Beberapa orang mengatakan mimpi hanyalah bunga tidur. Namun, bagaimana jika mimpi itu memiliki penafsirannya tersendiri? Untuk beberapa orang, mereka percaya pada petunjuk dari sebuah mimpi. Begitu pula dengan Erich yang kini berpikir keras untuk menemukan jawaban atau petunjuk dari mimpi tersebut.
Seperti biasanya, Erich menunggu Joa di tempat sepi yang sering Joa lewati ketika pulang sekolah. Ia mengajak Joa untuk makan. Bahkan Joa pun tidak menolaknya. Joa tidak ingin beradu mulut dengan pria itu.
"Joa." panggil Erich.
"Hmm." sahut Joa yang acuh tak acuh pada Erich dan memilih fokus pada buku kecilnya.
"Bagaimana menurutmu jika kamu bermimpi?" tanya Erich yang terdengar ambigu tanpa menolehkan pandangan kearah gadis yang kini berjalan di sebelahnya.
"Biasa aja." jawaban Joa yang singkat membuat Erich menghela napas.
"Maksud aku, jika kamu memimpikan sesuatu berulang kali, mengenai sesuatu yang nyata akan terjadi."
Joa tampak diam sejenak dan tiba-tiba menutup buku kecilnya itu. Ia ikut berpikir. "Bisa jadi itu merupakan sebuah petunjuk untukmu."
"Aa.. Aku nggak mimpi kayak gitu. Bukan aku yang bermimpi." sela Erich dengan gugup.
'Anehh, padahal aku nggak bilang yang aneh-aneh kok.' — Batin Joa.
"Aku hanya membantu seseorang untuk mencari petunjuk mengenai mimpinya." lanjut Erich.
"Seseorang? Pacarmu?" tanya Joa spontan.
'Pertanyaan apa itu Joa? Dasar Joa bego' — Batin Joa yang merutuki kebodohannya.
"Hahahahaha, pa.. pacar? Nggaklah. Aku saja nggak tau seperti apa itu pacar yang baik." jawab Erich yang masih tertawa terbahak mendengar pertanyaan Joa yang menurutnya konyol.
"Oiyaa, siapa juga yang mau sama monster kayak kamu.?" Ucapan Joa yang terkesan meremehkan Erich. Namun, Erich berusaha untuk serius dan terlihat seperti pria keren.
Erich berhenti dan menoleh kearah Joa. Gadis itu terlihat bingung dengan tingkah Erich yang tiba-tiba berubah dan mendekatkan wajahnya tepat di depan wajah Joa yang kini telah memerah.
"Kamu." ucap Erich yang terkesan berbisik.
"Heh?" Joa nampak seperti orang bodoh yang masih membutuhkan kejelasan.
"Kamu akan menyukaiku, Joa." tegas Erich yang terlihat sangat serius.
"Wh.. WHAAAAAATTT? Kesambet apa kamu jadi Ge-er tingkat akut kayak gitu." teriak Joa yang kini wajahnya telah memerah bak kepiting rebus.
"Kamu sakit lagi yahh? Mukamu jadi merah gitu." ucap Erich yang polos.
'Huaaaa, untung Erich anaknya polos plus bego'. Diriku terselamatkan.' — Batin Joa.
"Aku lapar." Joa berjalan mendahuluinya menuju tempat biasa ia berdua makan. Erich pun mengekorinya di belakang.
Akhirnya ia pun tiba di tempat favorite bagi Erich. Ia sering kali berkumpul di tempat itu bersama temannya. Namun, hari ini dan dua hari yang lalu ia membawa teman seorang gadis di tempat itu sehingga menjadi sorotan orang-orang disana hingga saat ini tetap sama.
"Mereka belum pernah melihat cewek sepertiku yahh sehingga aku dilihat seperti artis saja." bisik Joa dengan santai yang kini telah duduk berhadapan dengan Erich.
"Mereka hanya terkejut melihatmu yang aku bawa sendiri kemari." balas Erich yang tak kalah santai dengan melipatkan kedua tangannya di depan dada.
"Segitu terkenalnya dirimu di tempat ini?" tanya Joa seraya melihat daftar menu makanan dan minuman lalu ia tulis di kertas kecil yang telah tersedia.
