Kau Membalasku Maka Aku Akan Membalasmu

CahayaU
  • --
    chs / week
  • --
    NOT RATINGS
  • 13.1k
    Views
Synopsis

Chapter 1 - 1. Chapter 1

Suasana terlihat lengang, tak banyak kendaraan atau penyeberang jalan berlalu lalang disebuah perempatan di pinggiran kota Bandung. Rambu lalu lintas menunjukkan warna merah yang membuat beberapa pengendara harus berhenti memberi kesempatan bagi pejalan kaki untuk menyeberang meski saat ini tak ada seorangpun yang hendak menyeberang jalan.

"Fiuuu...."

Suara siulan seseorang dari dalam mobil sport berwarna hitam tak membuat seorang gadis pesepeda tetap menatap lurus ke depan. Gadis itu berada di tepian jalan dengan mobil sport itu berada di sebelah kanannya, sama seperti yang lain ia menunggu rambu-rambu hijau menyala.

"Hei manis ingin ikut bersama kami?" Pria itu menyembulkan kepalanya lewat jendela mobil menggoda gadis pesepeda. Siapa yang tak akan tergoda ketika melihat gadis cantik yang memakai celana pendek di atas lutut hingga mengekspos kaki jenjangnya yang putih mulus?

"Wow.... pahamu sepertinya sangat halus, Nona." Mendengar kaliamat tersebut gadis itu baru menoleh dan menatap nyalang pada tersangka yang menatapnya lapar dengan wajah mesum.

Plakk.....

Gadis itu semakin melotot kala dengan tidak sopan tangan pria itu terulur keluar jendela mobil dan menepuk pantatnya.

"Kurang ajar!" baru akan memberi pelajaran pada pria kurang ajar itu mobil itu telah melaju kencang karena rambu-rambu telah berubah warna menjadi hijau.

"Sial!" dengan kekuatan penuh gadis itu mengayuh sepedanya kuat. Ia mengikuti mobil tersebut namun apalah daya, sebuah sepeda tak akan mampu menandingi kecepatan mobil bertenaga 1000 kuda yang melaju kencang melewati jalanan kota.

"Akan ku balas kau!" geramnya, ia masih dengan jelas mengingat plat nomor mobil tersebut yaitu E 1 ZA, sangat mudah diingat.

Dua hari setelahnya di tempat yang sama dan diwaktu yang sama entah Tuhan memberinya kesempatan atau hanya kebetulan. Gadis pengguna sepeda itu kini berada dibelakang mobil yang dua hari lalu telah melakukan pelecehan padanya.

Dengan segera gadis itu mengambil tongkat baseball dari dalam tas punggungnya. Ia sengaja membawanya, pelecehan yang dialaminya dua hari lalu memberinya pelajaran agar selalu waspada. Selain itu juga untuk balas dendam jika ia bertemu mobil itu.

"Awas kau!" gumamnya dan ia mulai bersiap.

Duakkkk....

Spion mobil berharga milyaran itu seketika terhempas ke jalanan saat gadis itu dengan kuat memukulnya menggunakan tongkat baseball yang ia bawa. Ia segera mengayuh sepedanya kuat untuk melarikan diri mengabaikan rambu-rambu yang masih berwarna merah.

Pengemudi mobil itu tak tinggal diam, setelah rambu-rambu berwarna hijau 5 detik setelah gadis itu kabur, dengan kecepatan tinggi mengejar gadis pesepeda itu namun harus terhenti kala si pengemudi melihatnya masuk ke sebuah gang kecil.

"Sial!" gumamnya. Merogoh saku celana mengambil smartphon miliknya dan segera menghubungi seseorang. "Hack cctv perempatan Victor beberapa menit lalu, temukan gadis pesepeda yang berani macam-macam denganku," katanya pada seseorang lewat sambungan telephon.

Ia melihat spion mobilnya yang telah termutilasi kemudian memukul stir mobil. "Awas kau gadis sialan!" gumamnya dengan menggeram marah hingga giginya bergemeletuk.

