Seperti biasanya di pagi hari, seorang gadis yang biasa dipanggil Joa berjalan menyusuri lorong-lorong sekolahnya. Tak terlupakan pula, di tangan gadis tersebut telah ada buku kecil yang berisi catatan-catatan pelajarannya yang senantiasa menemaninya bepergian kemana-mana. Bahkan rasanya, buku kecil tersebut melebihi seorang teman untuknya.
"Jo.. Joa." Suara pria itu menggema di seluruh lorong yang ia lalui. Dengan rasa gugupnya, ia memberanikan dirinya melangkah mendekati Joa hingga membuat gadis tersebut menoleh kearahnya.
Dengan tatapan dan ekspresi wajahnya yang datar seperti biasanya. "Hmm?"
Melihat tanggapan Joa yang seperti itu, membuat pria tersebut tampak ragu untuk menyatakan perasaannya. Namun, baginya ia sudah terlanjur melangkah dan tidak apa untuknya jika ia harus ditolak seperti pria lainnya.
"A.. Anu. Maukah kau jadi pacarku, Joa?" teriak Pria tersebut sehingga suaranya kembali menggema di lorong kecil tersebut.
Joa hanya terdiam sembari mengangkat alisnya sebelah. Tampak seperti gadis yang sangat sombong. Ia melihat pria yang dihadapannya membungkukkan tubuhnya dan menyodorkan bunga mawar yang pria itu genggam kearahnya.
"Maaf." Jawab Joa yang membuat pria tersebut bangkit dan berdiri seperti semula bahkan memberanikan diri untuk menanyakan alasan mengapa ia menolak semua pria.
"Kenapa Joa? Hampir semua pria yang menjadi idola di SMA ini kau tolak? Apa kau mempunyai kelainan atau penyakit?" tanya pria itu dengan nada sarkastis.
"Bukan urusanmu. Lagi pula jika aku menjawab pertanyaanmu, pasti akan membuatmu bungkam. Tapi kau sangat penasaran, bukan? Aku tidak ingin menghabiskan waktuku dengan bermain-main cinta apalagi jika itu bersamamu. Nilaiku lebih penting untuk masa depan dari pada dirimu yang tidak memikirkan masa depan." jawab Joa dengan tenang namun nadanya sedikit menusuk. Ralat. Bukan hanya sedikit, tapi sangat menusuk.
Ia pun melangkah meninggalkan pria yang kini meneriaki dirinya sebagai maniak pelajaran. Joa tidak memperdulikan hal tersebut. Sungguh ia sangat tidak peduli dengan lingkungannya meskipun siswa siswi membicarakan tentang keburukannya, ia menulikan pendengarannya. Itu hal yang mudah untuknya. Ia tidak membutuhkan teman yang seperti itu. Lagi pula buat apa mendengarkan perkataan orang-orang. Bahkan ia sendiri tumbuh besar tidak makan dari perkataan mereka. Seperti itulah prinsipnya.
'Apa-apaan mereka? Mereka pikir masa depan dan waktu di bangku SMA itu digunakan untuk bermain Cinta-cintaan apa? Huh, membuatku risih saja.' — Batin Joa.
Satu langkah, dua langkah, dan seperti biasanya ada saja yang menyapanya di pagi hari. Namun, ia hanya menjawab 'Hmm' hingga membuat orang-orang salah tingkah. Sikapnya tersebut membuat teman-teman bahkan guru-guru sangat sulit untuk mendekatinya. Ia akan berbicara jika ingin berkonsultasi mengenai pelajaran dan nilainya. Setelah itu, sangat langka.
Pelajaran pertama pun dimulai. Joa menempati kursi kedua dari belakang dekat dengan jendela sebelah kiri. Hingga ia bebas memandangi pemandangan taman dan lapangan sekolah dari kelasnya yang berada di lantai tiga.
Tanpa sengaja, ia melihat seorang pria yang keluar dari semak-semak sambil menggendong anak kucing.
"Apa yang dia lakukan?" gumam Joa yang kini masih memperhatikan tingkah laku pria itu. Bahkan kini Joa tidak menghiraukan guru yang tengah menerangkan di mejanya.
"Dasar Pria Aneh." Umpatnya yang tanpa ia sadari terdengar oleh gadis yang duduk bersebelahan dengan Joa. Gadis itu bernama Kenny. Ia pun ikut melihat arah yang dipandang oleh Joa.
"Oooo, yang kamu maksud aneh itu adalah Erich Blandino?" tanya Kenny dengan senyum tipisnya.
Joa tidak menghiraukan pertanyaan Kenny tetapi masih memperhatikan pria yang bernama Erich Blandino. Ia merasa bingung dengan tingkah Pria itu.
"Erich itu pria berandalan. Pada saat penerimaan siswa baru, dia sudah mencari gara-gara dengan senior. Akhirnya, dia tidak pernah mau masuk kelas. Bahkan dia tidak pernah ke sekolah lagi dan hari ini tumben dia datang." Penjelasan Kenny membuat Joa paham dan merasa jijik jika berada di lingkungan bersama pria itu.
'Pria yang tidak punya masa depan.' — Batin Joa.
Ting.. Ting.. Ting..
Tiba-tiba bel istirahat berbunyi. Semua siswa berlarian keluar kelas menuju kantin. Berbeda dengan Joa yang masih sibuk mengerjakan beberapa soal yang ia ulang-ulang tiap saat setelah selesai dibahas oleh guru. Setelah menyelesaikan beberapa soal, ia akan memakan bekal yang ia bawa dari rumah.
Dari pintu kelas, seorang pria mengendap-endap masuk ke dalam kelas. Ia memperhatikan seisi kelas yang kini sepi dan hanya tersisa satu orang perempuan. Ia berjalan menuju lokernya dan mengambil barang-barangnya.
