Badai itu telah berlalu. Perasan membuncah dan pertengkaran sengit mereda dengan sendirinya. Masih dalam satu atap, tapi tak seakrab dulu. Jarak yang dibentangkan untuk menjaga hubungan persaudaraan tetap berjalan seperti baik-baik saja masih berlaku. Terkadang menegang, juga mencair persis suasana di kamp penjagaan tapal perbatasan Entikong.
Pasca operasi hernia, tubuh Ibu kembali bugar. Meskipun aktivitasnya tak sebebas dulu, yang selalu aktif berjamaah subuh di masjid. Tak peduli dengan dinginnya udara dan jalanan yang gelap. Ibu terus melangkah menuju masjid. Dan pulangnya, harus berhadapan dengan Sholeh, pemuda kampung yang hobi mabuk-mabukan. Kerap tidur di jalan dengan tangan membawa sebotol minuman keras. Bicaranya merancau ke mana-mana. Kadang tertawa sendiri, kadang menangis. Semuanya serba tak jelas, sama dengan nasibnya. Yang paling kutakutkan adalah saat Sholeh marah, dengan mudah ia menyerang siapa saja yang lewat di depannya dan Ibu bisa jadi korbannya.
Tak ada yang tahu garis nasib seseorang. Pemuda yang dulu baik, rajin salat ke masjid. Selalu jadi pujaan gadis-gadis, kini berakhir tragis. Kesedihan yang berlarut-larut semenjak gagal menikah, membuat hidupnya berubah. Bukan dua puluh persen, tapi berubah seratus persen. Sepasang baju koko putih, tak lagi dikenakannya. Entah sudah berapa lama tergantung rapi di lemarinya. Wajah putih bersihnya menjadi kusam. Badannya dipenuhi dengan jerawat-jerawat kecil. Karena begitu jarangnya mandi. Tak ada lagi kalimat tasbih, istighfar yang keluar dari mulutnya. Karirnya hancur, ia dipecat dari pekerjaannya karena seringnya membolos. Hanya berdiam di kamar yang menjadi tempat paling asyik buat dirinya. Katanya sih untuk mencari wangsit dan menghimpun kesaktian baru. Benar atau tidaknya aku tak tahu.
Jika malam tiba, rumahnya selalu ramai. Ia berpesta bersama teman-teman geng X. Ternyata nama Sholeh tak cukup kuat untuk menghentikan perbuatan durjanya. Justru semakin menjadi. Malam-demi malam dihabiskan dengan mabuk. Hanya dengan cara itu, segala kenangan pahitnya bisa terlupakan. Rasa sakit yang perih ditinggalkan sang kekasih
di malam menjelang pernikahannya. Sungguh kejam rasa cinta itu, bagi yang tak bisa mengendalikan seperti Sholeh. Bisa merubah segalanya. Hingga orang di sekelilingnya tak lagi bisa mengenali dirinya.
Itulah alasanku, melarang Ibu berangkat ke masjid karena khawatir dengan gangguan Sholeh. Sejak tubuhnya tak kuat berjalan lama pasca operasi, Ibu memilih berolahraga ringan, berjalan santai sembari menghirup udara pagi. Sesampai di ujung gang, berhenti di melijo belanja kebutuhan sehari-hari. Sekarang gak serame dulu, hanya ada Pak Sarmo yang masih bertahan jualan sayur. Kedua kawannya yang biasa mangkal bersama dirinya telah meninggal.
Pak Di, teman satu kontrakan sekaligus tetangga di desanya meninggal tragis, terkena sengatan petir. Saat sore hari mendung pekat, ia berjalan ke sawah mengambil hasil panen yang tertinggal. Tiba-tiba saja, gemelegar petir menyambar tubuhnya. Tubuhnya kaku dan gosong seperti terpanggang api. Keluarganya histeris. Istri dan ketiga anaknya kaget. Kejadiannya berlangsung begitu cepat. Tak ada yang menyangka, Pak Di yang baik itu meninggal karena tersambar petir.