***

"Aku hanya ingin memberinya pelajaran atas apa yang dia lakukan." Gadis itu, gadis pesepeda yang kemarin menjadi tersangka mutilasi spion mobil seorang pria saat ini tengah berada di sebuah ruangan di kantor polisi begitu juga dengan pemilik mobil itu sendiri sebagai pelapor.

"Apa yang dikatakannya benar?" tanya polisi muda dengan nama Akbar Ihsan yang melekat pada seragam kebanggaannya. Polisi berwajah tampan dengan sorot mata tajam itu menatap pria pemilik mobil penuh selidik. Gadis itu telah menjelaskan alasannya melakukan kekerasan pada mobil pria itu.

"Tidak," jawab pria itu tegas.

"Nona Rara?" Polisi itu menatap gadis pesepeda menuntut kejujuran.

Silvia Naura nama gadis pesepeda itu atau lebih sering dipanggil Rara menghela nafas dan kembali menjelaskan. "Sudah ku katakan tiga hari lalu orang dalam mobil itu melakukan pelecehan padaku dilampu merah, kau bisa mengeceknya sendiri dari cctv," ujarnya.

Mendengar yang dikatakan gadis berambut panjang itu, polisi itu segera menghubungi petugas yang bertugas memantau seluruh cctv perempatan kota.  "Kirim rekaman cctv perempatan Victor tiga hari yang lalu pukul tiga sore," perintahnya saat menghubungi seseorang lewat telephone.

Beberapa waktu menunggu polisi itu membuka sebuah vidio kiriman dari petugas yang sebelumnya ia hubungi. "Apa yang dikatakannya benar," katanya dengan memperlihatkan video pada pemilik mobil alias pelapor.

"Tiga hari lalu mobil itu dipinjam teman kakakku," jawabnya. Arya Fahreza, nama pria itu atau lebih sering di panggil Eza memperhatikan video itu dengan seksama dan ia tahu siapa teman kakaknya yang membuatnya harus mengalami hal merepotkan seperti ini, terlebih harus mengeluarkan banyak uang untuk memperbaiki mobil barunya yang baru dua minggu keluar dari dealer.

"Jadi ini bukan kau?" Selidik si polisi pada pria yang memasang wajah datar sejak menginjakkan kaki di tempat ini. Memang terlihat dengan jelas jika wajah pelaku berbeda jauh dengannya, namun si pengemudi bisa saja dia si pemilik mobil, pasalnya si pelaku duduk di jok sebelah pengemudi.

"Bukan," kata Eza dengan tegas dan jelas. Ia melirik gadis yang memasang wajah angkuh tak mau kalah dan sama sekali tak merasa bersalah yang duduk di sebelahhnya.

"Apa benar bukan dia orangnya?" tanya polisi itu lagi pada Rara.

"Memang bukan. Tapi tetap saja mobil itu yang membawa pria brengsek itu," katanya dengan menatap tak gentar pada pria yang duduk di sebelahnya.

"Tapi itu bukan alasan untuk merusak  milik orang lain," sindir Eza, rasanya ingin sekali menyumpal mulut gadis yang saat ini melotot padanya.

"Mana ku tahu itu milikmu atau bukan, yang ku tahu mobil itu adalah mobil pria brengsek waktu itu," kata Rara mengabaikan tatapanya yang begitu tajam.

Eza tengah berusaha meredam emosinya saat ini. Jika bukan di kantor polisi mungkin ia sudah melempar gadis itu dari lantai 10 apartemennya. "Aku akan tetap membawa ini ke jalur hukum," kata Eza. Ditatapnya gadis itu dengan penuh kebencian setelahnya ia beranjak pergi dari ruangan.

"Apa kau gila?!" bentak si polisi.

"Jangan salahkan aku! aku hanya ingin membalas pria brengsek yang sudah kurang ajar padaku." Rara masih saja membela diri.

"Tapi bukan dengan cara seperti ini. Kau bisa melapor tanpa harus merusak mobilnya, sekarang kau yang bersalah disini karena telah melakukan perusakan," kata polisi itu dengan menghela nafas berat.

"Kenapa kakak menyalahkan aku?" kata Rara yang baru memanggil polisi itu dengan sebutan kakak setelah pria yang melaporkannya pergi dari sana. Ternyata ia adalah adik dari polisi itu sendiri.

