Download Chereads APP
Chereads App StoreGoogle Play
Chereads

HUTAN TERKUTUK

naramentaya20
--
chs / week
--
NOT RATINGS
187.6k
Views
Synopsis
"Jangan coba-coba merambah hutan yang kami lindungi!" demikian selalu ucapan warga jika ada pihak perusahaan perkebunan berniat ingin memperluas lahannya ke area hutan itu. Hutan itu memang selalu dijaga warga, bukan hanya puluhan tahun, bahkan ratusan tahun tak ada yang boleh berani menginjakkan kaki di sana. Warga selalu menutup dan menjaganya, bahkan jika ada pihak luar yang berani melanggar mereka tak segan-segan untuk bertindak bahkan mengancam nyawa nya. Ada apa yang disembunyikan warga selama ratusan tahun tak ada yang tahu persis. Dan itu pulalah yang membuat perusahaan yang dipimpin oleh Om Doni menjadi penasaran. Karena ngototnya warga ingin mempertahankan keberadaan hutan itu, ia pihak perusahaan akhirnya nekad mengirimkan dua orang staffnya untuk meneliti kebenaran mitos yang dihembuskan warga, bahwa hutan itu mengandung kutukan yang sangat mematikan. "Aku tugaskan kalian untuk membuktikan ketidakbenaran akan mitos yang dihembuskan warga itu!" kata Om Doni kepada staffnya, Hendra dan Lusia. Dengan setengah terpaksa akhirnya keduanya memasuki area hutan itu, dengan harapan bisa membuktikan ketidakbenaran kutukannya. Tapi sesuatu yang mengerikan justru menunggu mereka di sana. Sesuatu yang selama ratusan tahun menunggu untuk dibangkitkan...! Dan sesuatu itu terus mengejar siapapun di sekitarnya dengan teror dan kutukan yang mengerikan...!
VIEW MORE

Chapter 1 - Buruh Perusahaan Banjir Darah Dicincang

"Aaaaaahhhh...! Aaaaaaahhhhk!!!" jerit kesakitan terdengar mendirikan bulu Roma.

Terjadi kehebohan mendadak di kantor tempat Lusia bekerja. Saat ia baru saja mengaktifkan PC kantor, tiba-tiba datang beberapa orang buruh lapangan perusahaan memapah satu orang rekan mereka yang bersimbah darah.

Buruh lapangan ini menjerit-jerit kesakitan akibat beberapa luka bacokan di tubuhnya. Darahnya tampak berceceran di tanah sepanjang ia dipapah menuju ruang klinik perusahaan yang letaknya tak jauh dari kantor tempat ia bekerja.

Terdengar jerit-jerit kesakitan dari buruh yang terluka parah tersebut. Sejumlah rekan kantornya yang lain tergopoh-gopoh dengan penasaran ingin melihat apa yang terjadi, sementara Lusia sendiri lebih memilih diam saja di mejanya dengan tubuh gemetar.

"Kenapa dia?" tanya Lusia kepada salah satu pegawai lain yang baru saja masuk ke ruangan setelah menengok ke ruangan klinik.

"Warga sekitar perkebunan mengamuk! Mereka menganiaya buruh pembukaan lahan," bisik salah satu pegawai.

Lusia yang baru satu minggu bekerja di perkebunan sawit itu langsung ketakutan.

"Memang kenapa masalahnya?" Lusia bertanya dengan khawatir.

"Orang-orang kampung tak terima karena perusahaan kita menggarap lahan yang mereka lindungi selama ini. Mereka mengancam akan terus melakukan tindakan kekerasan terhadap para pekerja jika perusahaan ini tetap beroperasi," tambahnya lagi.

Lusia terenyak. Dia memang baru satu minggu bekerja di perusahaan itu, dan masih tidak mengerti dengan seluk beluk persoalan perusahaan itu selama ini.

Belum lagi ia berhasil menenangkan diri, muncul lagi kasus yang sama. Kali ini bahkan tiga orang pekerja sekaligus yang diangkut menggunakan ambulan perusahaan. Ketiganya juga bersimbah darah saat diangkut menggunakan tandu memasuki ruang perawatan.

Lusia terdiam di tempat duduknya saat melihat pemandangan itu. "Aku ingin berhenti saja kalau situasinya seperti ini terus," desis Lusia.

"Eeh, jangan! Mereka hanya menyerang buruh yang ada di lapangan, bukan pegawai kantoran kaya kita-kita ini!" tukas seorang karyawan laki-laki yang sudah lama menaruh hati pada Lusia yang cantik dan berkulit putih.

Pimpinan perusahaan sendiri, seorang pria berbadan gemuk bernama Doni langsung datang ke kantor tersebut.

Dalam sekejab ruangan tempat Lusia bekerja berubah menjadi ruang rapat yang dihadiri oleh para petinggi perusahaan.

