"Jadi ... kalian sudah menikah kan?" tanya Bu Diyah akhirnya setelah cukup lama ruangan ini dibuat senyap.
Endra mengangguk pelan.
"Kamu sudah jadi istri kan?" kali ini pertanyaan Bu Diyah terlempar untuk Sarah yang tetap saja tertunduk dalam diam.
"Kalian bahkan sudah bersama selama satu bulan lebih, dan kamu sama sekali nggak memberitahukannya sama Ibu. Apa yang sebenarnya sedang kamu pikirkan, Sarah?" Nada kalem yang biasa Endra dengar dari suara Bu Diyah sudah menghilang pergi, berganti dengan nada tajam dan tegas.
"Selama ini, Ibu selalu diam karena itu keinginan kamu sendiri yang nggak mau berhubungan dengan laki-laki manapun, tapi saat akhirnya kamu punya seorang laki-laki yang ada di sekitar kamu, tapi kamu justru nggak memberitahukannya sama Ibu?"
Sarah menundukkan wajahnya dalam-dalam. Dia tahu semua ini adalah kesalahannya.
"Jadi ... saat kamu sudah bosan bermain-main, kamu juga ingin berpisah tanpa mengikutsertakan Ibu, hah? Jawab Sarah! Ibu sudah mendengar semua pembicaraan kalian!"
Endra mungkin tidak menyangka saat melihat Sarah begitu diam tak berkutik seperti ini. Tapi mendengar bagaimana Bu Diyah memarahi Sarah seperti itu, Endra jadi merasa bersalah.
Tiba-tiba saja Bu Diyah memutuskan untuk bangkit dari kursinya. Lantas berjalan mendekati jendela. Suara hening yang diciptakan ruangan ini akhirnya menangkap suara isak yang kemudian menyadarkan Sarah atas kebisuannya.
Sarah ikut bangkit dari kursinya sembari menggeleng-gelengkan kepala penuh rasa bersalah. Dia menghampiri Bu Diyah dan menyentuh bahu perempuan paruh baya itu yang rupanya memang sedang menangis.
"Sarah minta maaf, Bu. Tolong ... Ibu jangan menangis lagi," ungkap Sarah dengan suara pelan dan mata yang langsung berkaca-kaca.
"Ibu cuma pengen kamu bahagia dengan pilihan kamu sendiri. Saat dulu kamu bilang untuk tidak akan menikah, Ibu tetap mendukung kamu karena Ibu tau dibalik keputusan kamu itu. Tapi sekarang ... saat akhirnya Ibu tau kamu sudah menikah bahkan bukan dari mulut kamu sendiri, Ibu bener-bener sedih. Ibu merasa ... mungkin Ibu ini nggak ada artinya buat kamu."
"Tolong jangan bicara begitu, Bu. Ibu adalah segalanya buat Sarah. Sarah minta maaf udah ngecewain Ibu. Sarah bener-bener minta maaf." Sarah tak kuasa membuat orang yang sudah sangat berjasa dalam hidupnya ini sampai harus meneteskan airmata karena kesalahannya.
Sarah yang akhirnya ikut menumpahkan tangis pun mulai melabuhkan kepalanya di dada Bu Diyah. Dan langsung ditangkap Bu Diyah untuk didekapnya erat-erat. Sarah bukan hanya salah seorang anak yang pernah diasuhnya, tapi juga sudah dianggap seperti anak kandungnya sendiri.
Setelah cukup lama keduanya saling berpelukan, Bu Diyah pun lantas memanggil Endra yang terpaku melihat adegan mengharukan itu agar beranjak menghampirinya.
"Ibu sangat mendukung hubungan kalian berdua. Dan Ibu harap, hubungan itu akan terus berlangsung meskipun kamu tidak mengharapkannya," kata Bu Diyah pada Sarah dengan tatapan sendunya.
"Beberapa jam yang lalu, Endra sempat datang ke sini dan meminta pendapat Ibu akan masalah kalian berdua. Dan Ibu justru meminta tolong pada Endra untuk terus mempertahankan hubungannya bersama kamu. Meskipun Ibu tahu kamu sangat tidak suka pada laki-laki, tapi Ibu tahu kalau Endra berbeda, bahkan selama dua hari kemarin Endra berada di sini, Ibu sudah bisa menilai tentang kebaikan Endra yang seharusnya kamu syukuri."
Sarah terdiam mendengarkan kalimat demi kalimat yang diucapkan Bu Diyah padanya.
"Jadi Ibu mohon, tolong terima Endra jadi suami kamu," pinta Bu Diyah bahkan sampai harus menangkupkan kedua tangannya di depan dagu.
