Syahid baru saja datang ke kedai kafe tempat Lara bekerja. Ia mendengar pembicaraan Lara dan dua temannya.
"Wanita muda itu sangatlah cantik, bahkan cara dia bicara begitu sejuk. Dia benar-benar wanita beraroma surga yang mampu membuat aku jatuh hati," batin Syahid, ia pun berjalan menuju ke meja barista untuk memesan secangkir kopi vanilla matchiatto.
"Nona Lara!"
Lara pun menoleh, ia melihat seorang pria yang selalu datang bayangnya mengusik dia akhir-akhir ini.
"Syahid?"
Syahid tersenyum, ia menatap Lara. Mereka saling menatap dalam beberapa detik.
*
Di rumah sakit, kondisi Lira sedang koma. Haslan hanya pasrah, ia menyalakan dirinya atas kebodohannya yang membuat wanita itu anfal.
"Mama, maafin Haslan," ucapnya begitu lirih.
"Bos," lirih Sinta memanggil Haslan dengan membawa berkas.
"Ada apa Sinta?" tanya Haslan.
"Ini ada berkas penting yang harus bos cek dan tanda tangan," ujar Sinta.
"Baiklah, saya akan segera mengeceknya."
Sinta pun mengulurkan berkas berupa map biru ke Haslan.
"Bos, apa saya boleh izin pulang?"
Haslan hanya mengangguk.
"Syukurlah," ucap Sinta dengan menghela napas lega, karena biasanya bosnya selalu saja menolak. "Sebenarnya aku nggak tega ninggalin si bos, tapi aku sudah terlanjur janji makan malam bareng Pak Bara," batin Sinta.
"Baiklah, kamu boleh pergi. Jangan lupa besok pagi jam 06.00 tepat kamu datang ke sini, karena saya ingin kamu persiapkan semua surat-surat kerjasama baru dengan model iklan untuk produk kita baru," nada datar Haslan yang dingin membuat siapa saja yang mendengarkan merinding.
Sinta hanya diam dalam sepinya malam, ia hanya mampu menelan salivanya sendiri. Ia tidak mampu menolak semua perintah dan keputusan bosnya. Kalau tidak karirnya terancam berakhir sampai hari ini.
"Baik, Pak. Saya akan siapkan semua berkas dan proposalnya, serta surat perjanjian."
"Ya, kamu harus secepatnya, agar wanita itu bisa bekerja sama menjadi brand ambassador produk kita."
"Siap, Pak. Saya pamit dulu, selamat malam."
"Malam," balas Haslan dengan nada datar.
Sinta pun membalikkan arah langkah kedua kakinya.
"Sial ini bos! Sama aja kalau aku harus begadang dan lembur, apalagi model itu yang sangat susah ditemui!" gerutu Sinta dengan nada mengumam.
Di depan area rumah sakit, sebuah motor matic berhenti di depan.
"Sinta, kamu kenapa?"
"Nggak usah nanya, aku lagi bete sama bos Haslan! Kalau nyuruh seenaknya," cicit Sinta dengan nada dongkol. "Untung dia ganteng, kalau enggak..."
"Berarti lebih ganteng dia dibandingin cowok sendiri?" celetuk Bara memotong pembicaraan Sinta.
Sinta hanya meringis saja, ia pun keceplosan.
"Yaudah, pacaran sama bos Haslan saja."
"Sorry, aku kan normal Bara, jadi mata aku nggak mungkin salah."
"Baiklah, kita batalin saja acara makan malamnya," ujar Bara.
"Nggak bisa begitu donk. Kan, aku cintanya sama kamu, meskipun gantengnya bos bikin mata merem melek."
"Kamu itu gemesin," Bara pun mencubit hidung Sinta.
"Bara, sakit tahu!" protes Sinta.
"Abisnya, kamu malah muji bos Haslan," ujar Bara.
*
Di sebuah hotel tempat Mita Arinda Putri menginap begitu sangat mewah hingga membuat Lara sangat kagum sekali.
"Gila, Mit. Ini hotel super duper mewah banget. Kamu pasti nyaman banget tidur di ranjang seempuk ini," ujar Lara.
Mita pun tersenyum, "Semua ini kan sponsor dan fasilitas, Ra. Tapi, aku lebih suka menjadi orang biasa."
"Mit, apa kamu masih suka sama Erlan?"
"Ra, kenapa tiba-tiba kamu nanya soal itu?"
"Ya, karena ini kesempatan buat kamu bisa deket dengan Erlan."
