Naya tidak mengerti dengan ekspresi yang ditunjukkan oleh Adi. Naya tidak sabar menanti jawaban dari Adi yang sepertinya enggan untuk membuka suara.
"Adi, kenapa diam? Jawab aku, apa kau Abimanyu Mahardika? Atau Abimanyu Pratama?" kata Naya. Naya sendiri merasa sesak di dada saat memikirkan siapa sebenarnya pria di hadapannya ini.
"Apa?!" Adi terperanjat. Tapi ia segera dapat menguasai dirinya. "Hahaha, mana mungkin. Kamu terlalu jauh berpikir. Bagaimana bisa kamu membandingkanku dengan Abimanyu Mahardika? Dia terlalu sempurna, bagai langit dan bumi jika di bandingkan denganku" Adi mengalihkan pandangannya ke arah lain, ia merasa tidak mampu bertatap muka dalam waktu lama kepada Naya.
"Tapi kalian sangat mirip."
"Ah, bukankah ada pepatah berkata jika kita mempunyai tuju kembaran atau orang yang mirip dengan kita di dunia ini. Walaupun tidak ada hubungan darah."
"Kamu percaya tentang itu?"
"Buktinya, Kau berkata jika aku sangat mirip dengan Tuan Muda kaya raya itu."
Adi terlalu pintar memutar balikkan ucapan. Naya pun tidak mampu untuk menyanggah opininya lagi.
"Maafkan Aku" kata Naya kemudian.
"Bukan salahmu, kamu tidak perlu minta maaf. Kamu bukan orang pertama yang bilang kalau aku mirip dengan Tuan Muda dari keluarga Mahardika itu."
"Hemm, karena kalian terlihat sangat mirip. Hanya beda gaya penampilan menurutku."
Lagi-lagi Adi hanya menunjukkan senyum iklan pasta gigi. Sederet gigi putih nan rajin membuatnya terlihat imut walau berpenampilan culun. Adi sesekali membetulkan letak kacamatanya. Kaca matanya sebenarnya terlihat sedikit mengganggu. Mungkin jika dia tidak mengenakan kaca mata dan berpenampilan rapi mengenakan setelan. Pasti orang yang melihatnya akan memanggilnya dengan sebutan Tuan Muda Abimanyu Mahardika.
Naya tidak bersuara lagi setelah menanyakan tentang kebenaran identitas Adi. Suasana menjadi sedikit canggung, maka Adi membuka obrolan.
"Ngomong-ngomong, pasti enak ya kehidupan Tuan Muda yang kamu sebut tadi."
"Siapa? Abimanyu Mahardika maksudmu?" Kata Naya memperjelas.
"Ya" Abi sengaja memberikan pertanyaan itu.
"Aku rasa tidak. Punya uang banyak tidak menjamin kebahagiaan seseorang. Bukankah Tuan Muda Mahardika Fashion itu seorang yang sombong dan angkuh? Bukannya dia terkenal sadis dalam dunia bisnis. Bahkan ia tidak segan-segan membatalkan kontrak jika terjadi sedikit saja pelanggaran? Walaupun rekan bisnisnya adalah saudaranya sendiri. Dia itu pria menyebalkan yang tidak tau sopan santun. Sungguh sangat berbeda dengan kepribadian Abimanyu Pratama" Naya mengerucutkan bibirnya.
Adi nampak mengernyitkan dahi mendengar Naya berkata seperti itu.
"Apa kamu benar-benar mengenal Tuan Muda Mahardika?"
"Ya, aku hanya mendengarnya dari beberapa sumber."
"Tapi kamu tidak mendengarnya sendiri atau mengalaminya kan? Belum tentu apa yang dikatakan oleh orang-orang itu benar."
"Apa kamu berteman dekat denganya? Apa kalian, ah jangan-jangan kalian bersaudara ya?" tebak Naya.
"Bukan."
"Lalu kenapa kamu terdengar begitu membelanya?" Naya menatap Adi dengan curiga.
"Ah, aku tidak ada maksud apa-apa. Aku hanya tidak ingin kamu berpikir negatif. Ermm ... tidak baik."
"Tunggu, kenapa aku masih tidak yakin. Sebaiknya kamu ngaku aja. Kamu Abimanyu Mahardika kan?"
"Hahaha, mana mungkin. Bukankah tadi sudah aku jelaskan?" Adi membetulkan kembali posisi kaca matanya yang nampak baik-baik saja.
"Kamu tidak sedang berbohong padaku?" Naya menatap serius Adi.
"Eeh, tentu saja tidak" Adi tertawa kecil menutupi kegugupannya.
Diam-diam Adi curi pandang ke arah Naya. Dalam hati ia berkata, maafkan aku Nay. Aku terpaksa seperti ini.
