Chereads / NITYASA : THE SPECIAL GIFT / Chapter 30 - 28. Untung Untungan

Chapter 30 - 28. Untung Untungan

Di sebuah kedai. Jayendra, Utkarsa, dan Utpala sedang singgah sebentar untuk makan siang. Mereka mulai saling mengobrol untuk membangun keakraban.

"Terus terang, aku heran," ujar Utkarsa sambil menuangkan teh poci ke dalam gelas yang terbuat dari potongan bambu. "Aku heran dengan cara pihak istana dalam menyebarkan berita tentang pencarian Saga Winata. Maksud ku, siapa yang mengenal Saga Winata? Bagaimana orang-orang akan mengetahui wujud dan rupa si pimpinan begal itu?"

"Bukankah kita sudah melihat gambar lukisan wajahnya yang ditempel di sepanjang jalan dan balai perkampungan? aku rasa itu cukup untuk membantu masyarakat mengetahui rupanya," kata Jayendra menyampaikan pendapat.

"Hahaha..., itu tidak mirip sama sekali, Jayendra. Itu malah lebih mirip seperti wajah si tukang keris Pasar Kotaraja," celetuk Utpala.

"Darimana Paman tahu kalau itu tidak mirip?" tanya Jayendra heran.

"Oh iya, aku belum cerita. Sebenarnya kami berdua sudah pernah bertemu dengan Saga Winata. Waktu itu kami disewa untuk mengawal saudagar dari hindustan. Di tengah perjalanan, kami dirampok oleh gerombolan yang dipimpin Saga Winata. Mereka gila, kelompoknya sangat banyak dan terlatih untuk bertarung layaknya Tentara Bhayangkara. Waktu itu mereka sekitar seratus orang, sementara kami hanya lima belas. yang jelas kita kalah jumlah," Utkarsa bercerita.

"Lalu berapa orang-orang Paman yang terbunuh?" tanya Jayendra.

"Tidak ada..., mereka seolah sengaja hanya membuat kami jatuh tanpa berniat membunuh. Padahal dengan jumlah pasukan sebegitu banyak, mudah bagi mereka untuk membantai kami. Mungkin mereka mau pamer kekuatan supaya kita bisa menyebarkan kabar tentang kehebatan pasukan mereka," lanjut Utkarsa.

"Sejak kekalahan itu, Aku dan Utkarsa sudah jarang disewa untuk mengawal orang, mereka para pedagang sudah tidak percaya pada kemampuan kita," sesal Utpala.

"Itu juga yang menjadi dorongan semangatku untuk bisa menghabisi Saga Winata. Gara-gara dia aku kehilangan mata pencaharian," lanjut Utkarsa.

"Dia seorang penjahat yang unik menurutku," Utpala menyambung. "Dilihat dari bentuk tubuhnya, sebenarnya dia tidak pantas menjadi rampok. Lebih cocok jadi seorang bangsawan. Rambut panjang lurus, kulit semu kuning, matanya tajam hitam cemerlang, dengan hidung mancung. Memang perawakannya gagah dan tampan, dia masih muda, seumuran kamu, Jayendra."

"Seumuranku? Semula aku kira dia orang tua," ujar Jayendra.

Sejenak mereka saling diam sambil menikmati makanan yang disuguhkan di warung itu. Utpala terlihat lebih lahap di antara mereka bertiga ketika menyantap nasi dan lalapan. Memang pendekar bertubuh gembul dengan perutnya yang tambun itu terkenal doyan makan.

Sementara jayendra hanya menikmati makanan secara perlahan, matanya tidak menatap pada makanan dihadapannya, melainkan hanya tatapan kosong, pikirannya sedang mencerna cerita yang disampaikan oleh Utkarsa dan Utpala.

"Lalu sekarang bagaimana? Aku juga belum mengetahui wujud dan rupanya. Bagaimana aku bisa mengenali?" lanjut Jayendra kembali.

"Tukar saja isi otakku dengan otakmu. Nanti kamu akan tahu wujudnya," celoteh Utkarsa.

Kemudian Jayendra mendapatkan sebuah ide ketika memandangi sekitar kedai yang terdapat banyak lukisan yang terpasang pada dindingnya. Jayendra bangkit dari duduknya kemudian segera menghampiri si pemilik kedai.

"Pak, bisa saya minta kertas dan pena?"

"Maaf Ki Sanak. Tidak bisa kalau meminta. Aku menjualnya... Sekeping perunggu untuk kertas, sekeping perunggu untuk pena."

"Oh... Iya ini aku bayar." Jayendra memberikan dua keping koin perunggu.