"Haaah… dengar, kakak tahu kau marah dan kakak pasti akan menghajar pria yang berani kurang ajar padamu, tapi dalam kasus ini kau juga bersalah." Akhirnya kakaknya itu berbicara dengan lebih lembut. Ia menatap adiknya serba salah, jika saja adiknya melapor padanya kemarin, ia akan segera mencari pria kurang ajar itu.

"Tapi dia juga bersalah Kak, aku juga bisa menuntutnya," kata adiknya tetap kukuh dengan pendiriannya.

"Tapi dia bukan pelakunya dan kau tak bisa menggunakan kekerasan sebagai alasan membalasnya, sebaiknya pulanglah kakak akan mencoba menyelesaikan ini," katanya, ia memijit kepalanya yang pening, adik sematawayangnya benar-benar membuatnya sakit kepala. Meskipun semua salah adiknya tapi tetap saja sebagai seorang kakak ia akan tetap berusaha melindunginya.

"Seharusnya Kakak membelaku, apa kau tega adikmu menjadi korban pelecehan?" Rara bersedekap, menggembungkan pipinya kesal karena kakaknya menyalahkannya.

"Kakak seorang polisi dan tugas kakak membela yang benar sesuai hukum yang beralaku, bukan berarti karena kau adik kakak dan kakak harus membelamu." Diusapnya lembut kepala adiknya berharap ia tahu bagaimana posisinya saat ini. "Pulanglah, untung saja kakak, jika bukan kau sudah masuk dalam penjara hari ini juga," katanya kembali, seperti apapun kesalahan adiknya ia tetap menyayanginya.

***

"Orang itu tetap melanjutkan tuntutannya dan besok kau harus menghadiri sidang." Saat ini keduanya tengah berada di rumah.

"Apa?! aku tidak mau," kata Rara dengan keras kepala. Ia yang sebelumnya rebahan di atas tempat tidur sambil memainkan smartphon miliknya seketika bangun dan duduk.

"Kau hanya harus membuat kesasksian," kata kakaknya menjelaskan.

"Tetap saja, dan lagi dia juga bersalah," Rara masih tak terima disalahkan dan tetap membela diri. Ia membuang muka dan menggembungkan pipi kesal.

"Sudah jelas bukan dia pelakunya, kakak sudah menyelidiki pria yang berani kurang ajar padamu, sayangnya orang itu saat ini tengah berada di luar negeri." Ihsan yang sebelumnya bersandar pintu kamar adiknya menghampiri dan duduk di tepi ranjang.

"Apa? jadi dia kabur?" tanya Rara seakan tak terima.

"Tidak, dia sudah ke luar negeri sehari setelah apa yang dilakukannya padamu, tapi kau tenang saja kakak akan tetap mengejarnya, dia kesana untuk urusan pekerjaan dan pasti akan kembali ke kota ini, kakak sarankan sebaiknya kau temui pemilik mobil itu dan meminta maaf, dia bukan orang sembarangan." Ihsan mengingatkan adik satu-satunya itu.

"Untuk apa aku harus minta  maaf? Dia juga bersalah," kata Rara dengan angkuh.

"Harus berapa kali kakak jelaskan? kau tahu bukan dia yang melakukan pelecehan padamu, dia hanya pemilik mobil itu dan melaporkanmu atas tindakanmu merusak mobilnya, kau tentu tahu mobil itu adalah mobil mahal dan butuh ratusan juta sebagai ganti rugi, jadi sebaiknya minta maaf dan mintalah agar kasus ini diselesaikan secara kekeluargaan." Ihsan memberi wejangan pada Rara berharap ia mau mengalah.

"Tapi kak...." Rara merajuk dan memelas berharap kakanya punya jalan keluar lain.

"Hah... kakak seorang polisi dan kakak tidak ingin menghukum adik kakak sendiri, kau akan masuk Universitas sebentar lagi, pihak kampus pasti tidak ingin memiliki siswa yang tersangkut masalah hukum." Ihsan mengusap kepala Rara dan menatapnya lembut.

