Selamat membaca
°•°•°
"Ha... ha-mil?" Suara Alin terdengar lirih dan bergetar ketika menanyakan kebenaran akan kalimat yang terlontar dari mulut saudariku itu.
Bagai diremas kencang, ada rasa nyeri dan perih di dalam dadaku saat kulihat, Diya mengangguk. Bahuku melorot dengan kepala yang sudah menunduk dalam. Kupejamkan mata kuat-kuat untuk mencari energi positif yang aku harap masih tersisa di diriku dan memegangi pelipis. Pikiranku langsung tertuju pada satu sosok wanita yang melahirkanku dan dirinya dan pastinya bertaruh nyawa untuk kita berdua. Sadar kalau sepasang mataku memanas, kututupi wajah yang mulai menangis ini dengan dua telapak tanganku.
"Nino bilang, besok dia mau ketemu Mama. Dia mau tanggungjawab."
Kurasakan pelukan dan beberapa sentuhan di punggung dan lenganku. "Jangan bilang Mama dulu," satu kalimatku yang berhasil meluncur tanpa hambatan.
"Kalo keluarga kita enggak mau nanggung malu, aku harus nikah secepatnya."