Chereads / Der Traum / Chapter 3 - Bab 3 : SERUMPUN

Chapter 3 - Bab 3 : SERUMPUN

Aku tak pernah menyangka, jalinan persaudaraan akan berubah setelah pernikahan. Secepat itu dan sedramastis bak cerita sinetron. Yang dulu menghabiskan waktu bersama, kini seolah lupa kalau masih ada ikatan darah. Hingga aku bertanya pada diriku sendiri. Apa semua orang juga melewati fase ini? karena begitu seringnya konflik terjadi.

Tak layak disebut kakak tertua, jika sifatnya tidak berubah. Egois! sejak Mbak Anggun menikah dan memilih tinggal di rumah Ibu. Muncul banyak konflik, terutama antara dia dan suaminya. Beruntung Mbak Anggun dianugerahi suami yang sabar, pengertian, tidak pernah membalas perlakuan kasarnya. Hal sepele bisa menjadi bom yang meledak setiap hari.

Jodoh itu memang unik, selalu berlawanan dengan sifat pasangan. Cekatan vs klemar-klemer (kurang sigap), pendiam vs ceriwis, rajin vs malas, rapi vs berantakan. Tapi di sana keunikannya, kedua karakter bisa menyatu. Dan tantangan di lima tahun pertama memang berat. Harus belajar menyesuaikan, saling memahami antara pasangan, mengalahkan ego dan saling menyempurnakan kekurangan satu dengan yang lainnya.

Jika belum tuntas, maka pernikahan akan berakhir di meja hijau. Atau berjalan seperti baik-baik saja. Masing-masing pasangan mencari kesenangan sendiri melalui perselingkuhan. Auwuw....

Lain halnya dengan Mas Toni, suami Mbak Anggun yang punya ritme hidup serba tak teratur, suka naruh barang sembarangan, pakaian tidak rapi, tidak peka terhadap kondisi keluarga. Sering membuat Mbak Anggun berkata kasar, mengucap sumpah serapah. Apalagi posisi Mbak Anggun yang pendidikan terakhirnya S1. Makin merasa menang dan lebih tinggi, dibandingkan suaminya yang hanya lulusan STM.

Parah pokoknya, bisa senewen kalau dengar pasangan ini cekcok tiap hari. Pasang headset lalu tutup kamar. Itu cara aman.

Waktu itu belum menikah hubunganku dengan Mbak Anggun, masih baik-baik saja. Namun, semua berubah sejak aku menikah. Saat aku memutuskan tinggal di rumah Ibu agar ada yang membantu merawat bayi setelah aku melahirkan. Bagaimanapun ini adalah pengalamanku yang pertama. Berada di dekat Ibu, adalah salah satu bentuk kenyamanan.

Awalnya, kepindahanku ke sini akan berjalan sebagaimana mestinya. Tetapi aku salah. Justru ini awal terjadi konflik dari mulai yang ringan hingga level yang rumit. Seperti bermain game, sensasi ketegangan akan berbeda di tiap levelnya. Gak percaya, cobain gih.

"Cahya, tolong ambilkan air minum!"

"Cahya, tolong kembalikan baju-baju yang sudah kulipat!"

"Cahya, tolongggg....!" fix aku menyandang gelar baru. Asistennya Mbak Anggun. Apalagi aku tak bekerja, seharian hanya di rumah. Merawat Akbar, anak pertamaku. Dan satu kelemahan yang paling kubenci adalah aku tak pernah bisa menolak permintaan Mbak Anggun.

Emang benar kata pepatah, bila dalam satu keluarga ada dua kepala keluarga yang menetap bersama dalam satu atap, hubungan mereka takkan pernah akur. Dan pepatah itu ternyata benar. Saat Mbak Anggun mengatakan, jika ia tak terbiasa minum dengan air selain merk Aq**, tidak mau menggunakan elpiji subsidi. Maunya pake tabung biru dengan logo gazz yang terjamin keamanannya. Aku langsung meradang.

"Kau tak pernah memikirkan Ibu, beda denganku. Bahkan sampai hal terkecil pun aku selalu memperhatikannya. Kau ingin membahayakan keselamatan Ibu? Dengan terus menggunakan produk murahan?" Haduh, kalau udah gini. Mending diam dan langsung pergi. Kalau gak mau sakit hati dengan kata-katanya. Nyeri sampai ke ulu hati.

Itu masih sederhana, masih banyak konflik lainnya yang bertebaran pasca pernikahanku. Yang membuat hubunganku dengan Ibu semakin memburuk. Sementara dua adik kembarku Bintang dan Binar cuek dengan yang apa terjadi di rumah ini. Mereka memilih diam dan tak ingin ikut campur.

"Sudah kuberitahu kan, kalau tinggal seatap itu ya seperti ini. Rawan konflik." Mas Aryo terus menasehatiku. Dari dulu, ia ingin hidup mandiri. Tinggal di rumah sendiri yang dibelinya secara kredit di Sidoarjo. Tapi aku yang tak pernah mau. Berpisah dengan orang tua rasanya ada yang hilang. Kebiasan ngumpul bareng itu yang berat kutinggalkan. Ternyata, hidup "kumpulan" tidak seindah bayanganku. Semuanya berubah pasca aku berumah tangga. Aku sudah mulai jengah.

