Di siang hari, Dewa baru saja pulang dengan tangan kanannya yang terluka cukup parah. Rusdiana yang melihat kedatangan laki-laki itu tentu sangat terkejut melihat keadaan laki-laki itu. Mata Dewa begitu bengkak akibat terlalu banyak menangis, dan penampilannya juga begitu kacau balau.
"Kamu habis dari mana sih, Nak? Kenapa tanganmu bisa terluka begitu?" tanya Rusdiana sembari berusaha untuk menyentuh tangan Dewa. Namun, ia tidak bisa nenyentuh laki-laki itu karena dia adalah hantu. Dewa tak tahu harus menjawab apa. Sejujurnya, Dewa sangat ingin berkata jujur mengenai kebenaran bahwa ia adalah anak Rusdiana. Akan tetapi, ia sedikitpun tidak siap.
"Oh, enggak. Tadi ..." Dewa berhenti sejenak untuk memikirkan jawaban yang tepat atas pertanyaan Rusdiana. "Abis berantem,"
Dewa menjawab sekenanya saja karena ia tidak bisa berpikir lagi. Rusdiana sangat terkejut dan terlihat begitu mengkhawatirkan laki-laki itu selayaknya seorang ibu mengkhawatirkan putranya.
"Oh, astaga! Cepat cuci lukamu, dan segera diobati!" seru wanita itu dengan raut wajah khawatirnya. Dewa merasa baru kali ini ia mendapatkan perhatian seperti ini. Sebelumnya, laki-laki itu pernah diperlakukan seperti ini oleh Amor. Tetapi kali ini ia merasa berbeda, Dewa bisa merasakan ketulusan Rusdiana meskipun arwah itu masih tak mengetahui bahwa Dewa adalah anaknya. Mungkinkah itu yang dinamakan kasih sayang seorang ibu kepada anaknya?
Laki-laki itu sangat ingin menangis melihat sosok ibunya yang kini ada di hadapannya. Tetapi, ia tidak bisa melakukan itu. Jika ia mengakui identitasnya, maka ibunya akan pergi meninggalkannya menuju ke alam yang berbeda dengannya. Salahkah ia jika menginginkan untuk tinggal bersama ibunya meskipun untuk sejenak?
*****
Dewa memasang perban di tangannya ditemani oleh Rusdiana yang sedang memandanginya dengan penuh kekhawatiran.
"Ada masalah apa sampai-sampai kamu harus berkelahi? Apa kamu nggak tahu kalau aku sangat mengkhawatirkanmu karena kamu nggak pulang-pulang?" Rusdiana memberikan pertanyaan bertubi-tubi kepada Dewa karena ia sedikit kesal melihat laki-laki itu. Dewa tersenyum tipis. Akhirnya, ia bisa merasakan betapa cerewetnya seorang ibu. Tapi, bagi Dewa itu adalah hal yang sangat menyenangkan. Karena cerewetnya seorang ibu itu adalah bentuk kasih sayangnya kepada sang anak.
"Kenapa tante begitu mengkhawatirkanku? Padahal aku bukan siapa-siapanya tante," ucap Dewa. Wanita di hadapannya itu terlihat sedang berpikir dengan gaya ciri khasnya, itu sama persis dengan gaya Dewa ketika sedang berpikir.
"Entahlah. Aku turut merasakan sakit jika kamu sedang terluka. Aku nggak tahu kenapa aku bisa seperti itu," sahut Rusdiana. "Itu seperti ... melihat anak sendiri yang sedang terluka. Ya ... itulah yang kurasakan,"
"Jujur saja, aku benar-benar menganggapmu seperti anakku sendiri," ujar arwah itu. "Dan aku benar-benar berharap bahwa kau adalah anakku,"
Dewa hanya bisa diam mendengarkan perkataan Rusdiana. Apa dirinya terlalu egois karena menginginkan wanita itu tinggal lebih lama bersamanya?
"Aku nggak tahu apakah anakku tumbuh menjadi orang yang baik atau enggak. Tapi, aku harap ia bisa menjadi sosok yang baik sepertimu, Dewa," lanjut wanita itu sembari menatap Dewa dengan sayu. Itu adalah harapan yang tulus dari seorang ibu.
"Kalau gitu, apa boleh aku memanggilmu dengan sebutan... ibu?" tanya Dewa. Ia sedikit tidak terbiasa memanggil seseorang dengan sebutan itu. Tetapi, ia sangat ingin memanggil ibunya dengan sebutan itu seperti anak-anak lainnya. Rusdiana tersenyum dan menganggukkan kepalanya.
"Tentu saja boleh," sahut wanita itu. Laki-laki itu berusaha dengan sangat keras untuk menahan tangisnya. Namun tampaknya, usaha itu gagal. Air mata itu menetes perlahan-lahan. Ia pun menghapus air mata itu.
"Maaf, Bu. Akhir-akhir ini aku gampang banget nangis," gumam Dewa.
"Ya ampun, aku yang bikin kamu nangis. Jadi, seharusnya aku yang minta maaf," sahut wanita itu. Rusdiana melihat gitar yang disandarkan pada dinding kamar Dewa.
"Dewa, daripada bersedih, lebih baik kamu menyanyikan sebuah lagu untuk ibu sambil memainkan gitar," pinta arwah itu. Tanpa berlama-lama lagi, Dewa pun mengambil gitar itu dan mulai menyanyikan sebuah lagu untuk ibunya.
Seusai bernyanyi, Dewa mendengar suara tepuk tangan dari ibunya. Rusdiana terlihat begitu bahagia mendengarkan suara Dewa yang begitu indah.
"Woah ... kau benar-benar berbakat! Aku sangat bangga. Karena, aku bisa mendengar suaramu yang sangat keren!" puji wanita itu . Dewa hanya bisa tersenyum tipis. Setelah mendengar pujian itu, ia merasa semakin berat untuk melepas sang ibu.
"Berjanjilah padaku, kamu harus bisa menjadi penyanyi yang sukses. Meskipun aku pergi nanti, kamu nggak boleh berhenti. Kamu mengerti?" tanya Rusdiana. Dewa hanya bisa tersenyum dan menjawab dengan anggukan. Tentu saja permintaan itu tidaklah mudah. Tetapi sebagai seorang anak, Dewa akan melakukannya sebaik mungkin ...
***** TBC *****