"Bagaimana kabar perusahaanmu sekarang?" tanya Tuan Arya pada Eza yang hanya memasang wajah datar.
"Baik," jawab Eza singkat.
Saat ini keduanya tengah berada di ruang keluarga. Ditemani teh hangat Tuan Arya melakukan sesi wawancara sekaligus memberi wejangan pada putra bungsunya.
Menyeruput teh hangatnya dan melirik Eza yang duduk dihadapannya yang terbatasi oleh meja.
"Sebenarnya ada hal yang ingin ayah bicarakan," kata Tuan Arya sembari meletakkan teh hangatnya ke atas meja.
"Hn?" alis Eza sedikit mengernyit.
"Sebenarnya ayah cukup terkejut saat mendengar kau ingin menikah terlebih saat itu juga." Memejamkan mata sejenak dengan bersedekap dada. "Jadi, ada yang ingin kau jelaskan?" kini mata itu kembali terbuka dengan tatapan tajam mengarah tepat pada Eza.
Eza mematung sejenak, sebulir keringat dingin meluncur dari pelipisnya. "Apa ayah tahu sesuatu?" batinnya.
Mencoba tenang dengan sikap senatural mungkin dan mulai merangkai kata demi kata menjadi kalimat kebohongan.
"Ayah sudah tahu jadi tidak ada yang perlu ku jelaskan lagi," kata Eza yang berusaha mempertahankan ekspresi datarnya.
"Bagaimana dengan mobil barumu?" tanya Tuan Arya kembali.
Eza terkejut, ayahnya tahu ia punya mobil baru? "I- itu, kebetulan ada diskon dari temanku," jawab Eza dengan menatap arah lain dan memegangi punduknya yang terasa dingin.
"Kau pikir ayah bodoh? sejak kapan Arya Fahreza tergiur diskon? bahkan jika ada planet dijual pun kau akan membelinya tanpa melihat harga," cibir Tuan Arya.
"Ck, sial!" batin Eza. Ia sudah menyembunyikan mobil barunya di rumah kakaknya berharap ayahnya tidak tahu tentang hal itu.
"Ayah tahu kau mampu, kau bisa membeli apapun dengan uangmu, tapi ayah tidak suka sifat borosmu," kata Tuan Arya dengan tak berhenti menatap putra bungsunya penuh keseriusan.
"Aku hanya ingin menambah koleksi ku," kata Eza dan tak berani menatap langsung wajah ayahnya. Meski di kantor ia dikenal dingin, tegas bahkan kejam pada bawahannya namun ia tetap menjadi anak penurut di rumah.
"Lalu bagaimana dengan spion mobilmu? bahkan biaya memperbaikinya sebanding dengan gaji puluhan karyawan Adipati." Meski Tuan Arya mengatakannya dengan tenang namun mampu membuat Eza gelisah.
Bahkan ayahnya tahu mengenai spion mobilnya, kalau begitu... Rara... "Darimana Ayah tahu?" tanya Eza dengan cepat.
"Tidak penting darimana ayah tahu, ayah sengaja membiarkan kalian bertanggungjawab atas apa yang kalian lakukan," kata ayahnya yang mulai menatapnya tajam.
"Maksud Ayah?" tanya Eza dengan keringat dingin kian membasahi pelipisnya.
"Setidaknya kau bertanggung jawab, tapi ayah ingatkan padamu, kau sudah mengambil keputusan jika hal yang tidak diingankan terjadi dikemudian hari kau adalah alasan dari masalahmu itu sendiri," kata Tuan Arya dengan tenang namun tetap terdengar tegas.
Eza mulai khawatir, apa ayahnya tahu jika alasannya menikahi Rara hanya untuk membalas wanita itu?
"Ehm," Eza berdehem kecil dan memberanikan diri menatap langsung sang ayah. "Ayah tenang saja, semua ada pada kendaliku," kata Eza mantab.
"Tidak selamanya semua dapat kau kendalikan, kau tidak akan tahu masa depan," kata Tuan Arya mengingatkan. "Ayah hanya ingin mengingatkan dan menasehatimu, sesuatu yang kau mulai dengan keburukan tidak akan berakhir baik kecuali kau merubah niatmu sebelumnya."
"Ayah mengatakan semua ini setelah aku menikah, kenapa kemarin Ayah setuju-setuju saja?" tanya Eza penuh selidik.
"Sudah ayah katakan agar kau bertanggung jawab," ujar ayahnya dengan cepat.
"Aku sama sekali tidak mengerti maksud ayah." Raut wajah Eza menuntut kejelasan.
"Aku sudah menemui ayah Rara dan dia mengatakan semuanya, ayah tidak percaya jika Rara yang menawarkan diri, ayah lebih percaya jika kau yang memintanya sebagai ganti rugi dan mungkin kau terlalu menikmatinya hingga lupa jika spremamu bisa menghasilkan bayi," kata Tuan Arya tanpa berniat menyaring kata-katanya agar lebih sopan didengar.
