Hendra menaikkan kecepatan motor boat yang ia kemudikan, mengambil arah yang berlawanan dari rute yang semula mereka tempuh.
Transportasi air kecepatan tinggi itu meliuk-liuk mengikuti alur anak sungai yang berada di kawasan tanah terlarang. Hendra tampaknya mulai terbiasa dengan kendaraan perusahaan itu.
Di tengah perjalanan, Hendra berujar penuh semangat. "Benar saja apa kata ayahku dulu. Kita kerap tidak menyadari kemampuan yang ada pada diri kita. Tapi kemampuan itu akan muncul pada saat kita sedang dalam keadaan terdesak!"
Ia secara gila-gilaan terus meliuk-liukkan kendaraan air itu saat melintasi sungai.
Saat melewati kawasan perbatasan tanah terlarang, Lusia masih melihat tanda tapal batas itu berupa tiang ulin berbalutkan kain berwarna kuning.
Tapi yang membuat ia tercengang adalah di antara batang pepohonan ia melihat seekor rusa bertubuh besar dengan tanduk bercabang-cabang berdiri di tepi sungai, tengah memandang ke arah mereka.
"Rusa jinak...!" Lusia berteriak sambil melambaikan tangannya. Ia berpaling ke arah Hendra. "Rusa itu telah menyelamatkanku, dia juga bisa menghiburku, aku sangat berterima kasih padanya!"
"Kau mau dia kita bawa?" Hendra menawarkan diri. Ia melambatkan laju motor boatnya. Tapi Lusia langsung menggeleng. "Enggak ah! Biarkan saja dia bebas di alam liar." jawab Lusia sembari tersenyum kecut.
Hendra tertawa. "Aku tidak bisa membayangkan kalau dia kau pelihara. Pasti kau harus mencarikannya rumput setiap hari untuk memberinya makan, belum lagi kalau dia sakit. Kau harus menggendongnya ke dokter hewan!"
"Membayangkan yang pertama saja aku sudah sesak nafas," kata Lusia sambil tertawa.
Hendra terus menelusuri alur sungai, berharap menemukan kawasan yang bisa ia kenali sebagai kawasan yang pernah mereka lewati, dan itu bisa menjadi petunjuk kalau mereka sudah menuju arah yang benar.
Tapi lagi-lagi apa yang ia lihat bukanlah daerah yang ia kenal. Yang ia lihat hanyalah kawasan hutan lebat seperti sebelumnya.
Tapi....
Motor boat mereka melintasi sebuah kawasan yang hanya ada satu rumah saja di tepi sungai. Sebuah rumah yang sangat sederhana, hampir seperti gubuk yang beratapkan daun nipah.
Tapi bukan itu sebenarnya yang menarik perhatian keduanya.
Ada satu pemandangan lain yang cukup kontras dengan pemandangan gubuk di sela pepohonan.
Seorang gadis remaja berkulit putih berwajah cantik tampak sedang berusaha mengambil air di sungai dengan menggunakan ember bertali.
Ia berdiri di atas jembatan kayu kecil menjorok ke sungai berusaha menjangkaukan tangannya ke bawah mengambil ember yang tanpa sengaja ia jatuhkan.
"Orang Dayak biarpun di desa wajahnya cantik-cantik ya, Hen..." kata Lusia.
"Sebentar..." Hendra tiba-tiba terlihat tegang. Ia memandang ke arah si gadis dengan tatapan cemas. "Kenapa, Hen? Kau tiba-tiba sangat peduli? Apa karena dia cantik? Dia itu tipe.mu?" Lusia.bertanya dengan nada cemburu.
Hendra menghentikan motor boatnya di tengah-tengah sungai. Ia menatap terpaku ke arah si gadis. Lusia mengerutkan alis.
"Coba kau lihat... sepertinya anak itu berada dalam bahaya..." desis Hendra.
"Maksudmu, Hen?"
"Kau lihat tidak? Sesuatu yang ada di air sedang menghampiri gadis yang menjangkau ember itu..." Hendra menunjuk ke seberang sungai.
Lusia mengikuti arah telunjuk pemuda itu. Dan ia terpaku saat melihat sesuatu meluncur lamban di permukaan air menyeberangi sungai. Sesuatu yang menyembul bergerigi dengan bentuk memanjang tampak meliuk-liuk memuju arah gadis di tepi sungai.
"Astaga! Itu...."
"Buaya! Ukurannya sangat besar!" Hendra langsung menyahut. Ia mengeluarkan pistol dari dalam saku nya dengan tangan gemetar. "Kita harus mengingatkannya sebelum terlambat..." desis pemuda itu. Ia segera menjalankan lagi motor boat menuju ke arah si gadis desa. Dan melambai-lambaikan tangannya agar peringatannya mendapat perhatian. "Menjauhlah dari sungai! Ada buaya!"
Si gadis tampak terkejut saat menyadari ada motor boat menghampirinya. Ia berusaha berdiri, namun celakanya kakinya juatru salah injak sehingga menyebabkannya justru jatuh terpeleset ke dalam sungai.
"Oh, Hen! Astaga! Dia terjatuh! Tolongin dia, Hen! Tolongin dia! Astagaaa!!!" Lusia menjerit-jerit panik.
Sesuatu yang bergerigi di air tampak memgarahkan lajunya ke arah si gadis yang tengah tercebur yang sedang berusaha berenang ke tepian sungai dengan bingung bercampur kesal. Bahkan jaraknya dengan si gadis kini hanya tinggal sepuluh meter.
"Oh, Hen! Aku tidak.tega melihatnya!" Lusia kembali memekik tegang. Ia.menutup mulutnya dengan telapak tangan sembari matanya membelalak.
Hendra mengarahkan pistolnya dengan tangan gemetar ke arah bayangan memanjang di air. "Semoga saja aku tidak salah sasaran..." desisnys.
DOOORRR!!!
Senjata api di tangannya meletus. Disusul kemudian benda bergerigi menakutkan di air tampak menggeliat keras menimbulkan riak dan gejolak, lalu menghilang.
Si gadis telah berhasil mencapai tepi sungai. Ia berdiri di tepi sungai dengan wajah bingung bercampur ketakutan. Seluruh tubuhnya basah kuyup.
Hendra menepikan motor boatnya dan secepat kilat meloncat ke jembatan lalu berlari cepat menyusul gadis itu di tepian sungai.
"Cepatlah naik ke daratan! Kau hampir disambar buaya!" Hendra mengulurkan tangannya ke arah si gadis.
Lusia memperhatikan dari dalam motor boat. Ia merasa enggan berurusan dengan orang-orang desa mengingat perlakuan sebagian dari mereka terhadap dirinya. Dan ia sedikit memiliki perasaan cemburu melihat sikap heroik Hendra terhadap gadis desa itu.