Doni, pemilik perusahaan terlihat wajahnya keruh, separuh menahan perasaan jengkel. Dan lucu nya lagi, Lusia yang baru saja bekerja di perusahaan itu ikut dilibatkan sebagai karyawan penting dalam rapat tersebut.

"Kamu duduk di meja yang itu ya," kata Doni sang pemimpin perusahaan sambil menunjukkan sebuah meja di sudut ruangan kantor. "Nanti ada penugasan khusus untukmu..." lanjutnya.

Rina, sahabat SMA nya yang memasukkan Lusia bekerja di perusahaan itu mengedipkan sebelah mata kepadanya.

"Jarang-jarang lo, Om Doni bersikap seperti itu kepada karyawan kantornya yang selevel kita ini. Berarti ada sesuatu yang istimewa darimu yang menarik perhatiannya," bisik Rina. "Kamu cantik...!"

Lusia langsung menyikut pinggang Rina yang tampaknya tidak terlalu tegang dengan kehebohan itu.

"Jangan komen enggak-enggak. Aku cuma pingin cari uang kerja di perusahaan ini, lagian belum tentu bisa lama aku bekerja di sini kalau situasinya terus tegang seperti ini..." balas bisik Lusia sambil mendelik kesal kepada teman se kantornya itu.

Belum lagi mereka memulai rapat, dari tempat lain terdengar lagi jerit kesakitan seperti sebelumnya. Dan lagi-lagi pemandangan yang sama.

Seorang buruh kebun yang lain tampak mengerang-erang kesakitan dibonceng dengan sebuah sepeda motor melewati halaman kantor menuju ke klinik. Buruh itu juga tampak bersimbah darah.

"Kalau begini terus, lama-lama seluruh buruh kebun sawit akan habis semua kena bacok...!" keluh Doni sang pimpinan perusahaan memecah kesunyian kantor karena tegang. Ia lalu memandang para staff perusahaan yang sudah berkumpul di meja di depannya. "Baiklah rekan-rekan. Saya minta perhatian sejenak," ia menyuruh para staff yang ada kembali duduk di kursi mereka masing-masing. "Hari ini kita melihat sendiri beberapa orang lapangan kita telah mengalami gangguan yang cukup keras dari penduduk kampung sekitar. Tampaknya penganiayaan berat ini akan terus berlangsung dan mungkin akan jatuh korban-korban yang lainnya," katanya.

Semua yang ada di ruangan itu terpaku tegang.

"Saya harap kalian jangan terlalu panik. Saya sudah minta bantuan aparat untuk menetralisir gangguan keamanan di lapangan. Hanya saja yang jadi pemikiranku adalah masalah nya ya itu-itu juga. Masalah lahan garapan kita itu. Warga kampung sepertinya sudah tercuci otaknya selama bertahun-tahun dengan mitos yang dihembuskan oleh pihak-pihak tertentu," lanjutnya lagi.

Tak berapa lama seorang pemuda melangkah masuk ke dalam ruangan. Seorang pemuda berwajah tampan bermata tajam, dengan mengenakan jaket jeans berwarna hitam. Wajahnya terlihat datar saat ia mengambil tempat duduk di samping pimpinan perusahaan. Tampaknya ia adalah orang penting di perusahaan itu, atau mungkin orang dekatnya.

"Ini keponakan saya, yang nantinya akan menduduki posisi kepala bagian humas di perusahaan ini," kata Doni, sambil menepuk-nepuk pundak pemuda di sampingnya.

"Gampang saja dapat jabatan kalau dia masih keluarga pemilik perusahaan," gerutu Lusia pelan namun dengan nada kesal.

Rina cuma nyengir mendengarnya. "Sirik kau ah, nama nya juga pemilik perusahaan ya mau-maunya dia lah," katanya.

Pemuda di samping Doni, si pemilik perusahaan tiba-tiba memandang ke arahnya sambil tersenyum.

Lusia tersentak lalu buru-buru menundukkan wajahnya.

"Aku bilang padanya nanti apa yang kau katakan...!" ledek Rina saat dilihatnya Lusia seperti serba salah.

"Jangan ngaco!" Lusia mendelik.

Pemimpin perusahaan kembali bersuara. "Rekan-rekan semua. Menyikapi situasi seperti ini saya memutuskan untuk sementara waktu para pegawai lapangan saya liburkan dahulu. Kita akan tutup sementara tak ada aktifitas, sampai masalah ini selesai," katanya.

Saat mendengar itu sejumlah staff perusahaan saling berpandangan. Terdengar kasak kusuk, tapi tidak jelas suaranya.

"Oh jangan khawatir!" Doni tersenyum. "Gaji akan tetap jalan, saya jamin itu," katanya cepat-cepat.

Terdengar sejumlah karyawan yang hadir bertepuk tangan. Tapi seketika wajah Doni berubah muram saat mendengar tepuk tangan itu, sehingga karyawan yang tepuk tangan seketika berhenti.

"Kalian tega bertepuk tangan di tengah keprihatinan rekan-rekan kita yang hampir tewas dibacok...?" suara Doni terdengar menohok.