"Ba-baiklah kak... akan ku coba." Akhirnya Rara mengalah, jika kakaknya sudah menasehatinya seperti ini ia hanya bisa mengikuti perintah sang kakak.

Dihari berikutnya Rara terilhat menyambangi sebuah gedung perkantoran. Ia tampil cantik dengan kemeja berwarna peach tua dan rok payung berwarna putih selutut, kakinya terbalut sneakers berwarna putih yang membuat penampilannya kian terlihat modis. Rambut panjangnya ia ikat tinggi dengan menyisakan anak rambut yang membingkai wajah ayunya. Bibir berwarna peach dan wajah tanpa make up tebal membuatnya kian terlihat lebih muda dari usianya.

"Aku ingin bertemu dengan Arya Fahreza," katanya pada receptionist.

Receptionist itu memperhatikannya dari atas rambut hingga ujung sepatu yang ia pakai. 'Sejak kapan tuan Eza berteman dengan gadis SMA?' batinnya. "Apa anda sudah membuat janjii?" Reseptionist itu bertanya pada Rara dengan ramah.

"Belum," kata Rara.

"Tunggu sebentar, saya akan mencoba menghubungi tuan Eza," kata si receptionist yang kemudian meraih gagang telephon di mejanya.

Rara menunggu dengan memainkan smartphone miliknya, tak ada raut kecemasan atau ekspresi takut untuk bertemu pria itu.

"Silahkan, tuan Eza mengijinkan anda menemuinya," kata receptionist itu yang kemudian mengantar Rara menuju ruangan bos besarnya.

Diperjalanan menuju ruangan Eza, receptionis itu tak henti memperhatikan Rara. Dilihat dari penampilannya ia berpikir jika usia Rara mungkin baru 16 atau 17 tahun.

Setelah menaiki lift menuju lantai teratas gedung, keduanya berjalan dan tibalah pada sebuah pintu besar.

"Ini adalah ruangan tuan Eza," kata si reseptionist dan mempersilahkan Rara masuk.

"Terimakasih," kata Rara dengan tersenyum pada receptionist itu.

"Huu... hah... kau bisa Ra." Menghela nafas, Rara menyemangati dirinya sendiri.

Cklek...

"Selamat siang Tuan Eza." Rara memasuki ruangan. Melihat tamu tuannya telah masuk, reseptionist itu segera kembali menuju lantai bawah melaksanakan tugasnya kembali.

Rara melangkahkan kaki berjalan untuk berhadapan langsung dengan Eza yang saat ini duduk di kursi panasnya. Membuka kacamatanya, Eza memperhatikan Rara dari atas sampai bawah. Rara berdiri di depan meja kerjanya kemudian membungkuk 90 derajat.

"Tujuan saya kesini adalah untuk meminta maaf, saya tahu yang saya lakukan adalah salah dan saya harap anda bisa mencabut tuntutan anda," kata Rara dengan cepat. Keberanian yang ia kumpulkan sebelum memasuki ruangan menguap saat ia benar-benar berhadapan langsung dengan Eza.

Eza bangun dari duduknya dan berjalan menghampiri Rara yang masih membungkuk. "Berapa usiamu?" tanyanya dengan suara datar dan dingin.

"Aku-- 18," jawab Rara dan kembali berdiri tegak, memberanikan diri ia menatap lansung pada kedua mata Eza.

Eza mengamatinya dari atas sampai bawah, bahkan memutar memperhatikan Rara dari depan dan belakang. Dengan gerakan cepat ia menarik Rara dan mendorongnya hingga jatuh terduduk pada sofa empuk yang berada di sisi ruangan dan segera menindihnya, mencengkram dua tangannya dengan tangan kanan dan tangan kirinya digunakan untuk melonggarkan dasi. Ia menatap Rara dengan tatapan datar dan dingin kemudian mendekatkan wajahnya pada Rara dan berbisik, "Aku akan mencabut tuntutanku, tapi... puaskan aku."

Mata Rara membulat seketika, kemudian ia mencoba tenang. "Tung-- tunggu! ba-- baik, baiklah aku akan melakukannya tapi dengan satu syarat," kata Rara dengan tenang. Ia tidak boleh gegabah dan lengah disaat berbahaya seperti ini.