"Anggap saja demikian. Aku pesan vanilla dingin aja." Joa membalasnya dengan anggukan.
Tiba-tiba datang tiga orang pria yang berpenampilan tak jauh berbeda dengan penampilan Erich. Joa memperhatikan gerak-gerik ketiga pria itu dan tidak ia sangka mereka menyapa Erich.
"Heiii, broo. Duit lo ada nggak?" tanya salah satu diantara mereka.
"Kami nggak bawa duit broo." ucap yang lainnya.
"Mau minta lagi?" tanya Erich.
"Hemm. Kami lupa bawa duit."
Dengan polosnya, Erich memberinya dua lembar uang lima puluh ribu dengan raut wajah yang senang. Mata Joa terasa panas melihat kebodohan monster yang ada di hadapannya itu.
"Emangnya kau siapa?" tanya kepada tiga pria itu dengan nada ketus dan dingin.
"Gue temannya Erich." jawab teman lainnya dengan senyuman puas.
"Heeeeh, teman yah? Cuiiihh." Sikap Joa membuat Erich dan ketiga pria itu terkejut. Mereka tidak menyangka Joa yang tenang memiliki sikap yang sombong. Joa pun beralih menatap Erich sembari mendobrak meja tersebut.
"Heiii, Kau gila yahh? Ngapain kau kasih mereka uang. Mereka cuma memeras dan menyukai uangmu. Jika kau sudah kehabisan uang, mereka bakal pergi, Rich. Kau paham nggak?" teriak Joa yang meneriaki Erich dengan wajah yang tercengang. Kini mereka menjadi bahan perhatian di tempat itu. Bahkan ketiga teman Erich sudah bergidik ngeri dan kabur.
"Buat apa berteman jika hanya memanfaatkan uangmu saja. Hanya orang-orang bodoh yang memiliki teman seperti itu." tambah Joa.
'Apa yang aku lakukan? Tiba-tiba saja aku tidak mampu mengendalikan diriku sendiri.' — Batin Joa. Jika diperhatikan Joa sepertinya mulai peduli mengenai hal-hal yang berkaitan dengan Erich tanpa dirinya sadari.
Syuuuuuurrrr
Joa terkejut bukan main. Ia dipermalukan di depan orang-orang. Erich menuangkan vanilla dingin itu di kepalanya. Padahal Joa telah bersikeras membelanya. Ia tidak tahu apa yang ada di pikiran pria itu.
"Meski aku bodoh, aku masih bisa menghargai orang lain." lirihnya dan meninggalkan Joa.
Joa semakin emosi dan geram. Ia mengejar Erich sembari membawa minumannya untuk ia balaskan kepada pria itu.
'Apa-apaan monster gila itu? Aku hanya mengatakan hal yang sebenarnya. Buat apa dia marah.' — Batin Joa.
Ia melompat dan menendang belakang Erich. Lalu melemparkan minumannya dan mengenai kepala Erich. Joa pun berlari menjauh darinya hingga ia menemukan sebuah taman untuk beristirahat.
Saat ini, senja pun mulai memanjakan mata Joa. Gadis itu sangat menikmati pemandangan yang ada di hadapannya. Ia masih tidak habis pikir dengan pria itu. Erich terlihat seperti orang bodoh di matanya. Tiba-tiba, ketiga teman Erich yang tadi menghampiri Joa di taman itu.
"Lo berani banget yahh ternyata." ucap pria bernama Alex. Namun, Joa tetap mengabaikannya yang kini mulai sedikit takut.
"Lo apanya Erich sihh? Posesif banget jadi cewek." tambah pria yang bernama Gerald itu dan kini menarik lengan Joa agar berdiri. Mereka merasa tidak dihargai oleh gadis yang ada dihadapannya.
"Seharusnya kalian sadar, kalian itu berteman hanya karena uang. Seharusnya kalian berteman dengannya tanpa pamrih. Padahal ia menganggap kalian sebagai teman tapi kalian memanfaatkannya. Kalian menjijikkan." ucap Joa dengan lantang yang membuat mereka tersulut emosinya sendiri.
