Chereads / Aroma Surga / Chapter 29 - Sebuah Rasa

Chapter 29 - Sebuah Rasa

Kejadian kemarin membuat perempuan itu terbaring dalam sebuah ranjang rumah sakit. Dia dinyatakan koma dalam waktu yang tidak ditentukan.

"Bagaimana kondisinya?"

"Kondisi pasien semakin melemah."

"Bagaimana keluarga pasien? Apa bisa dihubungi?"

"Belum bisa, Dok."

Percakapan dokter dengan perawat. Melihat kondisi perempuan itu masih dalam kondisi koma sejak beberapa hari lalu.

"Apa yang harus kita lakukan, Dok?"

"Kita harus segera menuju ke rumah pasien, karena bagaimana pun keluarga pasien harus tahu kondisi pasien sebenarnya."

"Baiklah, Dok."

Perawat langsung keluar dari kamar ICU tempat perempuan itu yang terbaring lemah. Bahkan, tidak ada yang datang mencari perempuan itu sama sekali.

-

Di kantin seorang pria terlihat nampak gelisah dengan menikmati semangkuk bakso dan sebotol air mineral. Dia seperti ada sesuatu yang telah dia pikirkan beberapa hari ini.

"Hey!"

"Astaga, Nanda!"

"Mikirin siapa hayo? Jangan bilang mikirin calon istri," cetus Nanda dengan cengingisan.

"Astaga, Nanda. Mana sempet aku mikirin buat calon istri. Aku lagi mikir gimana nyelesein program spesialis yang akan aku ambil nanti."

"Heem, emang sich. Aku juga mikir begitu, tapi biayanya aku masih nggak sanggup. Apalagi, aku itu banyak banget kebutuhan."

"Tapi, suami kamu itu kaya, Nanda."

"Iya, tapi pelit banget, bahkan jatah belanjaku itu mepet banget! Buat beli skincare aja mana cukup."

"Nanda, kamu itu kurang bersyukur banget. Emang gaji kamu jadi dokter di rumah sakit ini ke mana aja?"

Nanda hanya meringis.

"Tuh, pasti kamu buat untuk..."

Kedua bola mata Nanda naik ke atas, ia selalu khilaf tiap kali ngemall bersama temen-temennya. Ia pun sadar kalau suaminya pelit karena nggak mau dia makin boros. Padahal dia harus mikirin dua bocah kecil yang juga hadir dalam pernikahan mereka. Tapi, hobi belanja membuatnya lupa.

"Nanda, Nanda, bagaimana suami kamu ngasih duit banyak ke kamu, kalau kamunya boros," ujar Syahid.

Nanda mulai merengut, "Kamu nggak tahu sich manfaat belanja buat para wanita."

"Emang berbelanja apa faedahnya? Itu malah unfaedah, apalagi kalau berlebihan Nanda! Ingetlah, boros itu merupakan ciri-ciri temannya setan!"

"Emang, iya?" Anda mulai membolehkan kedua matanya dengan malas. Karena dia mendengarkan ceramah dari Syahid mengenai berbelanja berlebihan. Ia sangat hobi sekali menghabiskan uang gajinya hanya untuk sekedar berbelanja saja.

Syahid hanya tersenyum menatap Nanda, ia hanya merasa kalau sahabatnya itu harus dibantu untuk berubah.

"Kamu itu udah berkeluarga, jangan boros-boros. Kasihan suami kamu yang udah banting tulang," ujar Syahid menatap Nanda yang sedang menyeruput segelas es teh manisnya.

"Hadeh, kamu itu kayak emakku aja. Hobinya itu nasehatin mulu. Sampai kuping ini rasanya kepanasan!" Timpa Nanda yang enggan mendengarkan ucapan dari Syahid.

"Nan, kamu..."

"Udah, kamu nggak usah ngebahas masalah ini. Lebih baik kita bahas soal penempatan kamu yang katanya akan pindah ke Kalimantan. Bener nggak sich?"

Syahid hanya mengangguk, Dia mengiyakan. Karena pihak rumah sakit memindahkan dia ke cabang rumah sakit terpencil. Semua itu, demi kenaikan karirnya. Dia tidak mungkin menolak dengan keputusan rumah sakit.

"Ya, kok bisa kayak gitu, Hid. Padahal kamu itu, kan. Temen yang bisa ngertiin aku, terus pacar kamu yang bawel itu gimana?"

"Maksud kamu Anya?" Syahid menatap wajah Nanda.

"Iya, wanita yang selalu nempel sama kamu itu, terus selalu saja sinis kalau aku deket sama kamu. Padahal aku aja udah punya suami."

"Dia cuman sahabatku, Nanda. Nggak akan pernah lebih."

