Chereads / Waktu Tanpa Diriku / Chapter 7 - 07

Chapter 7 - 07

***Siapa dia? Ia terlihat sangat familiar. Ia duduk diatas kursi roda. Aku menghampirinya yang kini membelakangiku. Aku semakin penasaran. Aku menyapanya, "Hei."

"Maafkan aku. Aku tidak dapat melihatmu, karena aku buta. Aku tidak dapat menghampirimu, karena aku cacat." tutur gadis itu. Ia menghela napas kemudian melanjutkan perkataannya.

"Bolehkah aku membenci takdir? Jika boleh, aku ingin membenci dan terus menyalahkan takdirku. Mengapa aku harus terlahir dari rahimnya dan harus tinggal bersama Ayah tiri yang senantiasa membuatku menderita hingga aku beranjak dewasa.? Bahkan aku hampir kehilangan kesucianku karena ulahnya." imbuhnya. Aku mendengar gadis itu menangis dan terdengar sangat memilukan.

"Andai aku memiliki kemampuan untuk kembali pada masa lima belas tahun yang lalu, aku.. aku akan hidup tanpa terikat pada orang tua, aku akan mencari seorang pria yang lebih bisa aku andalkan yang akan mencintaiku dan menemaniku. Atau—" ucapnya yang terpotong.

"Atau apa?" tanyaku yang begitu penasaran mendengar segala penderitaannya. Aku seperti merasakan hal yang sama pada diri gadis tersebut. Merasa bahwa takdir sangat kejam padaku.

"Atau.. aku ingin kembali dimana mereka hidup pada waktu tanpa kehadiran diriku. Aku ingin merubah segalanya." lirihnya yang kemudian membalikan kursi rodanya seolah ingin melihat wajahku dengan mata yang tertutup oleh perban. Padahal, hanya aku yang penasaran dengan dirinya.

Aku terkejut melihat wajahnya yang bercahaya sangat Indah dan menyilaukan. Namun, tak nampak jelas. "Bisakah kau membantuku merubahnya?" pintanya sembari mengulurkan tangannya***.

Seperti sebuah film bagi Erich tiap malamnya. Di waktu siang hari, Mimpi itu terus berputar tiap kali ia melihat Joa. Ada yang aneh pada dirinya. Ia merasa keberadaannya seakan ditarik di sekolah ini. Ia tidak bisa merasakan penolakan dari dirinya, jika bersama Joa. Hal itu membuat Erich terus memikirkannya. Terlebih lagi mimpi aneh itu. Seperti saat ia mengetahui bahwa Joa akan menyukainya itu adalah hal yang tiba-tiba bisa ia ketahui tanpa mengetahui arah datangnya dari sudut bagian mana.

Disisi lain, akhir-akhir ini Joa sudah tidak lagi memanggil Erich dengan sebutan monster. Perlahan, ia sudah mulai menerima Erich dalam hidupnya. Begitu pula dengan Kenny dan Kai. Ia menerima mereka berdua sebagai temannya. Namun hari ini sikap Erich terlihat berbeda dari biasanya. Ia tidak banyak bicara. Hal ini membuat Joa khawatir. Ia takut untuk bertanya pada Erich. Wajahnya terlihat lebih menyeramkan dan terkesan dingin.

"Ee.. Erich." panggil Joa yang gugup dan sedikit takut. Volume suaranya lumayan kecil. Sementara siswa yang lain menyimak penjelasan dari guru.

Erich hanya menoleh dan mengangkat sebelah alisnya. Tatapan mata Erich terlihat berbeda. Joa merasa pria yang duduk di sebelahnya bukanlah Erich melainkan orang lain.

'Apakah Erich memiliki kepribadian ganda?' — Batin Joa.

"Kamu baik-baik saja?" tanya Joa yang masih ragu.

"Tak perlu khawatir. Aku baik-baik saja." jawabnya dingin tanpa menoleh kearah Joa. Joa merasa dadanya nyeri dan sesak.

Joa mengangkat tangannya untuk meminta izin kepada guru yang mengajar. Ia ingin menuju UKS untuk beristirahat. Ia tidak begitu mengerti mengapa dadanya nyeri dan sesak. Tapi hal itu benar-benar menyakitinya. Dengan langkahnya yang lemah membuat gadis itu tak mampu menopang tubuhnya sendiri saat ia berjalan menuju UKS hingga tangan kekar menahan tubuhnya yang kini kehilangan keseimbangan.

"Si.. siapa kau?" tanya Joa ketika melihat pria yang beberapa hari yang lalu hampir menciumnya.

"Kau benar-benar melupakanku, Joa." lirihnya dengan raut wajahnya yang sangat kecewa.

