Chereads / Aroma Surga / Chapter 18 - Rasa

Chapter 18 - Rasa

Pov Lara.

Hatiku terasa sangat aneh sekali, setelah bertemu dengan dia. Ada sebuah rasa yang tidak bisa ku kendalikan. Mungkinkah, aku jatuh cinta kembali, setelah sekian lama?

Dia pria yang sangat menarik, bahkan aku baru pertama kali menemui pria semenarik Syahid. Apa aku mulai mengagumi dia? pikir Lara dalam hati kecilnya sambil menatap seberkas cahaya dari sinar rembulan di langit.

Sungguh dia bagaikan rembulan di malam hari. Membuatku terus terbayangkan akan keindahannya.

TOK TOK TOK

Sebuah ketukan pintu dari luar kontrakan membuatku terbangun atas lamunanku.

Siapa yang datang? pikirku, karena kedua sahabatku sudah tidak lagi di sini. Mereka sudah kembali ke tempat asalnya.

Aku perlahan-lahan memutar arah langkahku, lalu aku berjalan keluar. Aku merasa ada sesuatu yang tidak enak di hati ini. Sebuah firasat buruk dari dalam hatiku terdalam.

Suara ketukan itu semakin mengeras, apalagi di kesunyian malam yang membuat hatiku takut sekali. Mungkinkah, itu makhluk astral, pikirku.

Langkah kedua kakiku sudah sampai di depan pintu utama kontrakan. Tanganku berusaha meraih gangang pintu kontrakan.

Astaga apa aku akan bertemu makhluk secara kasat mata, pikirku tidak karuan. Sungguh aku merasakan tidak enak hati. Apalagi hari ini sudah lewat tengah malam.

*

Syahid menatap foto masa kecilnya. Ia merasa merindukan sebuah keluarga. Ia harus menerima kenyataan, bahwa dia adalah anak pungut.

"Kenyataan memang terkadang lebih menyakitkan. Aku anak siapa sebenarnya?" gumam Syahid.

Wanita yang dianggapnya sebagai seorang ibu kenyataannya dia bukanlah ibu kandungnya. Syahid merasa kalau dirinya memang sebatang kara.

Syahid duduk di ujung sudut kamarnya, dirinya merasakan kalau hatinya benar-benar rindu sosok ibu.

"Menatap rembulan di kala malam dalam kesunyian yang tiada habisnya. Rindu bagaikan siang yang mengharapkan malam. Dan, malam yang mengharapkan siang. Di mana pun ibuku berada, semoga suatu saat nanti kita akan bertemu dalam waktu yang sudah Allah tuliskan ke dalam skenario kehidupan."

Aroma malam yang kini semakin sunyi. Hanya ada hembusan angin yang silir berganti. Suara hewan-hewan malam. Hingga malam tak berbintang, sungguh kesunyian menyelimuti sebuah malam.

Masa-masa di mana hanya ada sebuah kenangan akan keindahan selalu Syahid ingat. Meskipun, wanita itu bukan ibunya. Melainkan, ibu angkatnya.

Syahid termenung, ia membayangkan bagaimana rasanya memiliki seorang ibu dan keluarga yang utuh. Tapi, itu hanya sebatas angan dan impiannya selama ini.

Pria itu, memang dibesarkan dengan seorang wanita yang mendadak menghilang bagaikan hembusan angin. Hingga membawa kabar tentang kenyataan. Ikhlas adalah cara yang dilakukan Syahid.

"Mungkin ini ujian Allah semata untuk menguatkanku, agar memiliki pondasi kehidupan yang cukup kuat. Sehingga aku akan tetap terlatih dalam semua rasa."

Pukul 01.00 sudah lewat tengah malam, Syahid segera pergi tidur. Namun, sebelumnya ia akan ke kamar mandi untuk bersih-bersih dan berwudhu sebelum tidur.

"Hoam!" Syahid mulai menguap, lalu ia mematikan lampu kamarnya, ia pun mencopot kaca matanya. Lalu, ia perlahan-lahan memejamkan kedua matanya.

Suara angin kini menyapa, ucapan selamat tidur sudah tidak pernah ada untuk Syahid. Kini ia berusaha memejamkan kedua matanya yang sudah lelah, karena esok ia harus kembali ke rumah sakit untuk tugas.

