Sepeninggal Ferdy, aku masuk rumah dan Mama heran melihatku yang sudah pulang. Jika kami menjenguk Rannu, biasanya sore atau menjelang malam baru aku tiba ke rumah.
"Kok cepat banget pulangnya? Kondisi Rannu bagaimana, sudah banyak kemajuan?" tanya Mama sambil duduk di sofa ruang tengah. Aku ikut duduk di sampingnya sambil menghembuskan napas berat. Jika ada masalah, terasa ada yang mengganjal di dada.
"Rannu kambuh Ma. Lihat Kak Arie sama Kak Lia tadi, dia histeris. Sepertinya masih lama Rannu akan sembuh." Aku sampai memeluk Mama saking sedihnya.
"Oh, ya? Sepertinya apa yang dilakukan Arie dan Lia padanya sangat mengguncang kejiwaannya. Tapi pasti Dokter punya cara yang terbaik agar Rannu bisa sembuh. Kamu jangan sedih. Kita doakan aja." Mama mengusap kepalaku dengan lembut, memberiku kekuatan agar tidak bersedih. Perutku jadi meronta minta diisi. Aku baru sadar, belum makan sejak pagi.
"Sandri lapar nih Ma." Aku melepas pelukanku pada Mama dan berjalan ke meja makan.
"Makan sana, tadi kamu kan belum sarapan, langsung pergi aja. Jangan sampai mag kamu kambuh lho." Aku memang punya penyakit mag. Tapi sejak pagi tadi aku tidak merasa lapar. Barulah siang ini perutku melilit.
Aku ke wastafel mencuci tangan, kemudian duduk di meja makan. Hidangan yang menggugah seleraku terpampang di depan mata. Mama memang chef favoritku di rumah. Bagiku, tidak ada yang bisa menandingi hasil olahan tangannya. Mama hanya seorang ibu rumah tangga biasa, tetapi bagiku beliau adalah panutan yang sangat menginspirasiku. Beliau bisa mengatur dengan baik gaji Papa agar cukup buat biaya sehari-hari dan pendidikan kami. Dan terbukti, kami bisa seperti sekarang. Entahlah, apa aku bisa seperti Mama atau tidak. Sampai sekarang saja aku belum tertarik untuk memulai hubungan dengan lawan jenis. Aku merasa nyaman dengan kondisiku saat ini. Jika ada yang tertarik denganku, aku coba menghindar dan menganggap mereka teman biasa saja. Ponsel yang aku taruh di samping piring berbunyi, nama Kak Arie muncul di layar.
"Hallo Kak." Sapaku begitu menekan tombol hijau pada layar.
"Sandri, gimana kondisi Rannu setelah kami tinggal tadi ya?" tanya Kak Arie khawatir di seberang sana.
"Sudah tenang Kak Arie. Setelah diberi obat penenang, Rannu tidur," jawabku. Semoga jawabanku in bisa mengurangi kekhawatirannya.
"Syukurlah. Tolong kamu pantau ya Sand, info ke saya jika ada apa-apa."
"Baik Kak. Kami tadi juga menemui Dokter Firdaus. Menurut beliau memang masih butuh waktu agar Rannu bisa beradaptasi kembali dengan Kak Arie dan Kak Lia."
"Iya Sandri, nggak apa, asal Rannu bisa sembuh."
Telepon di tutup dan aku melanjutkan makan siangku yang tertunda. Aku berpikir, mencari cara untuk mempercepat proses kesembuhan Rannu. Tetapi aku bukan dokter. Kuncinya ada di Ferdy. Hanya dia yang bisa mengembalikan kondisi Rannu seperti semula. Tetapi bagaimana aku menyampaikannya? Waktunya juga terbatas, tidak setiap hari ia bisa ke tempat Rannu. Ferdy punya pekerjaan yang tentu saja tidak bisa ditinggalkannya sewaktu-waktu.
Selesai makan aku membereskan piringku kemudian masuk ke kamar. Aku hanya meletakkan tasku di gantungan dan merebahkan diri di tempat tidur. Badan terasa berat untuk melakukan sesuatu. Akhirnya aku putuskan untuk tidur sebentar. Aku terbangun ketika suasana di luar jendelaku yang terbuka sudah gelap. Aku bangkit dari pembaringan, menutup jendela, menyalakan lampu kamar dan ke kamar mandi. Setelah bangun tadi, badanku lebih segar. Setelah mandi, aku akan kembali menggarap konsep desainku untuk Ferdy.
Aku duduk di meja kerjaku dan mulai fokus dengan alternatif desainku yang kedua. Saat fokus kerja, aku sering mengabaikan sekitarku. Aku larut dengan desain yang kubuat dan terkejut ketika ponselku berbunyi. Aku melirik jam di dinding, sudah jam dua belas malam. Siapa gerangan yang menelponku selarut ini? Hmmm..,Ferdy. Keningku berkerut ketika nama Ferdy muncul di layar. Apa dia juga suka selarut ini bekerja? Apakah di piker aku selalu standby 24 jam untuk menerima teleponnya? Aku menghalau dugaan-duagan itu. Bagaimanapun, ia satu-satunya orang yang bisa mengembalikan kondisi Rannu dan juga klienku. Tidak apa, aku ladeni saja.
"Hallo Mas."
"Ehh, belum tidur rupanya." Jam segini suaranya masih terdengar jernih saja. Sementara aku sudah mulai serak.