"Maaf, bisakah kau melepaskanku? aku bisa berjalan sendiri." tutur Joa yang sedikit memberontak. Namun perkataannya tidak diindahkan sama sekali oleh pria itu.

"Kau sedang tidak baik-baik saja. Biarkan saya yang mengantarmu ke UKS. Saya tidak akan melakukan hal yang aneh terhadapmu." Pria itu tetap bersikeras untuk mengantar Joa ke UKS.

Setelah menatap wajah pria yang tidak asing baginya, ia pun memberanikan diri untuk bertanya lagi. "Siapa kau sebenarnya?"

"Ingatanmu benar-benar buruk sejak dulu Joa." ucapnya yang sepertinya menghina.

"Apa susahnya sihh kau menjawab pertanyaanku?" ketus Joa yang melemparkan raut wajah dan tatapan dingin pada pria itu.

"Nanti kau bakal tau kok." jawabnya yang tidak sesuai dengan apa yang Joa ingin ketahui.

"Apakah kau orang jahat? apakah kau akan melukaiku?" tanya Joa yang terdengar sangat polos.

Pria itu terkekeh geli mendengar pertanyaan yang menurutnya konyol. "Bagaimana mungkin aku melukai orang yang aku cintai?" Namun ketika ia sampai di UKS, pria itu mendekatkan wajahnya ke telinga Joa.

"Namun, aku bisa melukaimu dan melakukan sesuatu hal bersamamu jika kau menolakku." bisik Pria itu sembari menunjukkan senyum liciknya dan berhasil membuat Joa bergidik ngeri.

"Ka.. kau, jangan lakukan itu sialan. Kau pikir aku takut padamu." Entah kekuatan dari mana sehingga Joa berteriak dengan lantang. Namun setelah itu ia sepertinya kehabisan napas dan ia berbaring.

'Andai aku memiliki kemampuan, akan ku makan hidup-hidup pria sialan itu.' — Batin Joa yang memberenggut kesal.

"Yaudah aku pamit dulu yahh. Jaga kesehatanmu sayang. Nanti tubuhmu tambah kurang menarik karena kekurangan gizi." ledek pria itu yang membuat amarah Joa semakin meletup-letup.

"Sayang, sayang gigimu. Dasar pria otak mesum. Lah, ini badanku kok bukan badanmu. Lagian badanku ini nggak bakal bisa kau liat meski tai matamu berusaha ngitip bakal aku musnahkan matamu dan kotorannya sampai akar-akarnya." balasnya dengan geram. Joa sangat ingin menonjok wajahnya yang terlihat sangat bergairah untuk diinjak-injak.

"Lebih baik kau segera pergi dari sini. Kau membuatku tambah sakit." imbuh Joa yang dibalas dengan kecupan di kepala Joa.

"Selamat beristirahat sayang." ucapnya yang tersenyum sangat lebar.

"...#@$!?:@$:#..." Ia menghela napas lega setelah kepergian pria tanpa nama itu. Keberadaannya membuat Joa semakin gila. Namun, setidaknya untuk beberapa detik yang lalu ia tidak sempat memikirkan perubahan sikap Erich.

'Apa yang terjadi denganmu, Erich?' — Batin Joa.

Tiba-tiba terdengar pintu terbuka. Joa tidak menghiraukan siapa yang datang. Namun, suara langkah kakinya seperti mendekat kearah Joa. Gadis itu berpura-pura tidur dan dengan posisinya yang membelakangi orang itu.

"Kamu tidak usah mengkhawatirkanku. Aku akan baik-baik saja, jika kamu baik-baik saja." suara yang terdengar familiar di telinga gadis itu, siapa lagi kalau bukan Erich. Namun Joa tetap saja tidak memperdulikannya meskipun ia terperanjat kaget ketika Erich mengatakan hal demikian seolah ia telah mengetahui kata hati Joa yang sedang mengkhawatirkannya.

'Tapi aku tidak baik-baik saja, Erich. Aku sakit.' — Batin Joa.

"Dan sebisa mungkin aku tidak akan menyakitimu dan berpikir positiflah tentangku, Joa. Aku mohon." pintanya yang tertangkap jelas di telinga Joa sembari mengelus-elus kepalaku dengan sangat lembut.

'Yahh, Aku sudah benar-benar menyukaimu, Erich.' — Batin Joa.

'He..emm. Tidak Joa. Kini aku menyadari, aku yang telah mencintaimu, jauh sebelum aku bertemu denganmu yang saat ini berbaring di hadapanku.' — Batin Erich seraya melangkah meninggalkan ruangan yang beraroma obat-obatan.

***