Dewa dari pagi hingga sore hari mencoba mencari tahu keberadaan anak Rusdiana di berbagai tempat diikuti dengan arwah wanita itu. Sejujurnya, Dewa sangat kesal dengan Rusdiana. Sebab, ia sama sekali tak membantu. Mulai dari nama anaknya sendiri yang ia tak ingat, bahkan panti asuhan tempat ia meletakkan bayinya pun ia juga tidak ingat. Benar-benar menyebalkan. Laki-laki itu sampai berkali-kali mengelus-ngelus dadanya sendiri.
Karena merasa lapar, Dewa pun berhenti di sebuah kafe dan menikmati bubble tea sembari memerhatikan pengunjung-pengunjung di sana. Ia berpikir, mungkin saja anak yang dimaksud itu ada di tempat ini.
"Itu bukan?" tanyanya kepada Rusdiana sembari menunjuk seseorang yang baru saja masuk kafe. Melihat itu, Rusdiana terlihat kesal sekali dengan Dewa.
"Ih, kamu kira-kira dong! Ibunya cantik begini, masa iya anaknya begitu?" Rusdiana menggerutu kepada laki-laki itu. Dewa hanya bisa mengembuskan napas panjang. Ia merasa sedikit menyesal telah menyetujui permintaan roh itu. Tapi di sisi lain, itu memang merupakan tanggung jawabnya. Ia mencoba menempatkan dirinya sendiri di posisi Rusdiana, mungkin ia juga akan seperti itu.
"Ya abisnya, tante nggak nyebutin ciri-ciri anak tante secara jelas. Kan anak yang punya tahi lalat di hidung itu banyak," sahut Dewa. Tidak mungkin bagi Dewa untuk mengelilingi seluruh panti asuhan agar bisa menemukan anak yang tidak pernah ia lihat.
*****
Di suatu malam, Dewa tiba-tiba melihat sesuatu dari kacamata indigonya. Ia melihat sebuah kecelakaan beruntun bus pariwisata di masa depan. Entah kapan, di mana, dan siapa yang menjadi korbannya, yang jelas kecelakaan itu adalah salah satu kecelakaan terbesar yang akan terjadi.
"Kenapa sih harus kayak gini?" tanyanya kepada diri sendiri dengan raut wajahnya yang terlihat sangat sedih. Ia merasa lelah karena sering melihat kejadian mengerikan seperti ini. Dewa pergi ke kamar mandi dan membasuh wajahnya. Ia menjadi merasa sedikit lebih segar daripada sebelumnya. Dewa pun melihat dirinya sendiri di dalam cermin dengan wajahnya yang bareface. Ia baru menyadari bahwa dirinya sendiri memiliki tahi lalat di hidung.
"Ah, mungkin cuma kebetulan," gumamnya. Namun, ia justru kembali memikirkan mimpinya. Entah kenapa, ia merasa kenal dengan panti asuhan yang ada dalam mimpinya tersebut.
Dewa mengambil jaket dan kunci motornya. Ia tak peduli meskipun ini sudah pukul 00.10 WIB. Ia harus mencari tahu kebenaran mengenai anak Rusdiana sekarang juga. Jika tidak, ia akan sangat menyesal...
*****
Dewa berkeliling mencari jalan untuk menuju panti asuhan itu. Tetapi, ia menemui jalan buntu. Ia tidak ingat di mana letak panti asuhan itu berada. Akhirnya, ia memejamkan mata dan menggunakan kemampuan indigonya agar ia bisa melihat ke masa lalu.
Beberapa saat kemudian, Dewa membuka matanya. Namun, mata itu telah dipenuhi dengan air yang ia bahkan sama sekali tak berniat untuk menangis.
"Nggak mungkin ... ini nggak mungkin kan?" Dewa melihat sesuatu yang lebih jelas daripada dalam mimpinya. Dewa melihat bahwa Rusdiana menuliskan nama SADEWA PAMUNGKAS pada secarik kertas, dan menempelkannya di dada bayi itu. Ia juga melihat panti asuhan tempat ia dirawat di sana saat dirinya masih kecil.
"Gue harus ke sana. Ya, gue harus ke sana ..." Dewa kembali menyalakan motornya, dan pergi menuju panti asuhan untuk memastikan semuanya.
Beberapa saat kemudian, Dewa pun tiba di depan panti asuhan itu. Dewa merasa tubuhnya begitu lemas. Karena, ia telah mengetahui kebenarannya. Bayi laki-laki yang diletakkan Rusdiana itu adalah dirinya sendiri. Air mata Dewa kembali mengalir jika mengingat semua pengorbanan Rusdiana, sedangkan Dewa justru memperlakukannya dengan buruk.
"Jadi ... dia benar-benar ibuku?" ia berkata lirih. Dulu, Dewa berpikir bahwa orang tuanya tak menginginkan kelahirannya, sehingga dirinya dibuang. Tetapi, akhirnya ia tahu bahwa ibunya melakukan itu karena untuk menyelamatkan nyawanya.
"Maafkan aku, Bu. Pikiranku sangat picik padamu ..."
*****
Dewa menghentikan motornya di tempat Rusdiana terbunuh. Ia berjalan dengan tangan yang gemetar. Ia tahu, bahwa dirinya tidak akan kuat berada di tempat ini. Tapi, entah kenapa dia tetap ingin pergi ke tempat ini. Tak ada lagi bercak-bercak darah yang berceceran di sana. Tempat itu terlihat sama sekali tidak terlihat seperti tempat terjadinya pembunuhan. Meskipun begitu, tak ada seorangpun yang berada di sana.
Dewa menyentuh aspal di mana ibunya terbunuh di sana. Ia sangat menyesal, kenapa ibunya harus mati dengan cara seperti itu? Kenapa ia harus melihat bagaimana ibunya meninggal? Kenapa ia tak bisa berbuat apapun saat ibunya tebunuh? Dewa hanya bisa menangis sembari memukul-mukul aspal dengan kepalan tinjunya hingga tangannya berdarah.
"Bu ... maafkan aku ..." gumamnya sembari terus menangis. Ia tak bisa menerima semua ini. Jika saja ayahnya bertanggung jawab untuk menikahi ibunya, sudah pasti hal seperti ini tidak akan terjadi. Jika saja ayahnya dan para rentenir itu masih hidup, ia tidak akan bisa mema'afkan mereka.
Dewa terus-terusan memukul-mukul aspal dengan keras, bahkan semakin keras. Ia hanya ingin melampiaskan semua kemarahan itu. Benar, ia marah kepada dirinya sendiri, kenapa ia tak bisa berbuat apapun untuk menolong ibunya meskipun ia melihat pembunuhan itu di depan matanya sendiri?
***** TBC *****