Gadis desa itu tampak terpaku menatap Hendra yang sedang menggenggam pistol di tangannya. Ada kesan sedikit curiga di matanya dan ia enggan beranjak dari tepi sungai.
"Cepatlah naik ke daratan dik! Percayalah, kami tidak bermaksud jahat kepadamu. Ada seekor buaya yang hampir saja menyerangmu kalau kau tidak cepat-cepat menyingkir," kata Hendra. Ia berjongkok meletakkan pistolnya ke lantai jembatan, agar gadis itu tidak berprasangka yang bukan-bukan.
Gadis desa itu mengerjap-ngerjabkan matanya sejenak, pandangannya melunak, setengah tidak percaya, lalu dengan sikap hati-hati sambil terus tatapannya tak lepas dari Hendra, ia naik perlahan ke jembatan. "Terima kasih sudah mengingatkan. Kalian ini siapa?" Ia bertanya lirih. Hendra menebak usianya sekitar 15-16 tahun.
Sambil tersenyum lega Hendra menjawab, "Kami sedang tersesat, dan ingin bertanya-tanya kepadamu tentang daerah di sini. Boleh kami singgah...?"
Gadis desa itu mengangguk. Rambut ekor kudanya bergoyang-goyang saat ia menggerak-gerakkan kepalanya. "Kenapa tersesat? Bukankah daerah ini tak boleh dikunjungi? Semestinya kalian tak boleh datang ke sini." Gadis desa itu membelalakkan matanya. Ia tampaknya tidak begitu peduli dengan pakaiannya yang basah kuyup. Memperlihatkan lekuk tubuhnya yang indah.
"Jadi maksudmu, tempat ini juga berada di kawasan terlarang?" Lusia balik bertanya. Ia lalu menatap ke arah Hendra dengan tatapan ngeri.
"Tidak.juga, tapi tempat tinggal kami memang berdekatan dengan tanah terlarang, itulah sebabnya mengapa sangat jarang orang datang ke sini," jawab si gadis.
Ia menatap sekilas ke arah Hendra. "Aku harus memberitahu nenekku dulu kalau ada orang asing masuk ke sini," katanya. Lalu ia berbalik arah gubuk.
"Sebentar..." Hendra berusaha mencegahnya berbalik. "kami tidak diperbolehkan datang ke sini...? Kalau begitu kami pergi saja sekarang."
Gadis itu berpaling lagi sambil tersenyum. "Aku tidak bilang kalau kalian tidak boleh ada di sini. Aku hanya mau memberitahu nenekku kalau kami kedatangan tamu istimewa. Jarang sekali orang datang ke sini," katanya.
Gadis itu lantas secepatnya berjalan menyusuri jembatan menuju ke rumahnya yang sederhana.
Hendra dan Lusia saling berpandangan.
"Kau yakin kalau ini semua sesuatu yang logis, Hen?" bisik Lusia. Ia menatap ke arah gubuk dengan pandangan sangsi.
"Kenapa?" Hendra mengerutkan alis.
"Coba kau pikir! Seorang perempuan berwajah cantik, berkulit bersih, tinggal terpencil di dalam hutan, dan tak ada akses dengan dunia luar, kok bisa? Dan caranya berbicara pun menunjukkan kalau dia memiliki intelektual yang lumayan, rasanya gak mungkin kalau dia penghuni rimba yang terisolasi..."
"Kau lihat kakinya menyentuh tanah apa tidak?" Hendra bertanya sambil memperlihatkan senyum mengolok.
"Bukan maksudku ingin mengatakan kalau dia adalah kuntilanak! Aku cuma ingin bilang, jangan-jangan ini adalah bagian dari keanehan-keanehan yang kita alami semenjak di kawasan tanah terlarang!" Lusia menjawab agak bernada tinggi.
"Berpikir positif sekali-sekalilah, kenapa sih?" Hendra tertawa.
"Kamu sepertinya senang sekali singgah ke tempat ini. Dia cantik sih!" Lusia berujar dengan nada cemburu. Wajahnya agak cemberut.
Tak berapa lama gadis desa itu keluar lagi dari dalam rumahnya. Ia melambaikan tangan ke arah mereka.
"Masuklah, nenekku mempersilakan kalau kalian ingin bermalam!" ujarnya.