Chereads / Bukan Istri Tapi Estri / Chapter 38 - #038: Niat

Chapter 38 - #038: Niat

Endra tiba-tiba saja tertawa. "Karena tadi kamu manggil aku bodoh, aku jadi inget kejadian saat di panti asuhan kemarin." Endra benar-benar terlihat begitu tenang mengatakan semua kalimatnya. Meski di sisi lain, Sarah terlihat semakin marah. Wajah putihnya bahkan sampah memerah karena emosinya yang terus menerus meledak keluar.

"Karena kejadian itu juga, sekarang ... aku udah tau kesalahan yang aku lakuin sampai kamu menyebutku bodoh," kata Endra santai. Ekspresi wajahnya sangat berbanding terbalik dengan wajah penuh amarah yang tercetak jelas di wajah Sarah.

"Saat aku berkunjung ke panti asuhan kemarin, saat itu, ada beberapa anak yang kelihatan kayak lagi berantem. Pas aku dekati, dan aku tanya alasan salah satu anak memarahi anak lainnya, dia bilang kalau si anak itu melakukan kesalahan tapi bersikap seolah-olah tidak punya kesalahan. Dia bilang kalau Kak Sarah sampai tau, maka anak itu akan diberi hukuman oleh Kak Sarah. Jadi anak itu harus segera mengakui kesalahannya."

Sarah masih menatap Endra dengan kilat kemarahan yang terukir jelas. Tapi anehnya, Endra sama sekali tidak terpengaruh dengan itu.

Endra justru tersenyum mengenang kejadian itu. "Akhirnya aku jadi penasaran tentang apa yang udah kamu ajarkan pada anak-anak itu. Aku bertanya ke mereka, dan akhirnya aku menemukan jawabannya."

Endra sekali lagi mengembangkan senyumannya. "Dari awal aku bertemu sama kamu, niatku itu udah salah. Apalagi saat aku menceritakan bagaimana aku menjalani hidupku selama ini, kamu jadi semakin paham kalau kehidupanku itu konyol. Aku tau dari anak-anak itu, kalau kamu selalu mengajarkan pada mereka untuk memiliki niat yang baik. Entah apapun yang akan terjadi nantinya, yang pasti mereka harus selalu mengawali niatnya dengan niat yang baik. Dan itu adalah kesalahan besar yang udah aku lakukan karena justru memiliki niat yang sangat konyol. Bahkan selama bertahun-tahun, aku terus hidup dalam niatan konyol itu. Jadi saat dulu aku menceritakannya ke kamu, tentu saja kamu langsung menganggapku orang bodoh dan memperlakukanku seperti sampah. Itu karena kamu ingin menyadarkanku akan niatan yang aku miliki selama ini kan?"

Raut wajah Sarah seketika saja berubah. Kemarahan yang sempat menghiasi wajah Sarah perlahan-lahan mereda. Ada kebimbangan yang kali ini mulai ditampakkan Sarah dan untungnya Endra langsung menyadari itu.

"Meskipun surat perjanjian itu sudah nggak ada, tapi nggak lantas bikin aku seenaknya aja kok. Aku tetep bakal tau batasan-batasan yang nggak boleh aku lewati. Aku juga tetep akan bantu kamu di kantor kayak biasa. Bahkan aku rasa, semuanya tetap akan berjalan seperti biasa. Hanya surat perjanjian itu saja yang sudah hilang. Tapi aku akan tetap jadi pegawai kamu sekaligus jadi suami kamu. Aku akan berusaha melindungi kamu, dan dengan izin kamu, mungkin kebencian kamu terhadap laki-laki juga bisa kamu taklukan."

Sarah menggeleng-gelengkan kepalanya. Dia seperti dilanda kebimbangan yang hebat. Bahkan Sarah sudah membalikkan tubuhnya membelakangi Endra, sembari berkata. "Gue nggak butuh laki-laki. Mereka itu cuma sampah!"

"Dan aku nggak keberatan kok jadi sampah kamu," balas Endra sembari tersenyum tulus.

Sarah langsung menghadapkan tubuhnya untuk menatap Endra lagi. "Tapi gue nggak butuh sampah kayak lo di hidup gue!" balas Sarah yang rupanya masih dikuasai oleh kemarahan.

Endra tidak mengatakan apa-apa lagi. Dia hanya mengeluarkan ponselnya dan langsung meletakkannya di telinga, lantas berkata, "Seperti yang sudah Ibu dengar, saya masih belum berhasil membujuknya untuk bisa menerima saya. Jadi mungkin ... Ibu yang harus membujuknya."