DRRRTTT DRRRTTT DRRRTTT.

Ponsel Syahid bergetar di atas meja, lalu ia pun meraih sambil kedua matanya masih terpejam. Lalu, ia mengeser ke papan penjawab ponselnya.

"Mas, Tolong saya," suara terdengar di ujung gas suara.

"Heemm, siapa ini?" tanya Syahid yang sudah hampir saja masuk ke alam mimpi.

"Lara."

"Lara?" ulang Syahid, lalu menatap jam pukul 01.15 malam.

"Iya, please tolongin aku mas." Suara Lara terlihat begitu panik.

"Kamu kenapa Lara?" tanya Syahid.

"Kamu datang ke kontrakanku, karena..." sambungan telepon mendadak terputus, lalu Syahid mencoba menelpon kembali, tapi tidak tersambung.

Syahid pun langsung beranjak dari ranjangnya, ia pun langsung berjalan menuju ke kamar mandi untuk membersihkan mukanya. Ia pun mengambil kunci motornya.

"Apa yang terjadi dengan wanita itu?" pikir Syahid, setelah itu menyalakan mesin motornya dan segera menuju ke kontrakan Lara.

*

Pov Lara.

Bagaimana ini?

Kenapa dia harus datang semalam ini dengan kondisi mabuk berat?

Astaga, Haslan. Kenapa kamu merepotkan hidupku? Apa kamu nggak bisa pergi dari hidupku? pikirku, setelah membawanya masuk dan membaringkannya ke sofa. Sungguh, aku tidak tahu kenapa pria ini masih saja muncul kayak jailangkung.

"Lara, ku mohon jangan pergi. Aku cinta sama kamu," gumamnya yang berada di atas sofa berulang kali.

Aduh, Haslan. Aku sudah menutup kisah kita. Kenapa masih saja kamu nekat muncul dan muncul?! gerutuku dalam hati, sungguh pria ini nggak punya otak sama sekali untuk datang kepadaku. Dia nggak punya urat malu sekalipun, padahal aku sudah mengusirnya dalam hidupku.

TOK TOK TOK.

Suara ketukan pintu dari luar kontrakan.

Pasti itu mas Syahid, pikirku menebak di balik pintu kontrakan.

Langkah kakiku terhenti, setelah Haslan menarik tanganku hingga aku menindihnya.

"Apa-apan kamu Haslan! Lepasin aku!" teriakku, lalu mendorongnya sekuat tenaga hingga aku bisa terlepas dari pelukannya.

Aku pun berusaha bangkit, lalu aku melangkah seribu. Ku buka pintu kontrakan, lalu aku melihat seseorang yang ku tunggu.

"Lara kamu kenapa?" tanya dia yang terlihat panik sambil menatap kedua manik mataku.

"Aku minta tolong bawa pria di sofa itu ke penginapan mana aja, karena dia datang tanpa permisi."

"Kok bisa?" tanya Syahid.

"Dia mabuk, terus aku nggak tega biarin dia di luar, karena nggak enak juga dengan tetangga lain."

"Oh."

"Ku mohon, karena aku nggak mungkin semalam ini sendirian membawanya ke hotel," ucapku dengan nada lirih.

"Baiklah, aku akan membantumu."

"Terima kasih ya," ujarku.

"Sama-sama, Ra. Lagian juga kalau cowok dan cewek satu atap tanpa ikatan yang ada fitnah."

"Ehem, aku berpikir seperti itu. Maka, dari itu aku meminta tolong sama kamu."

"Iya, Ra."

Syahid pun membantu Lara membawa Haslan ke sebuah hotel dengan naik mobil.

"Sial banget ya, semalam gini dia datang ke rumahku dengan mabuk pula!" cetusku yang duduk di samping kemudi.

Syahid tetap fokus ke jalanan menuju ke sebuah hotel bintang tiga untuk Haslan.

"Aku nggak tahu kalau Haslan nekat banget!" omelku sepanjang perjalanan.

"Sabar, Ra."

"Sabar mulu. Lama-lama aku subur!"

"Mungkin dia masih cinta sama kamu."

