Chereads / Mata Alam: True Story / Chapter 16 - Sifat Jahilnya

Chapter 16 - Sifat Jahilnya

"Ya Allah, kenapa kau membuatku menyukai Guntur yang absurd? Kau tahu laki-laki seperti Guntur tidak ada dalam daftar laki-laki tipe ideal ku. Huaaaaaaaaaaa"

Ainun melihat Guntur dengan mata memelas pura-pura menangis

"Ngeluh aja teruuuussssss"

Guntur menatap ku dengan sinis

Malam hari, aku duduk dimeja belajar sambil menulis di buku diary pink ku yang mungil. Menuliskan kejadian yang aku alami saat ini. Menulis kisah yang sedang aku jalani bersama seseorang yang tak pernah terpikirkan olehku bahwa aku akan menyukainya.

Jum'at, 10 Agustus 2017

20.39

Mal hari yang indah

Hanya ditemani dengan suara seekor jangkrik disamping kamarku

Suasana yang sejuk membuatku ingin selalu menikmati suasana malam hari

Ya Allah....

Ingatkah dulu aku pernah meminta padamu seseorang yang bisa menerimaku apa adanya?

Menerima tingkah kekanak-kanakan ku

Tidak memandang fisik ataupun materi

Setelah aku memikirkannya

Bagiku kau telah mengabulkan do'a ku

Entah ini hanya sementara atau selamanya

Aku tidak tahu rencana apa yang telah dibuat olehmu untukku

Tapi yang pasti, aku sangat berterima kasih

Karena telah menghadirkan seseorang untukku

Yang bahkan aku tidak bisa berpaling darimu, ya Allah

Dia yang selalu menuntunku untuk selalu melaksanakan perintah mu

Dia memang buruk di hadapan manusia

Aku tahu itu

Tapi

Dia selalu membimbing ku untuk selalu menuju kepadamu.

Aku berharap kisahku dengannya memberikan suatu makna dalam hidup.

Aku selalu berdo'a

Semoga aku selalu bersamanya

Tertanda

Ainun Solihat

Setelah selesai, aku menutup buku diary ku dan menyimpannya di lemari agar tidak ada yang membaca buku diary ku. Lalu, aku membaca novel pemberian kakak perempuan ku tentang seorang laki-laki yang selalu menjahili murid baru di sekolahnya. Setiap hari wanita ini selalu di jahili oleh laki-laki yang memiliki penampilan badboy. Membaca cerita ini membuat ku teringat dengan Guntur. Cerita yang mirip hanya saja berbeda dengan tokoh pemeran utamanya.

Ketika aku sedang berpikir, sebuah pesan masuk dari Facebook muncul di layar ponselku.

Guntur Alam

Nun

Aku berteriak senang ada pesan dari Guntur.

Ainun Solihat

Kenapa?

Guntur Alam

Gua minta nomor lu

Aku terdiam membaca pesan dari Guntur. Guntur meminta nomor aku? Ga salah? Ni orang makin lagi ga waras. Lama sekali aku tidak membalas pesan Guntur karena masih tidak percaya dengan pesan yang dia kirimkan.

Guntur Alam

Gua masih sehat yah, Nun. Ngga sakit. Gua minta nomor lu dalam keadaan sehat wal afiat

Aku semakin terdiam ketika sebuah pesan masuk dari Guntur lagi. Seketika bulu kuduk ku merinding bagaimana bisa Guntur mengetahui apa yang sedang aku pikirkan? Dia beneran cenayang yah?.

Guntur Alam

Dibaca iya, di balas ngga. Lu lagi mikirin apa sih? Masih ga percaya?

Aku menarik bibir ku ke atas, tersenyum melihat pesan Guntur. Kesal karena pesannya hanya di baca tanpa di balas olehku.

Ainun Solihat

Yah, sabar donk. Gua lagi sibuk

Guntur Alam

Alasan yang klise sekali. Padahal seneng gua minta nomor lu

Aku tertawa membaca pesan Guntur yang tepat sasaran dengan suasana hatiku sekarang.

Ainun Solihat

Dih, ngga yah.

Lagian ga biasanya minta nomor gua

Guntur Alam

Emang lu mau chat an terus lewat Facebook?

Ainun Solihat

Hmm, yah ngga sih

Guntur Alam

Tuh lu sendiri mengakui hahaha

Aku membanting ponselku dengan kesal. Ya, semudah itu aku selalu terjebak oleh kata-kata Guntur. Lalu, aku mengambil ponselku kembali.

Ainun Solihat

Sialan.

Ledek aja terus

Guntur Alam

Hahaha yah ga papa sih. Mana ikh nomor lu?

Dengan ogah-ogahan aku mengetik nomor ponselku kepada Guntur.

Ainun Solihat

0896xxxxxxxx

Tuh udah gua kasih, yah

Guntur Alam

Oke, Nun. Nanti gua chat lu biasa yah, gua ga punya whatsapp soalnya.

Ya, Guntur hanya memakai ponsel zaman dulu atau ponsel yang belum layar sentuh. Guntur hanya memakai ponsel merk Nokia.

Ainun Solihat

Oke

Aku menjawab singkat. Lalu, jari jemari ku mengklik ikon telepon mencari sebuah kontak yang aku rahasiakan

MDE_Guntur

Begitulah tampilan yang ada di layar ponselku. Ya, sejujurnya aku mempunyai kontak Guntur yang aku minta kepada Dayat dengan alasan ada tugas kelompok presentasi bu Lia saat itu. Walaupun aku mempunyai nomornya, aku masih belum berani untuk mengirim pesan padanya. Aku masih malu untuk memulai suatu percakapan dengannya. Bahkan untuk chat saja Guntur yang selalu memulai lebih dulu daripada aku.