Eza mematung mendengar yang dikatakan ayahnya. Ia kira ayahnya mengetahui semua rencananya, ternyata.... Tapi tunggu dulu, bagaimana ayahnya bisa berpikir ia yang memintanya?
"Kenapa ayah bisa berpikir aku yang memaksanya?" tanya Eza seakan tak terima.
Ayahnya itu hanya mengedikkan bahu. "Karena pikiran ayah seperti itu," katanya enteng.
"Apa ibu tahu?" Eza bertanya dengan hati-hati.
"Hm." Ayahnya mengangguk kecil. "Tapi ia terlalu bahagia mendengar akan punya cucu hingga mengabaikan kesalahanmu."
"Kesalahanku? jika bukan dia yang memulainya tentu aku tidak akan melakukan ini, jadi siapa yang patut disalahkan disini?" batin Eza.
"Ayah juga ingin menasehatimu, ayah tahu kau baru menikmati nikmatnya surga dunia, tapi kau juga harus memberi jam istirahat pada istrimu, ia tidak lagi mendapat tamu bulanannya bukan berarti kau bebas menggaulinya setiap waktu." Lagi, Tuan Arya berbicara dengan lugas mengabaikan ucapannya yang terdengar tabu untuk di bahas kaum pria.
Eza hanya diam, ia tidak bisa mengatakan apapun sebagai alasan atau menyanggah ucapan ayahnya, jika tidak ayahnya mungkin akan curiga.
Dan wejangan ayahnya tak berhenti sampai disitu, hingga jarum pendek mengarah pada angka 11 wejangan ayahnya baru selesai.
"Ingat semua yang sudah ayah katakan," kata Tuan Arya yang bangun dari duduknya dan berjalan menuju luar ruangan. "Kau bisa tidur di kamar kakakmu," katanya sebelum melangkahkan kaki melewati pintu.
"Hah...." Eza membanting punggungnya kasar ke sofa dan menatap langit-langit ruang keluarga rumahnya. Semua wejangan ayahnya ia cerna bulat-bulat.
***
"Kau harus menjaganya Za," kata Nyonya Arya pada Eza yang sudah bersiap tancap gas. Eza dan Rara sudah berada dalam mobil dan bersiap berangkat ke kampus.
"Hati-hati ya Sayang, jika Eza melakukan sesuatu kau bisa segera menelepon ibu," katanya kembali dengan tersenyum mengejek Eza yang terlihat jengah mendengar ibunya terlalu berlebihan.
"Hn, sampai jumpa Bu," kata Eza dan mulai menginjak pedal gas.
Dalam perjalanan Eza hanya diam sementara Rara bersenandung kecil seakan tidak ada apapun antara mereka. Sesekali Rara meliriknya lewat ekor mata, sempat curiga karena diamnya Eza namun mengabaikannya.
Ckit...
Mobil berhenti tepat di depan gerbang kampus. Rara segera berniat membuka pintu mobil namun terhenti saat Eza menguncinya secara otomatis.
"Kupikir kau melupakan yang semalam," kata Rara berusaha tenang.
Eza hanya diam dan mulai mendekatkan wajahnya pada Rara.
"A- apa yang kau lakukan?! menyingkir!" Rara berusaha mendorong Eza namun ia justru semakin mencondongkan tubuhnya.
Diraihnya kedua tangan Rara dan menguncinya dengan satu tangannya, sementara satu tangannya digunakannya menahan kepala Rara agar tetap berada pada posisi yang ia inginkan. Tanpa mengatakan apapun ia segera mencium bibir Rara. Rara berusaha menolak namun sia-sia, Eza tetap memaksanya dengan menahan kepalanya. Tepat sebelum Rara menggigit bibir dan lidahnya ia segera merambat turun menjajah lehernya. Hisap dan gigit membuat bulu roma Rara sedikit meremang. Eza menghisapnya kuat hingga ruam-ruam kemerahan mulai terlihat di leher Rara yang putih.
"Cup!" adalah bunyi hisapan Eza yang tarakhir. Melepas cengkramannya pada tangan Rara dan menyeringai ke arahnya dengan mengusap saliva yang menetes di sudut bibirnya.
"Ka- kau!" Rara melotot pada Eza dengan terengah. Tangannya segera mengusap kasar bibir serta lehernya yang masih basah.
Eza hanya menyeringai dan menyuruh Rara segera keluar dari dalam mobil.
"Apa kau gila?" teriak Rara. Ia melihat pantulan dirinya di spion dalam mobil dan melihat karya Eza pada lehernya. Pria itu gila jika menyuruhnya keluar dan kuliah dengan leher penuh dengan kissmark.
"Kau membalasku? maka aku akan membalasmu," kata Eza dengai seringai tak lepas dari wajah tampannya.