Lain lagi dengan Pak Yono, yang meninggal karena penyakit gula yang dideritanya cukup parah. Bolak-balik keluar masuk rumah sakit. Biaya berobat yang dikelurkan cukup mahal, hingga sawah satu-satunya dijual untuk menutupi biaya berobat. Tapi, sakit itu belum juga hilang. Baru di tahun ini, penyakit itu menghilang seiring dengan kepergian nyawanya. Tak ada listrik di kontrakan itu, kebutuhan listrik semua disalurkan dari rumahku.
Setelah berbelanja, Ibu segera mengolahnya menjadi memasak yang enak. Setengah enam semua masakan sudah matang. Sambil menunggu penghuni rumah lainnya bangun, Ibu biasa menonton ceramah ustadz yang bisa menyembuhkan berbagai macam penyakit dengan terapi doa. Ada yang setelah dibacakan doa, pesertanya kesurupan, ada juga yang bereaksi mengeluarkan suara binatang buas yang siap menyerang sang ustadz, ada yang berteriak hingga kesakitan. Melihat tontonan tv, menguras adrenalin tapi Ibu seringnya mengantuk ketimbang menonton tv hingga ending.
"Bu, Ibu ....!" Bintang berteriak seperti orang kesetanan, semua orang bingung. Ada apa dengannya. Kehebohan di pagi hari, membuat seisi rumah gempar. Wajahnya sumringah saat tahu namanya masuk dalam seleksi penerimaan mahasiswa baru di universitas negeri. Berulangkali ia cubit tangannya hingga kesakitan untuk membuktikan semua ini nyata, bukan mimpi. Ibu Ratih yang sedang tidur di kamar, langsung terbangun saat mendengar teriakan Bintang. Dipeluknya tubuh Ibu sembari berucap, "Terima Kasih, Bu."
Ibu yang baru bangun dari tidurnya, masih binggung dengan apa yang terjadi. Setelah dijelaskan, barulah tersenyum dan ikut bahagia. Pagi yang indah buat Bintang, mendapatkan kabar baik. Sejarah baru terukir dalam hidupnya. Ia yang tak pernah mempersiapkan ujian ini dengan baik. Mengerjakannya pun asal-asalan. Tetapi Allah memberinya hadiah yang begitu istimewa. Membuatnya merasa malu, karena belum mempersembahkan ibadah yang terbaik.
"Yeay, akhirnya aku menjadi mahasiswa di kampus idamanku." Bintang terus menyungingkan senyum kemenangan. Dilihatnya lagi, info di website untuk memastikan ia tak salah membaca hasil pengumuman itu. Kemudian berjalan mondar-mandir, membuat seluruh penghuni rumah geleng-geleng. Sementara Binar, kembarannya mengalami nasib yang berbeda. Namanya, tak masuk dalam daftar mahasiswa yang lulus tes. Ia terus menangis, kecewa karena merasa mampu mengerjakan soal-soal tes, tapi hasilnya gagal. Seharian mengurung diri di kamar, meratapi nasibnya yang sangat buruk. Kegagalan ini, membuat hatinya terluka.
*******
"Hidup macam apa ini? yang berjuang dan bersungguh-sunggu justru mengalami kekecewaan." Binar melempar buku-buku soal ujian, mengobrak-abrik isi rak bukunya. Garis takdir itu membuatnya tersiksa.
"Mengapa selalu terjadi padaku, bukan dia? dulu saat melamar ke perusahaan besar, aku juga tak diterima. Padahal secara fisik sehat, saat dilakukan tes kesehatan hasilnya berbeda. Ada gangguan di bronkhitis. Sedangkan Bintang yang jelas sedang sakit batuk parah, hasil tes kesehatannya bagus. Apakah dunia sudah terbalik?"
Aku tak tahu ternyata mitos tentang kehidupan kembar, benar adanya. Jika salah satu sukses, maka kembarannya akan bernasib sial. Begitupun sebaliknya. Teori macam apa ini?" Binar terus merutuki nasibnya yang penuh dengan kesialan. Mencoba memahami pola kehidupan. Cukup rumit buat diriku untuk menjelaskannya.