"Hn?" alis Eza mengernyit.

"Kau ingin aku memuaskanmu bukan? kalau begitu biarkan aku mengerjakan tugasku, pertama lepaskan dulu tanganku," kata Rara dengan tersenyum nakal dan mengedipkan sebelah mata.

Eza terlihat berpikir kemudian akhirnya melepas cengkramannya.

"Awh... tadi itu sangat sakit tahu!" kata Rara dengan memegangi pergelangan tangannya yang memerah. "Baiklah aku akan memulainya." Rara menarik dasi Eza, membukanya dan membuangnya kesembarang arah kemudian membuka kancing kemejanya satu persatu. "Seharusnya kita bisa bicara baik-baik bukan seperti tadi, kau membuatku terkejut, kau pikir aku akan menolak pria tampan sepertimu?" kata Rara dengan nada suara sensual, jari-jari lentiknya mulai merambati dada bidang Eza setelah seluruh kancing kemejanya terbuka.

"Selain tampan tubuhmu benar-benar indah." Rara tampak sangat mengagumi tubuh Eza dan kini mulai merambat turun kecelananya.

Klick...

Ikat pinggang Eza telah terbuka dan Rara mulai menurunkan celananya. Eza menikmati ini, menikmati setiap sentuhan lembut Rara pada tububnya. Ia pikir Rara masih perawan, tapi gadis itu ternyata bisa memuaskannya walau hanya melalui sentuhan tangan.

"Sekarang giliranku." Kini Rara telah membalik posisi dengan Eza di bawahnya dan ia mengangkanginya.

Dengan perlahan Rara membuka satu kancing kemejanya dan kini mulai turun pada satu kancing dibawahnya. Nafas Eza mulai panas saat Rara mulai membuka kancing ketiga dan akan menunjukkan sesuatu yang masih terlihat kencang didalamnya. Sebelumnya Eza tidak benar-benar menginginkan ini sebagai ganti agar ia mencabut tuntutannya, tapi apa yang dilakukan Rara benar-benar membuatnya turn on sekarang.

Sebelum menujukkan aset Rara yang masih terbungkus kemeja, ia mendekat pada telinga Eza hingga meniup telinga pria itu nakal sementara tangan kanannya digunakannya mengelus lembut milik Eza di bawah sana yang sudah mengeras. "Kau benar-benar pria brengsek," bisik Rara dengan sedikit meremas milik Eza.

Dan wush...

Dengan kecepatan kilat Rara berlari keluar ruangan meninggalkan Eza yang cengo.

Eza masih meloading apa yang baru saja terjadi. Ingin dikejarnya gadis itu tapi tidak mungkin dengan keadaannya yang seperti ini, hanya memakai celana bokser. "Damn! Shit! Awas kau!" katanya, kemudian menyeringai penuh kekejaman.

***

"Orang itu mencabut tuntutannya padamu, apa yang kau lakukan? kenapa dia bisa semudah itu mencabut tuntutannya?" tanya Ihsan kakak Rara yang masih tak percaya.

"Entahlah, aku tidak melakukan apapun, dia ternyata pria yang baik, saat aku meminta maaf dengan tulus, dia memaafkanku," kata Rara dengam tertawa palsu mengingat kejadian satu minggu lalu. Jika mengingat itu rasanya ia ingin terjun dari lantai dua rumahnya saja.

"Kenapa aku merasa kau membohongiku?" Ihsan menatap penuh selidik pada Rara yang masih asyik menikmati salad buah kesukaannya, ia merasa ada yang adiknya sembunyikan.

"Tidak Kak, bagaimana mungkin adikmu yang manis ini membohongimu? aku serius dia orang yang baik," kata Rara dengan sendok yang masih berada di dalam mulutnya. Ia menunjukkan dua jari membentuk huruf V. Ia harap kakaknya tidak tahu kejadian yang sebenarnya, karena jika kakaknya tahu ia yakin ia akan tamat.