"Wahhh, udah berani dia broo. Gue jadi tertarik dengan cewek ini. Kita apain yahh?" ucapnya salah satu pria yang bernama Bryan yang sedari tadi hanya diam saja.
'Buat apa aku takut kalo ujung-ujungnya bakal mati juga.' — Batin Joa.
Disisi lain, Erich terus memikirkan perkataan Joa yang baginya terdengar menyakitkan. Tapi, hatinya tetap membenarkan perkataan gadis itu. Sekilas ia menoleh kearah taman yang terlihat seorang gadis dan tiga pria yang sangat familiar.
Sementara pria bernama Alex itu kini mengayunkan tangannya untuk menampar Joa. Namun, dengan sigap Erich menangkisnya dan menarik kerah baju Alex hingga ia terangkat. Bahkan Joa tercengang melihatnya. Hatinya membenarkan bahwa yang ada dihadapannya benar-benar monster.
"Berani menyentuhnya, kupatahkan leher kalian." dengan sadis, Erich melempar Alex. Kedua temannya membantu Alex berdiri dan meninggalkan Erich dan Joa.
Di perjalanan pulang ke rumah Joa, Erich masih tetap mengekorinya. Tak disangka-sangka Erich yang terlihat menyeramkan seperti monster, ternyata mampu mengeluarkan air mata. Ia menangis dan membuat Joa kebingungan.
"Ka.. kau bodoh, yah? Begitu saja kenapa sampai nangis sih?" omel Joa seperti seorang Ibu yang memarahi anaknya.
Erich menghapus air matanya. "Bukan begitu. Aku hanya merasa senang sekali sampai nangis kayak gini."
Angin di sore hari bertiup dengan damai. Poni Joa menjadi berantakan tertiup angin hingga menghalangi pandangannya menatap pria yang ada di hadapannya itu. Entah hatinya ikut tersentuh dan ingin menangis melihatnya.
'Kenapa bisa? Bahkan saat keluargaku hancur, aku tidak ingin menangis dan tidak mampu untuk menangis. Namun, setelah melihatnya, aku jadi ingin ikut menangis.' — Batin Joa.
Perlahan Joa melangkah mendekati Erich dan memeluknya. Ia ingin menenangkan pria itu. "Tenang saja. Suatu saat kamu akan bersama dengan orang-orang yang menerimamu dan menyayangimu dengan tulus."
Erich terkejut dengan perlakuan lembut Joa. "Jika kamu ada, aku akan berusaha untuk kembali ke sekolah. Asalkan bersamamu."
Joa melepaskan pelukannya dan melemparkan senyuman manis yang tidak pernah ia perlihatkan kepada siapa pun. Melihat senyuman itu, Erich merasa sangat aneh. Jantungnya merasa sangat aneh.
***DEGG.. DEGG.. DEGG**..
'Lohh? Jantungku*.' — Batin Erich. Pipi pria itu mulai memerah.
Tiba-tiba Erich mengatakan hal aneh yang membuat Joa tercengang. "Lohh kok dadaku jadi nyut nyut begini? Dadaku merasa cenat cenut gitu."
"Heh?"
"Jangan-jangan.. Ehh, Kayaknya a.. aku menyukaimu, Joa." ucap Erich dengan gugup dan memasang wajah polosnya.
"Heeeehhhh? Tu.. tunggu dulu." Joa berteriak bahkan gugup tak tahu harus berkata apa. Wajahnya mungkin sudah memerah lagi.Bahkan ia belum pernah menghadapi hal semacam hari ini.
"Mu.. mungkin. Kamu menyukaiku sebagai teman, Erich. Hehehehe." Lanjut Joa yang sangat gugup.
"Ti.. tidak Joa. A.. aku menyukaimu sebagai lawan jenis." Balas Erich tak kalah gugup. Ia menghela napas untuk menghilangkan kegugupannya.
"Oohh, a.. anuu. Mungkin kamu belum bisa membedakan hal yang seperti itu, Erich. Jangan salah sangka dulu." ucap Joa yang mulai tenang.
"Ohh gitu yahh. Meskipun seperti itu, aku bahkan akan tetap menyukaimu, Joa."
'Untuk pertama kalinya bagiku, aku merasa berbeda setelah seorang pria menyatakan perasaannya padaku.' — Batin Joa.
***