Chereads / NITYASA : THE SPECIAL GIFT / Chapter 28 - 26. Pencarian

Chapter 28 - 26. Pencarian

Kini seluruh pasukan Bhayangkara dikumpulkan di lapangan keprajuritan untuk memulai kegiatan patroli dalam rangka mencari buronan yang bernama Saga Winata. Mereka berbaris rapi layaknya tentara yang menggelar apel. Mereka dipersiapkan segala macam perbekalan atau sekadar mendengarkan petuah dari Tumenggung dan Senopati. Pasukan ini akan di sebar ke seluruh wilayah kekuasaan Galuh. Terutama di ujung barat perbatasan yang merupakan tempat bermukimnya Saga Winata menurut keterangan keempat pelaku pembantaian.

Dari serambi wisma tamu, Mahaguru Sutaredja, Lingga, dan Saksana melihat para pasukan itu berkumpul.

"Mereka hanya mengejar buronan kriminal, kenapa kesanya serius sekali, banyak sekali prajurit Bhayangkara dikumpulkan seperti mau perang saja," ujar Saksana.

"Itu tandanya mereka hormat dengan perguruan kita. Mereka sangat menghargai perguruan Wana Wira. Benar kan, Kakek Guru?" Lingga menimpali.

"Iya benar." Sutaredja tersenyum. "Tetapi di sisi lain, ini ada wujud keseriusan kerajaan dalam menjamin keamanan di wilayah Galuh."

"Apanya yang serius..., dari dulu Saga Winata itu perampok besar katanya. tetapi dia tidak pernah ditangkap. Setelah ada kejadian ini baru dicari-cari," keluh Lingga.

"Ada peristiwa politik di dalam kerajaan yang tidak bisa kita pahami. Yang jelas, Kita patut bersyukur karena mereka telah berhasil menjalankan hukum sesuai dengan yang kita inginkan," ucap Guru Sutaredja menasehati.

"Bagi saya belum berhasil, Kakek Guru. Kalau pelakunya sudah dihukum mati dan Saga Winata juga tertangkap, baru bisa dikatakan berhasil," celetuk Saksana.

Tumenggung Aria Laksam pun menyebar surat ke seluruh pejabat bawahan seperti Wali Kota, Adipati, Lurah, sampai ke tingkatan Kuwu kampung. Surat itu berisi Woro-woro tentang pencarian Saga Winata. Semua pejabat bawahan wajib untuk turut serta membantu mencarinya.

Tidak hanya dari kalangan pejabat, warga sipil seperti kaum pendekar juga diperbolehkan untuk mencari. Bahkan mereka dijanjikan imbalan yang sangat besar jika berhasil membawa Saga Winata ke pengadilan hidup-hidup.

Kini semua orang membicarakan tentang buronan ini. Di pasar kota maupun pasar daerah, di seluruh kadipaten, di desa dan di kampung-kampung, sampai di pedukuhan, topiknya selalu sama.

Di saat semua orang berusaha mencari Saga Winata, Jayendra masih saja mencari keberadaan Seruni. Ketika Jayendra kembali ke Wisma Tamu di dalam kompleks Istana, dia tidak menemukan Seruni.

"Sedari sejak pagi dia pergi bersamamu, dia belum kembali, Jayendra." ujar Guru Sutaredja.

"Dia hilang, Kang?" tanya Saksana. "Sudah dewasa kok hilang, seperti anak kecil saja," lanjut Saksana meledek.

"Aku sedang tidak ingin bercanda, Saksana!" ucap Jayendra sambil menepuk keras bahu Saksana.

Jayendra pun mengambil kudanya dan melaju ke luar istana untuk mencari keberadaan Seruni. Ketika melewati gerbang utama, di jalanan pasar, kudanya melaju cepat melewati banyak sekali barisan prajurit patroli yang hendak di sebar untuk mencari buronan.

Tangannya menggenggam pedati erat-erat, matanya tertuju ke segala arah, menyorot menyisir kesana kemari untuk mencari keberadaan seorang gadis cantik nan galak yang baru saja beberapa hari ini dekat dengannya.