"Oh," Nanda hanya menganggukan kepalanya sambil mengaduk-ngaduk minumannya. "Tapi kenapa dia selalu bersikap berlebihan kepada kamu?" Dia menatap Syahid dengan penuh dengan tanda tanya akan sikap dari Anya.

Mereka berdua tidak menyadari bahwa di belakang mereka ada seorang perempuan yang berdiri di sana. Kemudian mereka berdua menoleh melihat sosok perempuan itu yaitu Anya.

"Jadi, aku hanya sahabatmu? Nggak akan pernah lebih?" ulang perempuan itu yang bernama Anya. Dia lalu menghapus air mata atas sebuah kenyataan. Dia berlari hingga beberapa kali menabrak seseorang.

"ANYA!"

Dimas terlihat berusaha menghentikan Anya, tapi sayangnya dia tidak berhasil. Anya mengabaikannya. Ia pun berderai air mata.

"Apa yang terjadi?" Pikir Dimas, setelah melihat Anya yang berlari dengan meneteskan air mata. "Apa ada hubungannya dengan..."

Dimas  memutar arah langkah kedua kakinya, lalu ia pun mencari tahu tentang apa yang terjadi dengan Anya. Ia pun akan mencari tahu, karena ia akan merasa penasaran bila tidak tahu.

*

Sebuah tamparan melesat seketika, ketika seorang wanita paruh baya menerobos ke ruangan milik Haslan.

"MAMA!"

"Kamu ini suami macam apa?!"

"Maksud mama apa ya? Kenapa mama nampar Haslan mendadak? Terus pakai marah-marah segala?"

"Haslan, mama itu membesarkan dan mendidik kamu menjadi anak yang bertanggung jawab. Bukan malah membiarkan istri kamu hampir saja meregang nyawanya!"

"Jadi, dia masih selamat?" tanya Haslan dengan nada datar. "Ya, kalau dia baik-baik saja kenapa aku harus cemas?"

"Karena istri kamu itu sekarang masuk penjara, karena menabrak orang!"

"Ya, salah sendiri kenapa dia ceroboh sekali," Haslan pun mengucapkan dengan nada datar.

"Astaga, semua ini salah kamu!"

"Kenapa dia yang nabrak, terus kenapa aku yang disalahkan?"

"Karena kamu suami yang nggak pernah anggap istri kamu ada, seharusnya kamu itu bisa menerima dia."

"Aku nggak cinta sama dia, Ma. Semua ini karena ide gila mama!" ujar Haslan. "Urus saja menantu kesayangan mama!"

"Kamu..."

"Sorry, Ma. Kalau nggak ada yang penting, Haslan mau ke ruang meeting. Ada rapat penting."

"Haslan!"

Haslan langsung keluar dari ruangannya. Dia terlalu malas untuk membahas sesuatu yang tidak penting dalam kehidupannya. Baginya pernikahan itu adalah sebuah gerbang neraka untuk dia. "Seharusnya aku tidak melakukan pernikahanku dengan perempuan licik itu, karena dia membuat aku kehilangan cintaku. "Dia mulai kesal dengan sikap yang dilakukan keluarganya. Dia tidak berniat untuk menikahi Kara.

"Sinta!"

Wanita yang duduk di meja kerja depan ruangan CEO, langsung berdiri. Ia pun mengikuti ke mana langkah Haslan pergi.

Sepanjang perjalanan Haslan terus memarahi Sinta tiada henti. Hingga telinga wanita itu terasa sangat panas sekali.

"Sebenarnya Bos ini kerasukan setan apa sih? " Sinta menggumam dalam hati kecilnya sambil menatap punggung dari bosnya. Ia merasa sangat kesal sekali mendapatkan imbas dari hal yang dialami bosnya.

-

Pov Lara

Semenjak pertemuan berulang kali dengan dia. Hatiku terasa sangat teduh. Ada sebuah gejolak dalam jiwa tuk mengenalmu lebih dekat. Ya, kamu bagaikan dunia kecilku. Meskipun, aku belum tahu apa ini sebuah waktu yang tepat?

Seketika, ingatanku pun tumbuh. Sebuah senyuman tergores sangat jelas di kedua sudut bibirmu.  Jatuh dan cinta dua kata yang begitu indah. Sebuah rindu-rindu mengalir seketika.

Apa aku sudah tidak waras? pikirku dalam lamunan.

Bayang-bayangnya pun mengudara. Hingga di mana pun mataku melihat selalu ada kamu.

Sebuah tangan mulai mendarat di pundak kananku, lalu aku secara reflek menoleh. Dua sorot mata saling menatap memancarkan sebuah sinar yang saling membekukan.

Aku tidak bisa untuk menahan semua itu bahkan detak jantungku berdebar begitu kencang ketika aku mulai bertemu dengan dia kembali. Mungkinkah aku jatuh cinta kembali dengan dia?

-