"Tapi, aku enggak, Mas. Dia terlalu menyakitkan tuk dikenang!"

"Ra, kamu nggak boleh namanya membalas keburukan dengan keburukan, karena itu nggak baik."

"Aku sebal dengan dia! Dia itu penipu cinta!"

Mobil terhenti di sebuah hotel bintang tiga, lalu dia pun memarkirkan di depannya sebentar.

"Terus kita pulangnya bagaimana?" tanyaku.

"Astaga, aku nggak mikir itu!" seru Syahid. "Aku akan menelpon sahabatku untuk menjemput kita."

"Baiklah."

*

Pov Lara.

Hatiku terasa sangat aneh sekali, setelah bertemu dengan dia. Ada sebuah rasa yang tidak bisa ku kendalikan. Mungkinkah, aku jatuh cinta kembali, setelah sekian lama?

Dia pria yang sangat menarik, bahkan aku baru pertama kali menemui pria semenarik Syahid. Apa aku mulai mengagumi dia? pikir Lara dalam hati kecilnya sambil menatap seberkas cahaya dari sinar rembulan di langit.

Sungguh dia bagaikan rembulan di malam hari. Membuatku terus terbayangkan akan keindahannya.

TOK TOK TOK

Sebuah ketukan pintu dari luar kontrakan membuatku terbangun atas lamunanku.

Siapa yang datang? pikirku, karena kedua sahabatku sudah tidak lagi di sini. Mereka sudah kembali ke tempat asalnya.

Aku perlahan-lahan memutar arah langkahku, lalu aku berjalan keluar. Aku merasa ada sesuatu yang tidak enak di hatiku. Sebuah firasat buruk dari dalam hatiku.

Suara ketukan itu semakin mengeras, apalagi di kesunyian malam yang membuat hatiku takut sekali. Mungkinkah, itu makhluk astral, pikirku.

Langkah kedua kakiku sudah sampai di depan pintu utama kontrakan. Tanganku berusaha meraih gangang pintu kontrakan.

Astaga apa aku akan bertemu makhluk secara kasat mata, pikirku tidak karuan. Sungguh aku merasakan tidak enak hati. Apalagi hari ini sudah lewat tengah malam.

Aku berusaha untuk mengontrol pernafasan Ku. Dan Aku berusaha untuk melawan rasa takut ku."Bismillah. "

*

Syahid menatap foto masa kecilnya. Ia merasa merindukan sebuah keluarga. Ia harus menerima kenyataan, bahwa ia adalah anak pungut.

"Kenyataan memang terkadang lebih menyakitkan. Aku anak siapa sebenarnya?" Saya benar-benar merasa terpuruk atas semua yang terjadi dalam kehidupannya. Ia tidak menyangka kalau dirinya bukanlah putra dari wanita itu. Dia merasakan kalau hatinya benar-benar tidak bisa memungkiri kalau dia benar-benar menganggap wanita itu sebagai ibunya.

" kenapa Mamah tidak pernah menceritakan tentang semuanya saat itu? Kenapa baru sekarang mama menceritakan bahwa aku bukan anak mama? " Syahid hanya mampu menelan salivanya sendiri karena dia tidak tahu Harus Berbuat Apalagi. Dia bahkan tidak akan pernah mampu untuk bisa melupakan wanita itu yang telah dianggapnya sebagai ibu.

Syahid duduk di ujung sudut kamarnya, dirinya merasakan kalau hatinya benar-benar merindukan sosok seorang ibu dalam kehidupannya."Di manapun ibu berada Syahid berharap Ibu baik-baik saja di sana. Karena Syahid sangat menyayangimu lebih dari apapun. "

"Menatap rembulan di kala malam dalam kesunyian yang tiada habisnya. Rindu bagaikan siang yang mengharapkan malam. Dan, malam yang mengharapkan siang. Di mana pun ibuku berada, semoga suatu saat nanti kita akan bertemu dalam waktu yang sudah Allah tuliskan ke dalam skenario kehidupan," Syahid berusaha untuk menenangkan dirinya bahkan berharap kalau ibunya akan segera kembali. Dia sangat merindukan pelukan seorang ibu.Bahkan dia ingin sekali untuk bersandar sedikit bercerita tentang sebuah kehidupan yang cukup pelik.