"Dasar Pencuri." umpat Joa dengan nada dingin dan volumenya cukup rendah. Namun, sensitivitas telinga Erich sangat tinggi sehingga mampu ia dengar.
Dengan emosi, ia perlahan berjalan menuju tempat Joa dan menarik kerah baju Joa hingga membuat Joa terangkat keatas. Namun seperti biasanya, Joa tetap santai menghadapi manusia seperti Erich. Eh, salah. Kini Joa tidak menganggap Erich sebagai manusia, melainkan monster atau lebih terlihat seperti sampah masyarakat.
"Kamu bilang apa?" teriak Erich tepat di wajah Joa.
Wajah Joa memerah menahan emosi dan menghempaskan tangan kekar milik Erich. Tatapannya sangat dingin. Ia seperti tidak takut pada Erich.
"Dasar PEN-CU-RI." ulang Joa yang penuh penekanan.
"Itu lokerku. Aku membawa barang-barangku pulang karena tidak akan pernah datang lagi ke sekolah ini."
Joa masih tidak mempercayainya. Dari gerak-geriknya tadi yang membuatnya mencurigai Erich. "Kau berbohong."
"Terserah. Aku mau pulang." ucap Erich tidak peduli. Bagaimana mungkin Joa tidak akan mencurigainya sedangkan dari gayanya saja terlihat sangat berandalan seperti monster.
'Membuang waktuku saja' — Batin Joa.
Joa pun kembali melanjutkan kegiatannya untuk mengerjakan soal-soal yang telah ia persiapkan sebelumnya. Setelah itu, ia mengambil bekalnya di dalam laci meja dan memakannya perlahan. Ia membuka catatan-catatan kecilnya dan melihat catatan buku yang ia perlukan beberapa waktu kedepan. Joa mengambil dompetnya dan melihat beberapa lembar uang seratus ribu dan lima puluh ribu.
"Untung saja aku menabung uangku." gumam Joa yang menghela napas lega.
"Andaikan aku boros, mungkin saja aku udah nggak bisa makan beberapa hari kedepan. Tapi uangku kayaknya cukup deh buat beli buku. Okee Fix, aku akan singgah di toko buku sebentar." jelas Joa yang berdiskusi dengan dirinya sendiri dan kembali menghabiskan makanannya dengan lahap.
Kembali kelas 10A melanjutkan pelajaran selanjutnya yang sempat tertunda oleh jam istirahat. Joa masih dalam keadaan semangat pagi, sementara teman yang lainnya sudah banyak yang tertidur. Bahkan guru yang menjelaskan di atas pun tidak terlalu menghiraukan siswanya. Tanpa disadari, akhirnya bel pulang berbunyi.
"Joa, mau pulang bareng?" ajak Kenny yang Joa balas dengan gelengan kepala.
"Yaudah. Aku duluan yah. Kamu hati-hati di jalan." Joa hanya mengangguk. Ia sedang malas untuk berbicara.
Tiba-tiba seorang pria yang menjabat sebagai ketua kelas di kelas Joa menghampiri Joa. "Joa, kamu dipanggil sama Bu Alice."
"Sekarang?"
"Iya. Ibu Alice menunggumu di ruangannya. Aku duluan yahh." Joa hanya mengangguk dan menghela napas gusar.
'Apa sempat aku singgah di toko buku? sedangkan sekarang sudah jam 5.' — Batin Joa.
Joa berjalan dengan tenang menuju ruangan Ibu Alice sebagai wali kelasnya. Ia menghela napas berkali-kali jangan sampai ia terlihat seperti sedang menahan amarahnya hingga ia pun sampai di depan ruangannya dan mengetuk pintu tersebut.
"Masuk Joa."
Joa pun masuk dan langsung bertanya to the point. "Ada apa Ibu memanggil saya?"
"Ibu hanya ingin meminta bantuanmu untuk membawa tugas-tugas ini padanya." Ibu Alice menyerahkan map yang berisi tugas-tugas yang bernamakan ERICH BLANDINO???
Joa menghela napas agar ia tenang. "Loh kok saya Bu? Saya tidak mengenal monster itu."
"Joa, dia anak yang baik. Ibu tidak sengaja melihatmu di kelas bersamanya. Dia hanya menghindari Ibu karena dia merasa seperti buronan makanya dia mengendap-endap. Dia bukan pencuri loh dan sepertinya hanya kamu yang tidak takut padanya." kekeh Ibu Alice yang mengingat keberanian Joa pada Erich.
"Saya tetap tidak bisa Bu. Saya sibuk. Saya ingin ke toko buku. Per—"
"Biar saya yang membelikanmu yahh yahh." potong Ibu Alice dengan cepat.
'Jual mahal dulu ahh' — Batin Joa.
"Nggak Bu. Biar saya saja. Saya permisi dulu." pamit Joa.
"No no no Joa. Kamu harus bantu saya. Saya akan membelikanmu buku itu secara gratis. Tolonglah wali kelasmu ini." Ibu Alice memasang wajah memelas.
"Mmm. Baiklah Bu. Ini daftarnya." ucap Joa mengiyakan sambil menyodorkan selembar kertas yang sudah ia beri tanda.
"Yaudah, saya permisi dulu Bu."
"Okee. Hati-hati yahh. Jangan lupa bawakan Erich." teriak Ibu Alice yang melihat Joa berjalan menjauh.
'Akhirnya uangku nggak keluar. Setidaknya cuma ketemu sama monster itu sekali lagi, nggak apa-apa. Aku juga harus minta maaf tentang kesalahpahaman yang tadi.' — Batin Joa.
***