Kini dia melewati jalanan setapak memasuki area hutan randu. Tiba-tiba dari atas pohon dua orang pria setengah tua turun melesat menghentikan kuda yang ditunggangi Jayendra dengan memukul kaki kuda tersebut dengan tongkat. Jayendra secara refleks melompat turun dari kuda sebelum kuda itu jatuh tersungkur.

"Kurang Ajar...!" maki Jayendra.

Jayendra langsung menyerang mereka berdua. Mereka melawan Jayendra dengan gerakan senjatanya masing-masing. Yang satu memakai tongkat, yang satu memakai gadah, sedangkan Jayendra hanya menggunakan tangan kosong. Pertarungan berlangsung sengit, Jayendra berhasil memukul perut salah satu pendekar yang memegang gadah hingga terjerembap jatuh. Kini Jayendra sudah bersiap memukul pendekar yang satunya lagi dengan mengincar bagian leher berharap dia langsung lumpuh dan mati.

Tiba-tiba saja...

"Tunggu...!" kata si pendekar pemegang tongkat.

Jayendra pun mengurungkan niatnya dan seketika menghentikan gerakan pertarungannya.

"Siapa kalian...!?" bentak Jayendra.

"Kamu pasti Jayendra. murid Sutaredja dari kaki gunung Galunggung," ungkap si pendekar pemegang tongkat.

Pendekar pemegang Gadah itu terbangun dari jatuhnya.

"Darimana kalian tahu namaku?" tanya Jayendra.

"Kita kan pernah bertemu beberapa tahun lalu pada acara sayembara pemilihan senopati tingkat tiga," ujar Si pendekar tongkat.

"Tidak, aku tidak pernah mengikuti sayembara untuk menjadi budak istana," kekeh Jayendra.

"Bukan begitu, waktu itu kan penyelenggara acaranya perguruan Wana Wira. Kamu yang turut duduk di kursi penjurian. Makanya kami lebih mengenalmu. Sedangkan kamu mungkin saja lupa."

"Kalian belum menyebutkan nama!"

"Oh iya... aku lupa, perkenalkan namaku Utkarsa. Yang bertubuh gemul dan memegang gadah ini saudara kembarku namanya Utpala," ucap si pendekar tongkat.

"Kenapa kalian tiba-tiba menyerangku?" cecar Jayendra.

"Hehe... Kami rindu ingin merasakan jurus-jurus perguruan Wana Wira. Sekarang kerinduan kami sudah terobati," ujar Utkarsa sambil ketawa ketiwi.

"Mau ke mana kamu, Jayendra?" tanya Utpala.

"Aku sedang mencari seseorang."

"Pasti kami mencari Saga Winata?" tanya Utkarsa memastikan.

Jayendra terdiam dan hanya memberi sedikit senyuman ambigu.

"Oh iya, kami turut berduka atas kejadian yang menimpa para saudara seperguruanmu," ucap Utkarsa.

"Terima kasih," ucap Jayendra tersenyum.

"Kamu pasti sedang memburu Saga Winata juga. Kami pun sedang mencarinya," ujar Utpala.

"Kalian mengikuti sayembara mengejar buronan itu?" tanya Jayendra.

"Tentu saja, siapa yang tidak tergiur dengan imbalannya," celoteh Utpala.

"Kalau begitu kita bareng saja, Jayendra," ajak Utkarsa.

"Kalian duluan saja, akan lebih cepat ketemu kan kalau kita menyebar?"

"Jangan begitu lah, sudah... kita bareng-bareng saja. Akan lebih mudah kalau kita menangkap Saga Winata jika bersama-sama, eh... Bukannya kami meragukan kemampuanmu untuk menghadapinya sendirian, tetapi kalau bekerja sama kan lebih enak," bujuk Utkarsa.

"Maaf, aku tidak suka main keroyokan."

"Eh..., Bukan begitu, kalau lelah kan bisa gantian. Lagipula kita belum tahu di mana dia berada. Pasti butuh waktu berhari-hari untuk mencari. Kalau sendirian kan bosan juga tidak ada kawan untuk diajak mengobrol."

"Ya sudah kalau begitu." Jayendra mengiyakan.

"Mari kita jalan lagi." ajak Utkarsa. "Utpala, tolong ambil kuda kita di balik semak-semak samping pohon besar itu!" perintah Utkarsa.