Semenjak ibunya pergi dan dia dititipkan di sebuah Panti Asuhan. Dia berusaha untuk bersikap positif thinking tentang ibunya. Dia tidak pernah negatif thinking terhadap ibunya karena dia benar-benar ingin ibunya kembali. Namun sebuah kenyataan memang terlalu sulit dan terlalu rumit bahkan begitu pahit. Air mata Syahid yang terjatuh seketika. Dia tidak menyangka kalau mereka benar-benar bukan ibunya.

Perasaan itu seperti tersayat pisau hingga perihnya benar-benar terasa namun tak terlihat sayatan itu bahkan tak berdarah sekalipun. Rasanya seperti mati suri tapi dia harus tetap bangkit dengan kedua kakinya dan membuktikan kalau dia bisa untuk menghadapi kenyataan hidup yang begitu sulit dan rumit.

Aroma malam yang kini semakin sunyi. Hanya ada embusan angin yang silir berganti. Suara hewan-hewan malam. Hingga malam tak berbintang, sungguh kesunyian menyelimuti malam ini.

Ada sebuah masa yang mengingatkan dia akan Sebuah Kenangan Terindah bersama dengan ibunya. Tapi wanita itu benar-benar bukan ibunya hanya saja menolongnya atas dasar kemanusiaan saat itu. Dia benar-benar tidak bisa membayangkan Di mana ibunya berada. Bahkan dia selalu bertanya-tanya apa salahnya dia terlahir di dunia ini.

Syahid termenung, ia membayangkan bagaimana rasanya memiliki seorang ibu dan keluarga yang utuh. Tapi, itu hanya sebatas angan dan impiannya selama ini.

Pria itu, memang dibesarkan dengan seorang wanita yang mendadak menghilang bagaikan embusan angin. Hingga membawa kabar tentang kenyataan. Sabar dan ikhlas adalah cara yang terbaik untuk menghadapi sebuah kenyataan kehidupan.

"Mungkin ini ujian Allah semata untuk menguatkanku, agar memiliki pondasi kehidupan yang cukup kuat. Sehingga aku akan tetap terlatih dalam semua rasa." Kata Syahid sambil menatap jam di dinding yang menunjukkan sudah pukul 01.00 sudah lewat tengah malam. Namun dia benar-benar tidak bisa pergi tidur sama sekali. Akhirnya dia memutuskan untuk menuju ke kamar mandi berwudhu. Dia langsung menjalankan salat tahajud untuk menenangkan hatinya yang kini dalam sebuah keresahan kehidupan.

"Hoam!" Syahid mulai menguap, lalu ia mematikan lampu kamarnya, ia pun mencopot kaca matanya. Lalu, ia perlahan-lahan memejamkan kedua matanya.

Suara angin kini menyapa, ucapan selamat tidur sudah tidak pernah ada untuk Syahid. Kini ia berusaha memejamkan kedua matanya yang sudah lelah, karena esok ia harus kembali ke rumah sakit untuk tugas.

DRRRTTT DRRRTTT DRRRTTT.

Ponsel Syahid bergetar di atas meja, lalu ia pun meraih sambil kedua matanya masih terpejam. Lalu, ia mengeser ke papan penjawab ponselnya.

"Mas, Tolong saya," suara terdengar di ujung gas suara.

"Heemm, siapa ini?" tanya Syahid yang sudah hampir saja masuk ke alam mimpi.

"Lara."

"Lara?" ulang Syahid, lalu menatap jam pukul 01.15 malam.

"Iya, ku mohon tolongin aku, Mas." Suara Lara terlihat begitu panik.

"Kamu kenapa Lara?" tanya Syahid yang baru saja ingin tidur. Dia langsung terbangun kembali karena mendengar nada Lara begitu memperihatinkan sekali.

"Kamu datang ke kontrakanku, karena..." sambungan telepon mendadak terputus, lalu Syahid mencoba menelpon kembali, tapi tidak tersambung.

Syahid  langsung beranjak dari ranjangnya, ia  langsung berjalan menuju ke kamar mandi untuk membersihkan mukanya. Ia langsung mengambil kunci motornya.

