. Yang paling kutakutkan di kondisi seperti ini adalah saat Ibu sering mengigau, bicaranya melantur ke mana-mana. Membuatku khawatir. Berwasiat dan berpesan tentang kematian termasuk akan dikuburkan di mana setelah meninggal. Tak lagi punya semangat hidup, hanya tatapan kosong.

Karena memikirkan sakit yang dideritanya, gula darah Ibu naik. Berimbas pada kedua matanya yang tak jelas melihat apapun. Berulangkali, kusarankan kepada beliau. Jika butuh sesuatu teriak, panggil namaku. Karena akan berbahaya, dengan penglihatan yang buram Ibu tetap nekad mengambil sesuatu.

Tapi Ibu terus saja melanggar aturan, beliau tak mau merepotkan anak-anaknya. Sambil berjalan tertatih-tatih, Ibu bangun dari tempat tidur. Tangannya meraba-raba dinding kamar, agar tidak jatuh. Hanya untuk mengambil segelas air minum.

Wajahnya semakin menua, tubuhnya kurus kering. Nafsu makannya berkurang drastis. Jika tubuhnya lama tak ada gerakan, segera kudekati. Kusentuh hidungnya, dan merasakan nafasnya yang keluar dari lubang hidung. Ketakutanku kehilangan sosok Ibu sangat besar.

"Cahya, sepertinya Ibu tak lama lagi di dunia ini. Setiap malam aku melihat dua orang berbaju hitam berkeliaran di rumah. Memandangiku dari jauh. Apa mereka dua malaikat maut yang akan mengambil nyawaku?" ujarnya lirih dengan tatapan mata kosong.

"Tidak, Ibu harus semangat untuk sembuh. Jangan lagi berkata seperti itu, Bu! Itu semua hanya efek dari naiknya gula darah, sehingga Ibu berhalusinasi." Aku berusaha menenangkannya. Agar Ibu tak memikirkan tentang sesuatu yang aneh.

"Tapi Cahya itu bukan mimpi nak, aku melihat jelas kedua orang itu. Mereka berdiri di pojokan kamar dan terus menatapku. Bahkan malam kemarin, aku bermimpi buruk." Wajah ibu langsung tertunduk. Tak bisa melanjutkan kata-katanya dan terdiam cukup lama.

"Mimpi buruk apa, Bu! Ayo katakan." kali ini giliran ritme jantungku yang berdetak makin kencang. Membuat tubuhku bergetar. Ya Robb, mimpi buruk apa?

Ibu tak menjawab, hanya menangis. Aku semakin bingung harus berbuat apa. Tak ada orang di rumah ini. Mbak Anggun mengajar di sekolah, kedua adik kembarku bekerja, suamiku dan kakak ipar juga bekerja. Hanya ada anakku dan keponakan. Mereka tak bisa diajak bertukar pikiran.

"Ayo Bu, ceritakan mimpi itu." Aku berusaha membujuknya dengan halus agar Ibu segera berbicara.

Lama Ibu terdiam. Masih antara ragu bercerita atau merahasiakan mimpi aneh itu. Karena mengingatnya, sama halnya membuatnya bersedih. Tapi, akhirnya Ibu memilih bercerita.

"Dua hari yang lalu aku melihat dalam mimpiku, ada sekumpulan orang-orang membawa keranda jenazah, mereka semua berjalan melewati rumah ini. Di belakang rombongan pengantar jenazah, aku melihat kamu, Anggun, Binar dan Bintang menanggis sesenggukan."

"Ada apa ini, mengapa banyak orang berdatangan ke rumahku?" mereka semua menangis. Saat kutanyakan tentang apa yang terjadi. Tak ada satupun dari mereka yang menjawabnya. Hanya tertunduk dan terdiam, beberapa ada yang meronce bunga melati dan berbisik tentang sesuatu hal yang aku tak tahu. Karena penasaran, kukejar para pembawa jenazah yang sedang berjalan,

"Pak, tunggu.... !" rombongan pembawa jenazah berhenti. Saat kutanyakan siapa yang meninggal. Mereka juga sama diam. Hanya menatapku, tak berbicara sepatah katapun. Kemudian pembawa keranda itu menurunkan jenazah yang dibawanya tepat dihadapanku. Saat mereka membuka penutup hijau, aku kaget. Ternyata jenazah yang meninggal dan dibungkus kain kafan itu adalah AKU.