"Ra, kamu tahu, kan. Kalau Erlan pernah bilang dalam persahabatan nggak boleh ada rasa sama sekali, karena itu membuat lemahnya persahabatan."
"Aku inget kata-kata itu, tapi cinta itu soal rasa yang nggak pernah bisa ditawarkan kepada siapa kita jatuh cinta."
"Heem, tapi cinta akan menjadi racun persahabatan, bahkan bisa membuat saling menjauh bila cinta itu patah dan punah."
"Mit, cinta itu adalah rasa alami, karena jatuh cinta tidak ada penawarnya," kata Lara.
"Iya, aku masih mencintai dia, tapi aku cukup tahu diri dengan rasaku yang tak pernah bisa aku tahan bila dekat atau bersama dia."
"Kamu harus berjuang, Mit. Dalam cinta hanya ada dua yaitu kamu berjuang atau kamu ikhlaskan."
"Aku paham itu. Meskipun, aku..."
"Meskipun memendam cinta dalam diam, hingga cinta itu tidak akan pernah terjadi?"
"Ya, mungkin itu yang terbaik. Karena, aku nggak siap patah hati," helaan singkat Mita.
---
"Sial! Aku nggak bisa tidur!" umpat Erlan yang dari tadi hanya bisa merem melek, ia merasa kalau masih memikirkan wanita yang mampu membuatnya jadi galau.
Erlan pun membatalkan tidurnya, lalu ia duduk di tepi ranjang kamarnya.
"Mungkit sebat doang!"
Erlan hanya memakai boxer berjalan ke arah balkon apartemennya, ia pun menyalakan pematik untuk putung rokoknya.
"Well, cinta itu rumit," ucapnya sambil merokok dengan meniupkan asapnya ke udara.
Sebat aktivitas rutin yang dilakukan Erlan, ketika mengalami penat pikiran. Ia merasakan kalau dengan sebat itu melepaskan pikiran.
Erlan hanya bisa duduk memandang sebuah langit, ia pun tidak menyangka kalau kisah cintanya berakhir di detik-detik menuju pelaminan.
"Sial, jadi jomblo lagi!"
Status Erlan berubah menjadi jomblo kembali, ia tidak menyangka kalau wanita yang dia cintai telah mengandung benih dari kekasih gelapnya.
"Apa kurangnya aku di mata dia? Apa aku..."
Wanita itu membuat seluruh hidupnya hampir punah, ia merasakan kalau cinta hanya sebatas janji dan ucapan yang basi.
"Ternyata, cinta saja tak cukup untukmu, apa aku kurang dari dia yang mampu membuatmu bertahan lalu melepaskanku?"
Erlan hanya mampu meratapi kisah cintanya yang kandas dalam sekejap. Ia kembali ke Semarang hanya untuk melepaskan beberapa rasa-rasa sesak di dada.
Awalnya Erlan hanya sebat, tapi ia akhirnya menghabiskan tiga putung rokok.
*
"Mit, kamu mau ke Jakarta besok?"
"Ya, mau bagaimana lagi, Ra. Kan, kerjaanku."
"Jadi, cuman semalam doang kamu di sini?"
"Bisa jadi begitu, Ra. Meskipun, aku masih ingin banyak cerita sama kamu."
"Apa enggak bisa kamu re-sechedule gitu?"
"Bisa banget, Ra. Tapi..."
"Ayolah, Mit."
"Baiklah, aku akan menghubungi manajerku, buat tunda keberangkatanku menjadi besok jum'at."
"Ya, kalau begitu kamu memang sahabat terbaikku," ujar Lara.
Mita pun menunjukkan pesan chatnya ke manajer pribadinya yang diiyakan.
Lara pun memeluk Mita. Ia merasakan bahagia sekali dengan kehadiran sahabatnya.
"Ra, besok kita mau ke mana?"
"Kita mungkin nongkrong bareng Erlan juga, sekalian kamu pedekate sama dia. Masa cinta tak terbaca?"
"Ra, aku mau begitu, tapi Erlan apa bisa membuka hatinya?"
"Mungkin iya mungkin tidak, kalau jodoh tak akan ke mana-mana."
"Iya, sich."
"Udah, kita pikir besok aja," Lara pun menguap, ia malam ini tidur di kamar hotel bersama sahabatnya.
"Okay, jangan dimatikan lampunya, karena aku takut gelap," kata Mita.
"Ok," balas Lara, lalu terlelap tidurnya.
*