"Apa yang terjadi dengan wanita itu?" pikir Syahid, setelah itu menyalakan mesin motornya dan segera menuju ke kontrakan Lara.

*

Pov Lara.

Bagaimana ini?

Kenapa dia harus datang semalam ini dengan kondisi mabuk berat? Lara hanya bisa mengalahkan nafas perlahan-lahan Bahkan dia tidak tahu harus berbuat apa lagi. Dia melihat haslan datang di waktu tengah malam. Sebenarnya dia ingin membiarkan lelaki itu tetap berada diluar tapi tidak mungkin di luar hujan deras bahkan cuaca begitu dingin sekali namun dia tidak ingin kalau menjadi fitnah para tetangga.

Astaga, Haslan. Kenapa kamu merepotkan hidupku? Apa kamu nggak bisa pergi dari hidupku? pikirku, setelah membawanya masuk dan membaringkannya ke sofa. Sungguh, aku tidak tahu kenapa pria ini masih saja muncul kayak jailangkung.

"Lara, ku mohon jangan pergi. Aku cinta sama kamu," gumamnya yang berada di atas sofa berulang kali.

Aduh, Haslan. Aku sudah menutup kisah kita. Kenapa masih saja kamu nekat muncul dan muncul?! gerutuku dalam hati, sungguh pria ini nggak punya otak sama sekali untuk datang kepadaku. Dia nggak punya urat malu sekalipun, padahal aku sudah mengusirnya dalam hidupku.

TOK TOK TOK.

Suara ketukan pintu dari luar kontrakan.

Pasti itu mas Syahid, pikirku menebak di balik pintu kontrakan.

Langkah kakiku terhenti, setelah Haslan menarik tanganku hingga aku menindihnya.

"Apa-apan kamu Haslan! Lepasin aku!" teriakku, lalu mendorongnya sekuat tenaga hingga aku bisa terlepas dari pelukannya.

Aku pun berusaha bangkit, lalu aku melangkah seribu. Ku buka pintu kontrakan, lalu aku melihat seseorang yang ku tunggu.

"Lara kamu kenapa?" tanya dia yang terlihat panik sambil menatap kedua manik mataku.

"Aku minta tolong bawa pria di sofa itu ke penginapan mana aja, karena dia datang tanpa permisi."

"Kok bisa?" tanya Syahid.

"Dia mabuk, terus aku nggak tega biarin dia di luar, karena nggak enak juga dengan tetangga lain."

"Oh."

"Maafkan aku karena sudah merepotkan kamu. Aku nggak mungkin membawa dia sendirian ke sebuah hotel. Karena sekarang benar-benar terlalu malam. Maka dari itu aku meminta kamu untuk menolong ku," kataku.

"Baiklah, aku akan membantumu," balas Syahid.

"Terima kasih ya," ujarku.

"Sama-sama, Ra. Lagian juga kalau cowok dan cewek satu atap tanpa ikatan yang ada fitnah," ujar Syahid.

"Ehem, aku berpikir seperti itu. Maka, dari itu aku meminta tolong sama kamu," balasku.

"Iya, Ra."

Syahid hanya membantu Lara membawa Haslan ke sebuah hotel dengan naik mobil.

"Sial banget ya, semalam gini dia datang ke rumahku dengan keadaan mabuk pula!" cetusku yang duduk di samping kemudi.

Syahid tetap fokus ke jalanan menuju ke sebuah hotel bintang tiga untuk Haslan.

"Aku nggak tahu kalau Haslan nekat banget!" omelku sepanjang perjalanan.

"Sabar, Ra."

"Sabar mulu. Lama-lama aku subur!"

"Mungkin dia masih cinta sama kamu."

"Tapi, aku enggak, Mas. Dia terlalu menyakitkan tuk dikenang!"

"Ra, kamu nggak boleh namanya membalas keburukan dengan keburukan, karena itu nggak baik."

"Aku sebal dengan dia! Dia itu penipu cinta!"

Mobil terhenti di sebuah hotel bintang tiga, lalu dia pun memarkirkan di depannya sebentar.

"Terus kita pulangnya bagaimana?" tanyaku.

"Astaga, aku nggak mikir itu!" seru Syahid. "Aku akan menelpon sahabatku untuk menjemput kita."

"Baiklah."

*