Sebuah panggilan telepon dari MDE_Guntur muncul di layar ponselku. Aku terkejut, bergerak gelisah, bingung dan tak tahu harus melakukan apa. Apakah aku harus menjawab telepon Guntur? Atau aku abaikan saja?

Aku menetralkan hatiku dari rasa gugup. Jariku menggeser tombol hijau mengangkat teleponnya. Lalu menaruh ponselku ditelinga ku.

Tidak ada pembicaraan. Aku hanya mendengar suara berisik motor yang berlalu lalang, kerasak kerusuk ga jelas entah apa yang sedang di lakukan Guntur dan suara jangkrik malam hari.

"Halo" Sapa Guntur diseberang sana

"Waalaikumsalam" Jawab aku sambil menahan senyumku

"Ekh iya, maaf, Nun. Assalamu'alaikum" Sapa Guntur lagi

"Waalaikumsalam" Jawab ku lagi meraih boneka untuk aku dekap.

"Formal banget nyapa"

"Orang Islam itu memulai pembicaraan Assalamu'alaikum, bukan Halo, Gun"

"Iya deh iya, maaf Umi" Ledek Guntur becanda.

"Ekh, mulai lu"

"Hahaha, habisnya lucu aja"

Aku mendengar suara Guntur di seberang telepon.

"Ga ada yang lucu sama sekali tahu" Ucap ku dengan kesal.

"Susah memang buat diajak becandanya, marah terus"

"Bodoooo hehehe"

"Ekh cengengesan lagi, dasar"

"Bodoooo"

"Gitu aja terus sampai selesai" Keluh Guntur.

"Yah kali masa gitu doang. Ga guna banget jadinya lu nelpon gua juga" Protes aku

"Tuh kan protes juga akhirnya. Jadinya, mau bahas apa emang, hm?"

Aku menepuk jidatku. Dia yang nelpon, kok nanya mau bahas apa? Guntur Guntur.

"Kok nanya? Itu lu kenapa nelpon gua?"

"Ga tau gua aja, asal nelpon aja" Jawab Guntur random.

"Bisa-bisanya gua suka cowok macam Guntur ini, ya Allah" Keluh aku dengan pelan.

"Gua dengar yah, Nun" Guntur memberitahu ku.

"Sialan" Umpat ku dengan reflek.

"Ekh itu bahasa yang keluar dari bibir lu kasar banget" Guntur memperingati ku atas ucapan ku yang tidak sengaja.

"Yah, maaf"

"Ekh, kok minta maaf? Yang lebih parah kalo ngomong lu, Gun. Bahasa kasarnya keluar semua"

"Itu kalo gua ngobrol sama temen cowok. Kalo sama ceweknya beda lagi"

"Owh cewek yah? Pasti banyak cewek yang deket sama lu"

"Hmm, cemburu?"

"GA ADA KERJAAN GUA CEMBURU" Jawab aku sambil berteriak kesal

"Telinga gua sakit, Nun. Budeg nanti gua. Lu mau tanggung jawab?"

"Alihin aja terus pembicaraannya"

"Ekh ngga, Nun. Gua ngga kayak begitu yah. Lagian gua ga deket sama siapa-siapa"

"Biasa cowok ga pernah jujur"

"Salah mulu perasaan jadi cowok. Terserah lu aja, Nun. Intinya gua ga kayak gitu"

"Hehehehehehehehe"

"Emang lu mau gua kayak gitu? Yang selalu chat an sama cewek lain?"

"Yah, jangan lah"

"Tuh, itu lu ga mau kan? Intinya lu cemburu tadi, jiaaahhhh" Ledek Guntur

Aku menjauhkan ponselku, lalu membenamkan wajahku yang memerah diantara boneka ku.

"Ngga yah" Jawab aku setelah terdiam sesaat.

"Jujur aja sih" Desak Guntur berusaha menjebakku

"NGGA"

"IYA"

"NGGA"

"IYA"

"Ngga salah kan?"

"NGGA"

"Ngga salah suka sama gua?"

"NGGA" Jawab aku kurang fokus

"Ciyeeeeeeee"

"Guntur ikhhhh, udah akh" Rengek ku dengan malu meminta berhenti meledek ku.

"Ciyeeeee malu" Aku mendengar Guntur tertawa lembut

"So tahu"

"Bener kok"

"Au akh, gelap. Bisa-bisanya gua suka sama cowok absurd kayak begini" Gumam ku pelan yang masih bisa didengar oleh Guntur.

"Ngeluh aja teruuuusssss" Balas Guntur dengan kesal.

"Bodoooo ahaha. Udah akh gua mau tidur pokoknya. Males banget dari tadi di ledek terus"

"Ciyeeeeeee yang beneran suka sama gua" Ya, bukan Guntur namanya kalo sifat jahilnya makin menjadi jadi.

"Bodo amat" Ucapku langsung mematikan panggilan dengan cepat. Menghindari Guntur yang meledek ku terus. Aku berkaca dirinya depan cermin melihat wajahku yang memerah padam.

Dengan cepat aku meraih selimut ku untuk tidur dan mencoba melupakan panggilan pertama dari Guntur yang membuat ku bahagia, senang, dan kesal. Aku mencoba untuk tertidur, menantikan esok hari bertemu dengan Guntur di sekolah secara langsung.

"Good night, cwo ngeselin"