"Baik,Kakang."

***

Seorang bocah kecil berlarian menerobos celah hutan jati yang rantingnya gundul akibat daun-daunnya mulai gugur. Langkahnya sangat cepat seolah sedang dikejar iblis. Tubuh mungilnya itu sangat membantu dalam menambah lesatannya. Dengan bertelanjang dada, dia tidak mempedulikan apapun yang menghalangi jalannya. Kakinya yang hanya beralaskan terompak kayu tipis mampu dengan kuatnya melindungi kaki si pemakainya dari kerikil atau duri duri liar. Sesekali dia meloncat tatkala ada batu besar atau batang kayu mati yang menghalangi jalan. Wajar saja, jalan yang dilaluinya bukanlah jalan umum atau pun jalan setapak, melainkan hanya area pekarangan dalam hutan yang dipadati oleh tanaman liar dan beberapa semak belukar.

"Paman....! Paman...!" teriaknya berulang-ulang sambil tetap berlari di tengah nafasnya yang mulai terengah-engah. Langkah kaki menuntunnya sampai ke bibir goa. Dia masih saja memanggil-manggil nama 'Paman'. Seketika seorang pria dewasa berjenggot tebal yang terlihat sedang berdiri di depan goa itu menghentikan langkah bocah tersebut.

"Hei, Gentolo. Ada apa?"

"Di mana paman Saga? Dimana paman Saga!" teriaknya seolah merasakan ketakutan yang begitu hebat.

"Tenang dulu, ada apa sebenarnya?"

"Aku ingin bertemu dengan Paman Saga. Di mana dia, Kang Jaka?" tanya si bocah yang bernama Gentolo itu memaksa.

"Paman Saga sedang tidak ada. Kamu tenangkan diri dulu...!" tegas Jaka sambil mengoyang goyangkan pundak Gentolo dengan kedua tangannya. Kemudian Jaka mengeluarkan botol minum dari kantung celananya dan memberikannya kepada Gentolo. "Ini... kamu minum dulu supaya tenang."

Gentolo meraih botol yang diberikan Jaka dan meminumnya hingga tak menyisakan setetes pun air dari botol itu.

"Gawat.. Ini Gawat!"

"Gawat kenapa, Gentolo? Kalau bicara yang jelas!"

"Paman Saga sekarang menjadi buronan kerajaan. Sekarang semua orang berusaha untuk menangkapnya!" ujar Gentolo dengan kepanikannya.

"Waduh..., Cilaka... Bagaimana ini!" keluh Jaka.

Tak lama kemudian datang peorang penunggang kuda menghampiri mereka berdua.

"Nah, itu paman Saga," ujar Gentolo setelah melihat si penunggang kuda yang ternyata orang yang sedang dinantinya.

"Ada apa ini?" tanya Saga.

"Tadi pagi aku mendengar woro-woro dari Ki Lurah di balai warga. Gawat sekali. Paman ditetapkan menjadi buronan kerajaan, sekarang semua orang berusaha mencarimu, Paman," ujar Gentolo.

"Buronan? Memangnya aku salah apa?" tanya Saga.

"Tentu saja karena kita ini perampok, Kang," celetuk Jaka.

"Kita sudah beberapa tahun menjadi perampok, tetapi kenapa tidak dari dulu? Kenapa baru sekarang?" tanya Saga heran.

"Bukan karena itu. Kata woro-woro itu, Paman dinyatakan bersalah karena menjadi pelaku utama pembantaian murid-murid perguruan Wana Wira," ujar Gentolo.

"Itu fitnah. Aku sama sekali tidak pernah melakukan hal sekeji itu!" protes Saga.

Mereka kemudian saling diam tertunduk lesu dengan kondisi hati yang masih dilanda kepanikan dan ketakutan.

"Sekarang bagaimana?" tanya Jaka.

"Jaka. Kumpulkan kawan-kawan kita. Panggil semua yang ada di dalam. Suruh mereka semua keluar. Kita harus meninggalkan goa ini!" dengan tegas Saga memerintahkan.

"Baik, Kang!"

Jaka beranjak masuk ke dalam goa tersebut yang merupakan markas besar bagi kawanan perampok pimpinan Saga Winata.