"Buka pintunya Binar, Ayo semangat! Kegagalan itu tangga menuju kesuksesan. Kau tak boleh seperti ini terus. Mengurung diri, menyesal itu bukan jalan terbaik." Binar hanya diam, tak mengindahkanku yang terus berbicara di depan pintu. Sepertinya Binar ingin menenangkan diri. Tak mau berbicara dengan siapapun. Kegagalan ini sangat menyakitkan baginya. Menambah panjang deretan kekecewaan yang selama ini dirasakan. Bukan sekali tapi berkali-kali. Butuh proses untuk bisa menerima semuanya.
Enam bulan berlalu kehidupannya masih stagnan. Keluarga semakin takut terjadi sesuatu dengannya. Binar sering tertawa sendiri di depan kaca, persis orang yang kehilangan separuh ingatannya. Menanyakan siapa namanya dan melakukan tindakan aneh. Rambutnya penuh dengan kutu, karena jarangnya keramas. Kalau gini, pemuda siapa yang mau mendekatinya.
"Mengapa Tuhan tega kepadaku? Bukankah hamba yang taat dan selalu berdoa. Semua keinginannya dikabulkan? Mengapa aku tidak?"
Sejak itu, selera makannya menurun. Lebih banyak melamun dan berdiam diri di kamar. Semua orang merasa kasihan melihat dirinya yang belum bisa move on. Tapi memang kenyataan selalu pahit. Membuatnya takut untuk bermimpi. Takut kecewa lagi. Raut wajah yang kusam, rambut acak-acakan. Mata yang cekung karena kurang tidur. Membuatnya persis seperti mayat hidup.
*************
"Pokoknya aku harus kuliah Bu!" Ibu yang mendengar permintaan Binar langsung mengiyakan. Meskipun kaget pada awalnya, tapi Ibu berusaha menutupi. Urusan biaya kuliah bisa dipikirkan belakangan. Yang penting anaknya punya semangat hidup lagi. Sudah dua minggu, Binar menjalani aktivitas normal. Semenjak diterima di Perusahaan Pupuk di Lumajang, hidupnya berubah.
"Ibu gak usah khawatir untuk pembayaran uang kuliah, Binar yang membayar dari hasil bekerja."
"Doakan ya Bu, semoga pekerjaan Binar lancar." Binar memilih kuliah sabtu minggu, agar tidak mengganggu pekerjaannya. Dan tetap bertahan bekerja di Perusahaan Pupuk di Lumajang. Tiap sabtu pagi Binar selalu pulang dan bersiap untuk kuliah.
"Kamu yakin dik, tetap berkuliah tahun ini. Apa tidak sebaiknya ditunda dulu satu tahun lagi." Mbak Mirna mencoba membujuknya.
"Yakin Mbak. Kalau tidak segera mendaftar kuliah, hatiku akan lebih sakit lagi. Apalagi melihat Bintang pulang dari kuliah, menceritakan semua kegiatannya di kampus.
"Baiklah kalau begitu, Mbak hanya bisa mendoakanmu dik. Agar kuliahmu diberi kelancaran.
Melihat semuanya berjalan normal, rasanya senang. Keluarga harmonis tercipta lagi. Untuk sejenak tak ada teriakan, umpatan, makian. Semuanya saling menguatkan, mensupport. Semoga ikatan persaudaraan ini terus langgeng hingga sampai surga.
"Kau tahu Bintang, apa yang membuatku bahagia." Ujar Binar
Bintang hanya menggelengkan kepala, ia masih asyik bermain dengan gawainya,berselancar di dunia maya melihat vlog para artis dan selebgram.
"Aku ingin menjelajah ke berbagai negara." Bintang yang mendengarnya terkejut. Kemudian menatap wajah kembaranannya sembari memegang dahinya dengan tangan kanannya.
"Kamu gak lagi mimpi kan?"