Ibu tak kuasa melanjutkan ceritanya. Aku ikut menangis memeluk tubuh Ibu. "Tidak Ibu, semua akan baik-baik saja. Besok kita periksakan penyakit Ibu ke rumah sakit. Sekarang istirahat ya Bu." Bismillah semangat sembuh. Aku berusaha tegar dan memberi Ibu semangat.

"Apa Ibu tak ingin melihat si kembar menikah?" Ibu hanya mengangguk, kemudian berbaring di tempat tidurnya. Sambil menahan tangis. Sementara aku keluar dari kamar dan menumpahkan air mataku. Tak sanggup rasanya jika semua ini benar terjadi. Aku belum bisa membahagiakannya

***********

Sakit itu kian meradang terutama di bagian bawah perut. Kalau pas nyeri datang, Ibu selalu berteriak kesakitan. Aku tak tega melihatnya. Kasihan. Bertahun-tahun penyakit itu ada di tubuhnya. Gak pernah sedikit pun protes. Tapi saat tubuhnya menua, penyakit hernia yang sudah lama deritanya mulai protes. Semenjak Mbak Anggun lahir dengan bobot yang besar, dan Ibu mengejan dengan kuat.

Ada usus yang turun, berupa tonjolan yang dalam tubuh karena terjadi tekanan dalam tubuh hingga menekan bagian otot atau jaringan sekitarnya istilah medis biasa disebut hernia atau turun berok. Letak hernia Ibu persis di atas vagina.

"Anggun, tolong carikan aku uang. Untuk operasi hernia. Tubuhku sudah tidak kuat menahan penyakit ini. Lebih dari tiga puluh tahun, aku menanggungnya." Tubuh Ibu terus gemetar, tensi darahnya ikut naik. Hanya bisa berbaring di tempat tidur, tak bisa beraktivitas seperti biasa. Membuat Ibu sedih.

"Besok ya Bu, kita ke rumah sakit. Untuk mengecek penyakit hernia Ibu." Ujar Mbak Anggun berusaha menenagkan Ibu.

Keputusan operasi ini sangat beresiko, karena Ibu punya riwayat penyakit diabetes kering. Aku khawatir, setelah operasi lukanya tak kunjung kering. Tapi Jika tak segera dioperasi. Rasa sakit itu akan terus muncul.

"Total semuanya lima juta mbak? Aku terkejut mendengar biaya operasi.

"Kamu gak usah mikir dik, biar aku yang menanggung semuanaya. Kamu kan tidak bekerja. Hanya menggandalkan gaji suaminu. Doakan aja, semoga proses operasi ini berjalan baik-baik saja.

Syukurlah Mbak Anggun mengerti kondisi keuanganku. Pernikahan di tahun kedua ini. Aku dan suami masih sama-sama berjuang. Apalagi kami nekad mengambil kredit rumah. Sebuah pilihan yang cukup sulit, tapi akhirnya kami putuskan untuk mengambil kredit. Meskipun untuk membayar uang DP sebesar tujuh belas juta harus meminjam uang di bank. Dan sisanya menjual cincin pernikahan.

Tapi ini sebuah proses dalam kehidupan. Memiliki rumah di saat anak-anak masih kecil adalah impian. Kelak ketika usia anakku yang pertama sepuluh tahun, rumah sudah lunas. Tinggal memikirkan pendidikannya. Toh kami mengambil angsuran kredit rumah yang bersubsidi. Jadi sangat murah angsuran perbulannya. Kala itu.

"Hei, kenapa kamu dik. Ada masalah? " Binar keluar kamar dengan mata sembab. Ia tak menjawab pertanyaanku.

