Naya menatap Adi sesaat, ia pun tidak tau apa yang akan ia lakukan saat bertemu dengan Abi. Pencarian panjangnya telah membuatnya tidak mampu untuk memikirkan kemungkinan baginya untuk berdiri di hadapan Abi. Naya tidak tahu kata apa yang akan ia ucapkan nanti.
"Entahlah, Aku pun tidak tahu apa yang akan aku ucapkan saat bertemu dengannya suatu hari nanti. Aku sangat berharap bisa bertemu dengannya. Mungkin Aku ingin mengungkapkan semua pikiranku selama empat tahun tidak bertemu dengannya. Mungkin yang pertama kali aku tanyakan adalah apa yang terjadi padanya selama empat tahun?"
"Hemm, pertanyaan yang bagus. Lalu?"
"Lalu kita makan, sudah matang nih. Coba kamu rasa. Enak nggak?" Naya menyodorkan sesendok penuh ke depan mulut Adi. Naya menanti sendoknya masuk ke mulut Adi.
Adi salah tingkah diperlakukan seperti itu oleh Naya. Ini pertama kalinya bagi dia setelah empat tahun tidak berinteraksi dengan Naya. Kenangan itu sungguh manis untuk diingat.
"Aaa ..." Naya mengisyaratkan Adi untuk membuka mulutnya.
Adi tersenyum, matanya bersinar terang. Kebahagiaan jelas terpancar dari bola matanya. Adi kemudian membiarkan suapan Naya sampai di lidahnya. Mengunyahnya dengan perlahan, Adi mulai merasakan kenikmatan. Cita rasa sempurna untuk sebuah makanan sederhana.
"Bagaimana?" Tanya Naya penasaran.
"Enak. Kamu harus sering masak. Aku tidak akan menolaknya. Semua pasti akan aku habiskan."
"Ohya? Terlalu percaya diri. Siapa yang ingin masak lagi untukmu." Dalam hati Naya teesenyum senang, nasih baik rasanya enak.
Naya membalikkan badannya, hendak mengambil makanan yang lain tapi kakinya malah tersangkut oleh kaki kursi. Naya coba menyeimbangkan tubuhnya, tapi yang ada malah ia terjungkal ke belakang dan jatuh dalam pangkuan Adi. Adi reflek menangkapnya, mendekap erat ponggang Naya.
Kedua mata mereka saling bertemu. Ada ketertarikan di pancaran mata mereka. Enggan bagi keduanya untuk melewatka momen tanpa rencana tersebut cepat berlalu. Sebenarnya Adi meraaa sakit di bagian lukanya tapi ia tidak mau menunjukkan rasa sakitnya itu. Adi tidak ingin Naya beranjak dari pangkuannya. Andai saja waktu bisa berhenti saat ini juga, Adi merasa sangat bersyukur.
Tanpa aadar mereka semakin mendekat, tubuh mereka seperti tertarik oleh sebuah magnet. Nyaris tiada jarak bagi wajah mereka. Adi bisa saja mencium Naya dan melampiaskan kerinduannya selama ini, tapi Adi menahan diri. Ia perlahan menjauhkan wajahnya. Adi tidak berminat mencium Naya dengan identitas palsunya. Adi tidak ingin menjerat cinta Naya pada identitas yang salah.
"Maaf," Naya bangkit dari pangkuan Adi dengan rasa canggung. Ia mulai salah tingkah. Naya melihat ke arah jam tangannya. "Ehm, sepertinya aku harus pergi sekarang. Kamu harus menghabiskan masakanku lalu istirahatlah."
Naya mengambil dua menu lain ke hadapan Adi. Karena terlalu gugup Naya sampai kebingungan untuk meletakkan dua piring besar ke atas meja karena ia menyangga bagian bawah wadah. Kuah otomatis akan tumpah jika ia memiringkan sedikit saja wadahnya.
"Biar Aku bantu." Adi berdiri dan mengambil wadah yang ada di masing-masing tabgan Naya.
Adi membuat kesalahan yang sama, ia menerimanya sekaligus dan menyangga bagian bawah juga. Adi sengaja, agar dia bisa seolah menggenggam tangan Naya meski hanya numpang lalu.
"Nay, terima kasih untuk hari ini."
Lagi-lagi wajah Adi berada tepat didepan wajah Naya jarak di antara mereka begitu dekat. Adi sekuat tenaga menahan hasratnya untuk sekedar memeluk atau mengecup bibir manis Naya. Selama ini Adi melakukan itu tapi hanya dalam mimpi.
Astaga, Naya malah menggigit bibir bagian bawah miliknya, itu yang selalu ia lakukan saat merasa gugup. Adi dibuat semakin gila menahan hasratnya untuk segera dapat melampiaskan kerinduannya kepada Naya. Adi harus cepat mengambil tindakan sebelum ia berbuat kesalahan.
Naya bernafas lega, ia sudah berada di luar rumah Adi. Keadaan di dalam membuatnya gugup. Naya memegangi dadanya lalu tersenyum simpul.
Naya kemudian memeriksa jam di tangannya, masih ada waktu. Naya kemudian teringat saran dari Adi. Adi memberikan saran kepada Naya agar berkunjung ke sekolahnya dulu dan bertanya kepada guru yang dekat dengan Abi. Mungkin beliau tau sesuatu tentang Abi.
Benar kata Adi, Kenapa aku tidak coba berkunjung ke sekolahku dulu. Aku bisa menemui wali kelas, Pak Cipto. Beliau dekat dengan Abi, mungkin aku bisa mendapat informasi darinya.
Naya akhirnya pergi ke Rumah Sakit dulu untuk menjenguk Papanya, baru pergi ke SMA Nusantara.
Di SMA Nusantara, Abi datang. Ia menapakkan kembali langkah kakinya di halaman sekolah.
Sudah lama dan keadaan sekolah tidak terlalu banyak perubahan. Abi tersenyum saat berdiri di lapangan basket. Semua kenanganya saat remaja seolah terulang lagi di sekelilingnya. Nampak bayangan ketika Abi bermain basket dengan teman-temannya. Abi lalu tertawa mengingat Naya berdiri di salah satu sudut lapangan basket sambil terus berteriak dan berjoget kknyol untuk memberinya semangat dalam bermain basket. Putra sering kali ngambek saat Naya seolah lebih berpihak kepadanya.
Abi lalu mengalihkan pandangannya ke arah kaca ruang kelas yang ada di lantai dua. Ruangan ke tiga dari kiri. Itulah ruang kelas yang penuh kenangan, antara dirinya, Naya dan Putra.
Tiba-tiba ada suara yang memanggilnya dari arah belakang, dari suaranya terdengar terkejut mengetahui keberadaan Abi di tempat tersebut.
"Abi? Itukah kamu?" Suara yang terdengar Familiar di telinga Abi.
Wah siapa nih yang memanggil Abi? Apakah itu ...