Si pemilik kedai mengambil segulung kertas juga sebuah pena bulu, kemudian memberikannya kepada Jayendra. Dia kemudian kembali ke meja tempat dia makan bersama Utkarsa dan Utpala.

"Ini, Paman, tolong gambarkan bagaimana wujud Saga Winata," pinta Jayendra kepada Utpala.

Utpala menatap Jayendra kebingungan, Utkarsa yang melihatnya hanya bisa tertawa lirih. Tanpa berkata lagi, seusai makan, Utpala membersihkan tangannya di air kobokan, kemudian memegangi pena setelah mengelap tangannya.

Sekitar beberapa menit kemudian...

"Nah..., beginilah wujudnya." Utpala memperlihatkan hasil gambarnya.

Jayendra menatap keheranan, Utkarsa tertawa terbahak-bahak sampai membuat pengunjung kedai lainnya menatap sinis karena merasa terganggu dengan keras tawanya.

"Yang kamu gambar ini manusia atau dedemit?" ejek Utkarsa kepada saudara kembarnya itu.

"Lagian ada ada saja. Orang tidak bisa menggambar disuruh menggambar," keluh Utpala.

"Ya kan aku pikir, Paman bisa menggambarkan ciri-ciri Saga Winata berdasar apa yang ada di pikiran Paman," ujar Jayendra.

"Kalau ingin menggambarkan ciri-ciri, seharusnya pelukis yang bisa melakukannya, Jayendra," Utkarsa menyarankan.

"Siapa?"

"Coba tanyakan pemilik kedai, siapa yang melukis semua lukisan yang ada di kedai ini."

Kemudian Jayendra memanggilnya. Si pemilik kedai pun menghampiri mereka dengan langkah santainya. Mereka menanyakan soal si pelukis, lalu dia menjawab, "Semua lukisan yang ada di sini adalah karya Ayah saya, orang-orang di desa ini biasa memanggilnya Ki Parutan, beliau sudah meninggal tujuh tahun yang lalu."

"Apa Bapak bisa melukis?" tanya Utkarsa.

"Seujujurnya saya juga ingin bisa, sekarang saya sangat menyesal karena tidak pernah mau ketika diajari melukis oleh Ayah saya."

"Bapak punya kenalan pelukis lain?"

"Tidak ada lagi, semua pelukis yang saya kenal sudah meninggal dunia."

Kemudian mereka menyudahi pertanyaannya kepada si pemilik kedai dan mempersilakan dia untuk kembali ke tempatnya.

"Hei, Karsa. Kalau tidak salah kita punya teman seperguruan yang pandai sekali melukis," celetuk Utpala.

"Siapa?"

"Aku lupa namanya, dia tinggal di daerah Mandi Wunga."

Utkarsa berpikir sejenak untuk mengingat ingat.

"Sunda Manda?" tebak Utkarsa.

"Nah iya, Sunda Manda."

"Namanya seperti nama permainan bocah?" celoteh Jayendra.

"Memang sejak kecil kita satu perguruan, di sela - sela santai, kita biasa bermain Sunda Manda, dan dia lah yang paling jago karena kakinya panjang, dia selalu menang. Sejak saat itu kita memanggilnya Sunda Manda, hingga sekarang semua orang mengenalnya dengan nama itu. Aku bahkan lupa nama aslinya." Utkarsa menerangkan.

"Ayo Karsa, kita ke Mandi Wunga," ajak Utpala.

"Kamu Yakin dia belum meninggal seperti para pelukis kenalan pemilik kedai tadi?" celoteh Utkarsa.

"Dia lima tahun lebih muda dari kita, seharusnya dia masih hidup."

"Lebih muda bukan jaminan mati belakangan, kan?"

"Iya benar, tapi tidak ada salahnya kita mencoba."

"Mandi Wunga itu letaknya sangat jauh, Pala. Berkuda sepanjang hari untuk mencari orang yang kabarnya tidak kita ketahui Itu namanya untung untungan," ujar Utkarsa

"Mencari Saga Winata tanpa mengetahui kabar dan lokasinya juga untung untungan," Bantah Utpala.

"Hidup ini juga untung untungan," sambung Jayendra. "Ayo Paman, kita ke sana sekarang."

"Habiskan dulu makananmu, dari tadi kamu makan nasi sebutir-sebutir. Kapan mau habis? Jangan kalah oleh Utpala yang makan nasi sewakul cukup tiga kali telan." Celoteh Utkarsa.

Mereka bertiga kembali tertawa lepas hingga memperlihatkan gigi geraham mereka masing-masing. Seperti sebelumnya, semua pengunjung kedai kembali memandang sinis ke arah mereka.

***