Sarah dibuat terkejut dengan apa yang sedang Endra lakukan. Rupanya sejak tadi Endra sedang menelepon, dan entah siapapun itu yang ditelepon Endra, berarti orang itu juga ikut mendengarkan pembicaraan mereka sejak tadi.

Tiba-tiba saja, Endra mengulurkan tangannya ke depan, seolah ingin mengangsurkan ponsel itu pada Sarah.

"Bu Diyah ingin bicara sama kamu," kata Endra kemudian. Yang langsung membuat bola mata Sarah membesar. Tidak bisa percaya kalau yang sedari tadi mendengarkan pembicaraan mereka adalah orang yang sangat Sarah hormati.

Dengan ragu-ragu, Sarah pun tidak punya pilihan untuk menerimanya. Di dunia ini, orang yang sangat berjasa untuk Sarah adalah Bu Diyah.

Kemarin malam, saat akhirnya Sarah harus keluar dari rumah dan mengendarai mobil seorang diri adalah karena mendapat telepon dari Bu Diyah. Lantas begitu keduanya bertemu, Sarah benar-benar dibuat terkejut saat Bu Diyah menceritakan soal pertemuannya dengan Endra selama dua hari itu. Dan Bu Diyah juga sangat menyayangkan tindakan Sarah yang sudah menyembunyikan pernikahannya.

Saat itu, Sarah hanya terdiam dan tak mampu mengatakan pembelaan apapun pada Bu Diyah. Dia sangat menghormati Bu Diyah melebihi siapapun. Bahkan Sarah sudah menganggap Bu Diyah sebagai ibu kandungnya sendiri. Jadi, begitu Sarah selesai mendengarkan segala macam ucapan dan nasehat Bu Diyah, Sarah langsung menelepon Asti dan memarahinya karena sudah lancang sekali menyuruh Endra pergi ke panti asuhan.

Dalam perasaan marah itu, Sarah tidak mau mendengarkan penjelasan apapun dari Asti, dan langsung memecat Asti begitu saja.

Jadi saat ini, saat Sarah mengetahui kalau Bu Diyah sudah mendengarkan pembicaraannya sejak tadi, tubuh Sarah langsung lemas seketika. Dia tidak mungkin berani membantah apapun yang akan disampaikan Bu Diyah nantinya.

Apalagi saat akhirnya Sarah berhasil menempelkan ponselnya di telinga, dan dengan suara pelan, Sarah pun berkata. "Ya, Bu?"

Bu Diyah langsung menjawabnya tanpa banyak basa-basi. "Cepat temui Ibu sekarang juga. Dan jangan lupa, bawa Endra bersama kamu."

***

Sejak Sarah diijinkan tinggal di panti asuhan ini, Bu Diyah sudah menyambutnya dengan sangat baik. Tanpa memaksanya untuk bercerita tentang keadaannya saat itu. Bahkan meski berbulan-bulan kemudian Sarah tetap tidak bersedia menceritakan latar belakang keluarganya, Bu Diyah juga tetap tidak pernah memaksanya.

Ketika tahun-tahun berganti dan Sarah semakin dekat dengan penghuni panti asuhan ini, Sarah akhirnya bersedia untuk menceritakan dari mana dia berasal. Tapi hanya sebatas itu saja yang mampu dia ceritakan. Meskipun masih ada kejadian lain yang disimpannya rapat-rapat.

Sarah tidak akan melupakannya, saat Sarah mendapat wasiat dari seorang donatur untuk mengelola kekayaan yang ditinggalkan donatur itu. Saat itu, Sarah akhirnya menceritakan semuanya pada Bu Diyah. Termasuk rahasia besar yang sudah mengganggu kehidupannya selama ini. Dan Sarah yakin, meski Bu Diyah sudah menceritakan masa lalunya pada Endra, tapi Bu Diyah tidak akan berani menceritakan soal satu rahasia besar yang dimilikinya itu, yang membuatnya jadi sangat benci pada laki-laki. Oleh karena alasan itu pula, Bu Diyah tidak pernah memaksa Sarah untuk dekat dengan laki-laki manapun.

Tapi kini, dengan keberadaan Endra yang sudah satu bulan lebih bersamanya, dan berhasil disembunyikannya rapat-rapat dari Bu Diyah, Sarah pun tidak bisa untuk membela diri lagi.

Saat ini, baik Sarah maupun Endra sudah duduk diam di depan meja Bu Diyah. Meskipun sudah lima menit berlalu, tapi Bu Diyah masih belum menunjukkan tanda-tanda akan bersuara.