"Ah, baiklah. Aku anggap kamu orang lain" Naya kembali menatap depan. Namun di dalam benaknya, ia masih menaruh curiga. Naya belum biaa percaya sepenuhnya. Adi ini terlihat sedikit misterius.
Mereka akhirnya sampai di Rumah Sakit. Naya menuju ruang ICU. Karena hanya satu orang yang diperkenankan masuk, maka Adi menunggu di luar. Ia terus mengawasi dari balik jendela.
Naya menghampiri papanya. Ia menggenggam tangan papanya dengan lembut. Menatap wajah papanya yang nampak damai.
"Pa, Naya datang. Bagaimana kabar Papa? Naya merindukan Papa."
Naya mengusap punggung tangan papanya. Ia memandangi papanya dengan tidak tega. Pria gagah yang selalu membelanya. Luwin adalah pria yang bijaksana. Ia selalu dapat memimpin keluarga dan perusahaan dengan baik. Bahkan Luwin terkenal sebagai pimpinan yang baik hati. Semua karyawan di kantor begitu menghormatinya. Bukan karena takut atau patuh tapi mereka segan dengan kebaikan Luwin sehingga para karyawan begitu tunduk dan menghormatinya.
"Pa, cepat bangun Pa. Naya butuh nasehat Papa. Naya tidak yakin bisa melakikan semua ini seorang diri. Bangun, Pa."
Naya tidak menitikan air mata. Ia sudah cukup bersedih. Kini ia menjadi lebih terbiasa. Air matanya seolah mengering karena sering di paksa keluar oleh Naya.
Sementara itu Adi terus mengawasi Naya dari luar, ia dapat melihat dengan jelas jika papanya Naya di pasang beebagai alat di tubuhnya.
Hah! Apa yang terjadi dengan Tuan Luwin? Pria gagah yang begitu protektif kepada anaknya. Aku tidak menyangka, Tuan Luwin bernasib seperti ini. Ia bahkan tidak dapat meneriaki diriku lagi sekarang. Senyum miring terlukis di bibir Adi.
Beneeapa aaat kemudian Naya terlihat berpamitan dengan Papanya. Ia mencium kening papanya. Mengusapnya dengan lembut sebelum pergi meninggalkannya. Naya nampak menyrmpatkan diri menemui perawat di ruang jaganya. Perbincangan diantara mereka terlihat serius.
Semoga bukan sesuatu yang serius. Meski aku kurang menyukai sikapnya. Tapi dia tidak boleh tiada karena aku tidak ingin Naya bersedih.
"Bagaimana keadaan orangtuamu?" tanya Adi ingin tau.
"Hemm, belum banyak perkembangan. Papa masih belum sadarkan diri. Kata perawat, katanya memang harus sabar dan jangan menyerah untuk terus memberikan stimulus disamping pemberian terapi secara rutin."
"Jangan menyerah, hanya kamu yang bisa menyembuhkan papamu. Aku yakin kamu pasti bisa" Adi reflek mengusap punggung Naya.
"Ya, aku tidak akan pernah menyerah untuk kesembuhan papa."
Sesaat kemudian Naya tersadar kalau Adi mengusap punggungnya. Naya menatap Adi heran. Adi yang menyadari tindakannya segera menarik tangannya.
"Maaf, Aku reflek."
"Tidak apa-apa. Ehm, bagaimana kalau kita cari makan?" ajak Naya.
"Ya, itu ide bagus."
"Tapi kamu tidak sedang terburu-buru kan?"
"Tidak, aku tidak sibuk hari ini."
"Ok. Kamu tidak keberatan jika kita jalan kaki? Restorannya tifak jauh dari sini, hanya satu blok dati Rumah Sakit."
"Tidak masalah."
Mereka berjalan beriringan menuju tempat makan. Sepanjang perjalanan mereka mengobrol ringan.
"Nay, apa kita sekarang bisa berteman?"
"Tentu saja."
"Terima kasih."
"Aku yang harus berterima kasih, karena kamu banyak membantuku. Apalagi saat potretan kemarin."
"Ah tentang itu, aku tidak keberatan. Memberimu beberapa kuliah tentang pose terbaik."
"Dengan senang hati, kita bicara sambil makan ya?"
Naya senang, Adi bersedia membantunya. Naya memang sangat membutuhkan ilmunya, apalagi jika itu di dapat dari ahlinya. Naya merasa sangat beruntung.
Ditengah obrolan mereka, tiba-tiba ada yang datang dan mengejutkan Naya.
"Kamu disini juga Nay?" tanyanya.
Siapa yang datang?
Wah ada apa ini? Opini Adi cukup membuat teka teki baru. Apa yang sudah terjadi? Apakah brnar dugaan Naya jika Tuan Muda Mahardika ada di balik semua kejadian ini? Diakah orang yang seharusnya bertanggung jawab?