"Hm... awas jika kau melakukan sesuatu tanpa sepengetahuan kakak." Ihsan beranjak berjalan menuju kamarnya dengan tetap menatap Rara, ia menunjuk kedua matanya dengan jari telunjuk dan tengahnya kemudian mengarahkannya pada mata Rara. Meskipun seorang polisi, Ihsan tetap menjadi kakak yang hangat saat di rumah. Rara hanya tertawa dipaksakan, ia menaruh mangkuk bekas salad yang ia makan ke tempat cuci piring dan menuju kamar untuk istirahat.

"Hoek.... hoek....."

"Kau kenapa sayang?" Ibu Rara hendak menyuruh Rara makan malam sampai ia mendengar putrinya itu muntah-muntah. Ia segera menghampiri dan memijit kecil punduk Rara.

"Tidak tahu bu, sepertinya Rara tidak enak badan," kata Rara, ia ingat tadi sore menghabiskan dua mangkuk besar salad.

"Kalau begitu istirahatlah. Ibu akan membawa makan malam ke kamarmu." Ibunya mengusap lembut kepala putrinya dan keluar kamar Rara untuk membawakannya makan malam.

"Terimakasih bu," kata Rara dan menuju tempat tidur untuk mengistirahatkan perutnya. Ia hanya rebahan sambil memainkan smartphon milkinya. Tanpa dirasa sudah setengah jam saat ibunya bilang akan membawakannya makan malam dan belum kembali lagi ke kamarnya. Melempar smartphonnya asal dan turun ke lantai bawah, perutnya sudah lumayan setelah semua isinya terkuras dan siap di isi dengan makan malam yang lezat.

"Ibu... mana makan malam-- ku...." Baru saja turun dari kamarnya dan mencari sang ibu ia sudah dikejukan dengan seorang pria yang akhir-akhir ini selalu menjadi mimpi buruknya. Ia melihat ayah, ibu dan kakaknya melotot kearahnya kemudian melihat pria itu menyeringai padanya.

Glek...

Ia menelan ludah kasar. Sepertinya kehidupannya akan berakhir detik ini juga.

***

"Haah... haah... haah...." Rara meraup udara serakah.

"Kenapa tidak kabur, lagi?" Saat ini Eza tengah menindihnya dan memaju mundurkan milimnya pelan. Memeluk istrinya dari belakang dan berbisik, "Oh..., karena kau memang menginginkan ini, kemarin kau melihat tubuh indahku dan sekarang kau merasakannya, bagaimana rasanya? aku tahu kau tak akan kabur, lagi." Eza meniup pelan telinga Rara dan kembali memompa miliknya dengan keras.

"Sial sial sial," gumam Rara dengan serak. Bagaimana Rara bisa kabur? pria itu telah melempar baju pernikahannya lewat jendela apartemennya, begitu juga baju pria itu dan tak ada selimut atau apapun yang bisa digunakannya untuk kabur saat ini dan sangat tidak mungkin ia kabur dengan telanjang atau mengatakan ia menjadi korban pemerkosaan oleh suaminya sendiri.

Satu minggu sebelumnya...

"Putri anda menawarkan diri agar aku mencabut laporanku padanya, dan sebagai pria normal tentu sangat sulit saat ada seorang gadis dengan senang hati menawarkan tubuhnya." Eza mengatakannya seakan tak ada yang ditutup-tutupi.

"Jadi Sakura--" Ihsan tak mampu melanjutkan kata-katanya, ia tak menyangka pikiran buruknya benar adanya.

"Ya dan saat itu aku tak menggunakan pengaman dan setelah ku pikir aku akan jadi ayah yang jahat jika mengabaikan darah dagingku," kata Eza dengan santai.

"Jadi..., Rara saat ini?" Ibu Rara menutup mulut seakan tak percaya namun ia memang barusaja menyaksikan anak bungsunya muntah-muntah.

Eza hanya mengangguk. "Dan tentu kalian tahu apa tujuanku saat ini," katanya dengan tenang dan jelas.

"Ibu... mana makan malam- ku." Rara baru saja turun dari kamarnya di lantai atas dan terkejut saat melihat Eza menyeringai ke arahnya.

Seringai Eza semakin melebar melihat reaksi Rara saat melihatnya. "Balas dendam baru dimulai," ucapnya dalam hati.