"Kerjain konsep desain punya Mas Ferdy nih." Dia tertawa mendengar alasannku.
"Saya ganggu dong ya?" tanyanya.
"Nggak kok Mas. Ada apa ya Mas?"
"Mau ngobrol aja kok sama kamu," jawabnya.
Apa belum cukup obrolan kami tadi? Kalau begini, bisa-bisa kerjaanku tertunda.
"Oh, boleh kok Mas, tapi jangan lama ya ntar desainnya Mas nggak jadi lho," ucapku tertawa mencoba bercanda. Tetapi memang benar, jika ia mengajakku ngobrol, lalu kapan aku menyelesaikan desainku? Ferdy tertawa menanggapiku. Lalu Ferdy mulai bercerita awal bertemu Rannu.
"Saya sering kasihan lihat Rannu jalan sendirian Sandri."
Jadi ini awalnya Ferdy mulai dekat dengan Rannu. Menawarinya tumpangan, kemudian dekat dan pacaran.
"Sekali waktu Rannu datang ke rumah sambil nangis, sepertinya habis kena marah kakak-kakaknya. Saya berusaha menghiburnya. Rannu tertekan banget, tetapi tidak bisa apa-apa."
Mungkin saat itu aku sedang sibuk-sibuknya dengan kuliahku jadi Rannu tidak menemuiku. Biasanya Rannu telepon atau datang ke rumah jika ada masalah. Tetapi akhirnya ia punya tempat untuk mencurahkan isi hatinya.
"Rannu tidak bisa pisah denganku, begitu juga saya yang ingin selalu melindunginya. Rannu sering banget ke rumah. Kadang ia menungguku jika sedang kuliah. Sampai akhirnya kami bablas dan saya ingin menikahinya, tetapi keluarga Rannu menolak dengan keras."
Semuanya sudah terjadi dan tidak perlu ada yang disesali. Sekarang mencari cara agar semuanya bisa kembali dengan normal.
Tidak terasa obrolan kami berlangsung sampai jam dua dinihari. Kupingku panas, kerjaanku tidak tertolong, belum bisa kuselesaikan. Setelah obrolan kami selesai, aku tidur dan bertekad, besok satu alternatif harus jadi.
***
Setelah membantu Mama, aku masuk kamar dan mulai menggarap konsep desainku kembali. Semoga saja tidak ada gangguan kali ini. Dan tidak lama, satu alternatif desainku pun selesai. Aku merenggangkan badan sejenak dan keluar ke halaman. Aku butuh udara segar.
"Sandri, ada Ferdy nih." Suara Mama terdengar dari ruang tengah.
Waduh, kok ia datang tanpa info sebelumnya. Hari ini sepertinya tidak sesuai harapanku. Tanganku belepotan tanah karena tadi lagi merapikan tanaman di pot. Aku mencuci tangan dan masuk ke dalam rumah. Ferdy sudah duduk di ruang tengah. Apa dia nggak kerja? pikirku. Atau memang bos seperti itu ya, bisa sewaktu-waktu keluar dan melimpahkan semua pekerjaan ke bawahannya. Tidak seperti aku, semuanya ditangani sendiri.
"Siang Mas. Kok tumben nggak info mau datang?"
"Lagi ada urusan dekat sini, jadi sekalian mampir."
Aku melihat di meja, sudah ada kopi buatan Mama, juga makanan kecil. Sepertinya Ferdy sudah dianggap keluarga di rumah ini, buktinya ia langsung duduk di ruang tengah. Mungkin saja karena kemarin ia sudah diterima Kak Arie dan Kak Lia jadi Mama juga sudah mengganggap ia bagian dari keluarga.
"Saya bisa lihat desain yang sudah jadi nggak Sandri?"
"Oh, boleh kok mas. Sebentar saya ambil ke kamar."
Aku masuk ke kamar dan keluar kembali membawa hasil desainku. Untung saja sudah jadi dua alternatif, jika hanya satu, bisa-bisa Ferdy mengira aku kurang produktif dan tidak bisa memenuhi target. Klien potensial ini sayang jika lepas. Aku harus menunjukkan kinerjaku dengan baik.
"Wahhh…keren nih," ujar Ferdy setelah melihat desainnnya.
Syukurlah, Ferdy suka dengan hasilnya. Aku berharap tidak ada revisi agar aku bisa menyelesaikan satu alternatif lagi.
"Masih ada satu alternatif lagi ya Mas," ucapku mengingatkan.
"Ok, Sandri. Yang ini boleh aku bawa nggak?"
"Sebaiknya setelah selesai semuanya ya Mas. Tapi boleh kok Mas foto aja untuk saat ini." Bisa saja sih aku memberikan ke Ferdy, tetapi masalahnya aku harus arsipkan dulu.
"Oh, oke deh." Ferdy mengambil ponselnya dan memotret desain yang sudah jadi.
"Kamu ada kegiatan nggak hari ini?" tanya Ferdy kemudian.
"Mau selesain satu alternatif lagi Mas," ucapku tersenyum. Sepertinya ia lupa, kalau masih ada desain yang belum aku selesaikan.
"Eh, iya, saya lupa. Oke deh, jika sudah selesai segera info ya. Aku pamit dulu kalau gitu."
Ferdy pamitan ke Mama. Aku mengantarnya sampai ke gerbang dan berbalik cepat, masuk kamar untuk melanjutkan desainku. Target hari ini harus selesai.
*****