"Ada apa Bintang?" kutanyakan kembarannya untuk mencari tahu ada permasalahan apa.

"Aku tak mau mbak, kemana-mana selalu berdua dengan Binar. Untuk masalah PKL, aku ingin terpisah darinya, tidak mau satu tim. Tolong mengertilah Mbak."

Hubungan di keluarga mulai renggang, bahkan kedua adik kembarku yang sedari kecil bersama. Sekarang sudah merasa malu, jika berjalan dengan kembarannya. Ia tak ingin menjadi pusat perhatian orang lain. Apa semuanya seperti itu ya, segalanya berubah ketika memasuki usia dewasa. Atau ini hanya keluargaku saja. Entahlah, aku juga tak tahu.

"Tolong pikirkan lagi, kasihan Binar. Hingga hari ini belum, mendapatkan tempat PKL (praktek kerja lapangan)." Bintang hanya diam. Ia masih bersikukuh tak mau jadi satu dengan Binar. Sudah saatnya, menjalankan kehidupan ini dengan mandiri. Tak mau diiringi embel-embel kembar." Ujarnya dengan nada ketus.

Di saat Ibu dalam kondisi sakit, kedua adik kembarku juga tidak akur. Rasanya semakin pusing kepala ini. Apa susahnya melakukan PKL bersama saudara kembarnya. Mereka bisa saling menguatkan. Eh, Bintang malah aneh. Alasannya malu, kemana-mana disebut kembar. Lha, emang kenyataannya kembar. Mau gimana? Apa itu aib yang memalukan, tidak kan?

"Cahya, siapkan uang untuk operasi Ibu sekarang!" suara Mbak Anggun yang keras, membuat jantungku serasa mau copot.

"Uang apa Mbak? Untuk saat ini aku gak pegang uang. Mbak anggun sendiri kan yang janji. Biaya operasi Ibu, semua ditanggung, sebagai ganti merawat anak-anakmu."

"Siapkan, sekarang juga!" Matanya melotot ke arahku. Aku semakin binggung. Harus bagaimana. Uang lima juta harus cari darimana? Ku coba menghubungi suami. Memberitahu semua yang terjadi di rumah. Aku terisak, mengingat ucapan Mbak Anggun. Sementara suami mengatakan, kenapa harus memberitahu mendadak. Suami akan berusaha membantu dengan mencari pinjaman di koperasi sekolahnya. Tapi kalau mendadak begini mana mungkin bisa mendapat uang sebanyak ini.

"Cepat mana uangnya!" Mbak Anggun kembali menagih, persis seperti rentenir. Kali ini suaranya meninggi. Aku ikut terpancing emosi, kudorong tubuhnya dan kujambak rambutnya. Hampir saja, kupukul wajahnya karena geram dengan tindakannya.

Aku kesal dengannya. Mengapa baru sekarang mengatakannya. Ibu yang melihat kami berdua bertengkar, langsung teriak,

"Cukup ... hentikan! Aku sudah tak mau lagi operasi hernia. Biarlah penyakit ini akan kubawa sampai mati."

"Ya Robbi ... aku tak mau jadi beban anak-anakku. Ambil saja nyawaku sekarang juga. Aku tak sanggup!" Ibu menangis dalam sujudnya, hatinya sangat terluka. Melihat kedua anaknya saling bertengkar, perkara uang berobat ke rumah sakit.

"Ibu, maafkan Cahya. Aku usahakan mencari biayanya." ku genggam erat tangan Ibu, tapi Ibu masih marah dan menyuruhku menjauh dari hadapannya. Tubuhku gemetar, takut jika doa-doa Ibu dikabulkan

Malam itu, menjadi malam tangisan buat Ibu dan aku. Sementara Mbak Anggun, tak terlihat batang hidungnya. Setelah pertengkaran itu, hubungan kami semakin jauh. Tak lagi bertegur sapa, aura kebencian semakin terlihat dalam diri Mbak Anggun. Apa benar yang dikatakan Mas Aryo. Mbak Anggun ingin menguasai rumah ini?