Membayangkan suasana pagi yang selalu rame berebut kamar mandi, Ibu yang sering moody sama Mas Aryo. Kadang baik, kadang jutek. Belum lagi dari Mbak Anggun, yang selalu membuat emosiku berada di level tertinggi. Rumah ini serasa neraka, tak ada lagi kedamaian. Cekcok terus. Byangan rumah surga perlahan-lahan mulai menghilang.

Duh, kepalaku terasa nyeri memikirkannya. Ibu yang dulu sangat perhatian, kini berbeda semanjak ada Mas Aryo. Berulang kali aku minta maaf ke Mas Aryo atas perlakuan Ibu dan Mbak Anggun. Mas Aryo selalu memaafkan. Terkadang kalau lagi suntuk, Mas Aryo sering mampir ke warung kopi. Menyegarkan pikiran. Sebelum pulang ke rumah.

Saat tiba di rumah, pengennya langsung mencium tangan ibu. Eh, Ibu malah gak mau dengan alasan mengantuklah, lagi repot. Jadi tambah kecewa Mas Aryo. Aku yang melihatnya merasa kasihan, sebagai suami ia tak dihormati di rumah ini. Jujur aku kaget dengan perubahan saudara kandung dan Ibuku. Apa yang membuat mereka mendadak membenci Mas Aryo.

Apa karena aku pernah cerita, tentang cincin nikahku yang dijual Mas Aryo untuk tambahan uang DP saat mengajukan kredit rumah atau karena aku sering cerita kekurangan Mas aryo kepada Ibu. Masya Allah, aku baru saja mengingatnya. Semua itu salahku. Yang terlalu jujur menceritakan perihal suami kepada Ibu. Jadi wajar, jika Ibu membenci Mas Aryo.

Duh, bodohnya diriku. Belum bisa memilah mana yang harus diceritakan dan mana yang dirahasiakan. Kalau begini kan, aku yang menabuh genderang perang antara Ibu dan Mas Aryo. Namanya Ibu pasti tak terima, anaknya mendapatkan perlakuan seperti itu. Sedangkan aku juga baperan. Sedikit saja ada sikap Mas Aryo yang kurang klik denganku. Langsung deh mengadu ke Ibu. Padahal cerita utuhnya tak seperti itu. Aku sendiri yang menambahkan bumbunya agar cerita menjadi semakin menarik. Aku harus memperbaiki semuanya. Agar permasalahan ini tak bertambah runyam.

Masalah kedua antara aku dan Mbak Anggun juga belum selesai. Jika aku tetap ngotot tinggal di sini. Mbak Anggun akan selalu menganggapku rival. Dan terus melakukan perbuatan yang tidak menyenangkan. Apa aku harus pindah dari rumah ini? agar hubungan kami membaik sebagaimana mestinya.

"Cahya, minta tolong ambilkan baju untuk anakku." Mulai lagi deh, jadi asistennya.

Terkadang kalau malas, aku tak menyahuti omongannya, berpura-pura tidur.

"Ayo cahya lawan, katakan tidak." Ah ternyata aku tak seberani itu. Masih pecundang dalam hal ini. Memilih diam, padahal jelas-jelas dimanfaatkan.

"Cahya, tolong awasi anakmu! Dia hampir tertabrak sepeda motor. Kemana saja kau sebagai orang tua." Mbak Anggun terus menggomel. Kapan jadi orang bener, kalau setiap hari selalu disalahkan.

Mesipun rasanya sakit hatiku, tapi selalu tak bertahan lama. Saat Mbak Anggun memberiku sesuatu. Rasa sakit itu tiba-tiba hilang. Dan aku melupakan semua kesalahannya. Terus berjalan seperti itu, sampai aku tak tahu lagi dengan diriku. Sangat mudah berubah, sebentar sedih kemudian senang.

"Kamu tahu say, Mbak Anggun berbuat seperti itu kepadamu karena punya maksud terselubung." Aku kaget saat Mas Aryo mengatakan kepadaku.

"Maksudnya Mas, aku gak paham dengan yang kamu katakan." Makin penasaran dengan yang dikatakan Mas Aryo.

"Ah, masa kamu gak tahu say. Kalau Mbak Anggun itu, bikin kamu gak betah tinggal di sini. Biar apa coba?" Aku menggelengkan kepalaku. Penjelasan Mas Aryo masih misteri. Ngomong dengan jelas kan lebih enak daripada seperti ini. Nyut-nyutan rasanya kepalaku.

"Karena Mbak Anggun punya misi tinggal di sini."

"Misi apa Mas, tolong diperjelas dong?" Aku makin greget sama Mas Aryo, lama-lama bikin emosi juga nih orang.

"Misi menguasai rumah ini." Aku kaget dengan penjelasannya. Apa benar seperti itu?

Tentang sikap Mbak Anggun yang menyebalkan dan bikin aku tak betah tinggal di sini. Aku sih setuju. Kalau yang tentang menguasai rumah ini. Aku masih belum bisa mencernanya. Sementara Mas Aryo hanya tersenyum melihatku.

"Dasar polos." Ia mengusap-usap rambutku, dan aku masih saja bingung dengan kata-katanya. Emang benar, saat ada tiga kepala keluarga menyatu dalam satu rumah. Siap-siaplah pasang hati dan telinga yang tebal. Karena gesekan, cekcok akan terjadi. Gak percayah? Coba aja.