"Tapi Bu ..." Sarah ingin menolak. Tapi Bu Diyah justru semakin menundukkan wajahnya dalam-dalam.
Sarah sempat melihat ke arah Endra yang sedang berdiri di samping Bu Diyah sembari memegangi bahu Bu Diyah seolah sedang memberinya kekuatan. Endra juga ikut menundukkan wajahnya.
Akhirnya, Sarah pun menyerah. Dia membuang napas panjang sebelum akhirnya berkata, "Baiklah kalau itu kemauan Ibu, Sarah akan menerimanya."
Bu Diyah langsung mengangkat wajahnya dan menatap Sarah dengan pandangan berbinar. Endra juga ikut mengarahkan tatapannya untuk melihat Sarah dengan raut tak percaya.
***
Endra tak bisa menyembunyikan raut kebahagiaannya saat kini dirinya sedang berada di balik kemudi untuk kembali ke rumah Sarah.
"Lo pasti sengaja kan?" Sarah akhirnya membuka suara setelah keduanya hanya saling diam semenjak Bu Diyah mengantar kepergian mereka sampai mobil yang dikendarai Endra melaju pergi dari panti asuhan. Posisi Sarah sekarang sudah kembali duduk di jok depan bersebelahan dengan posisi duduk Endra.
"Apanya?" Endra hanya melirik Sarah yang terus saja mengarahkan tatapan ke arah jendela kaca mobil.
"Lo sekarang udah tau kelemahan gue, dan lo sengaja make kelemahan gue itu buat nyudutin gue kayak gini kan?" kata Sarah dengan suara datar. "Lo emang bener-bener sampah yah," lanjutnya lagi dengan tetap berlindung dengan nada datarnya. Meskipun makna kalimatnya begitu menyakitkan.
Endra membuang napas pelan. Dia tahu, keputusan Sarah yang bersedia menerimanya sebagai suami adalah keputusan terpaksa yang Sarah lakukan. Dan jujur saja, Endra tak menampik kalau campur tangan Bu Diyah adalah bonus yang berhasil dia dapatkan.
"Aku minta maaf," hanya itu yang bisa Endra ucapkan.
"Hah?" Sarah langsung mengarahkan wajahnya untuk menatap Endra, suara dinginnya sudah kembali terdengar. "Minta maaf lo bilang? Padahal jelas-jelas lo ngelakuin ini dengan sengaja, dan lo masih bisa minta maaf? Kenapa lo nggak mati aja sih!"
Endra kembali membuang napas pelan, dan di detik berikutnya, dia tiba-tiba memutuskan untuk menepikan mobil yang dikendarainya.
"Kenapa malah berhenti?!" ucap Sarah sewot.
Endra tidak langsung menjawabnya. Dia menatap jalanan di depan sana yang sudah mulai gelap.
"Lo apaan sih nggak jelas gini. Mau gue yang nyetir dan gue turunin lo di sini, hah!" emosi Sarah kembali terpancing.
"Sarah..." panggil Endra akhirnya, suaranya pelan dan tatapannya kini sudah tertuju pada Sarah.
"Lo lupa yah, panggil gue Bu Sarah!" tegasnya dengan mata melotot tajam.
"Aku ... udah terlanjur jatuh cinta sama kamu, Sar." Endra sama sekali tak peduli ucapan Sarah, dan justru mengatakan hal yang mengejutkan seperti ini.
"Hah? Lo itu emang nggak ada otak yah!" balas Sarah dengan nada jengkel tak terkira.
"Aku juga nggak tau kenapa aku malah bisa jatuh cinta sama cewek sadis kayak kamu, tapi..."
Sarah kembali melotot marah saat Endra santai saja mengatakan kata sadis yang ditujukan untuknya.
"...saat pagi tadi aku berniat untuk pergi dari kota ini dan pulang ke kampung, aku merasa ... sangat berat melakukannya. Bahkan saat Asti belum menelepon dan mengabarkan kalau dia tidak jadi dipecat. Sebenernya saat itu, aku sangat berharap kalau ada keajaiban yang datang, misalnya aja tiba-tiba kamu nelpon dan nyuruh aku balik lagi. Aku sudah berdoa berkali-kali agar keajaiban itu terjadi." Endra tersenyum tipis. Sinar matanya terlihat meneduhkan.
Sementara langsung dibalas Sarah dengan tawa ejekan. "Dasar bodoh, gue justru seneng lo pergi dari hidup gue. Buat apa gue repot-repot ngelakuin hal nggak masuk akal begitu?"
Endra kembali menatap jalanan. Sinar matanya masih seteduh sebelumnya, meski di sampingnya Sarah sudah melipat tangan di atas dada dengan perasaan muak.