Chereads / Aroma Surga / Chapter 13 - Batas Cinta dan Benci

Chapter 13 - Batas Cinta dan Benci

Pov Syahid.

"Ya Allah aku tidak pantas mengharapkan dia adalah ibuku? Kenapa sebuah kebiasaan harus sepahit itu?" Tanya hati kecilku.

Aku mulai bertanya dalam hati kecilku. Ketika dia benar-benar bukanlah ibuku yang sebenarnya. Bahkan aku selalu bertanya-tanya dimana Ibu kandungku yang sebenarnya?

Selama beberapa tahun aku hidup tanpa kasih sayang kedua orang tuaku. Aku harus berusaha untuk menggapai sebuah impianku. Aku selalu berjuang dalam kehidupanku.

Mungkin sebagian orang melihat Kau begitu sempurna. Karena aku bisa meraih impian ku mendapatkan gelar sebagai dokter muda. Padahal kehidupanku tidak berjalan begitu mulus. Bahkan aku harus hidup sebatang kara. Sungguh aku hanya ingin suatu hari nanti bisa berkumpul dengan keluarga ku yang sesungguhnya.

Kemarin aku melihat sosok anak kecil yang selalu mendapatkan sebuah kasih sayang dari kedua orang tuanya. Kadang aku berharap ada sebuah kesempatan untuk bertemu dengan mereka. Walaupun hanya sebatas harapan yang begitu tipis sekali.

Hari ini memang senja sedang cantik-cantiknya namun tidak dengan hatiku yang penuh luka. Aku hanya mampu termenung mengingat sebuah masa lalu tentang bagaimana dia berperan sebagai ibuku. Tapi ternyata dia adalah seseorang  yang menolongku atas dasar sebuah kemanusiaan.

Kemudian kedua kelopak mataku pun mulai terpejamkan perlahan-lahan.

"Ibu, mau ke mana? " akupun berusaha untuk mencegah Ibuku agar tidak pergi Namun kenyataanya dia malah pergi masuk ke Sebuah mobil mewah. Lalu meninggalkan aku sendirian di sebuah rumah kontrakan. Saat itu aku selalu menunggu Ibuku untuk pulang.

Aku merasa sangat lapar sekali saat itu makan aku mau makan apapun. Kemudian aku pun merasa harus mencari ibuku.

Air mataku pun mulai terjatuh. Kemudian aku pun berhenti disebuah panti asuhan. Seseorang wanita paruh baya itu pun langsung membawa aku ke dalam Panti Asuhan.

" kamu kenapa, Nak?" wanita itu pun bertanya kepadaku.

" Aku mencari ibuku."jawabku dengan polos sambil terisak tangis dalam pelukan wanita itu.

Saat itu usiaku masih menginjak 10 tahun. Bahkan aku memutuskan untuk lebih baik tinggal bersama di sebuah Panti Asuhan itu. Mereka menjaga dan merawat ku bahkan memberikan aku sebuah pendidikan yang cukup hingga aku berhasil mendapatkan beasiswa di fakultas kedokteran, Universitas Airlangga Surabaya.

Seluruh penghuni Panti Asuhan itu pun bahagia menyaksikan keberhasilanku.

" Selamat ya!"

Aku ingin membuktikan kepada dunia kalau aku masih bisa berdiri dengan kedua kaki ku. Bahkan aku yakin suatu saat nanti bisa bertemu dengan ibuku.

Ketika mengingat masa lalu itu aku merasa merindukan panti asuhan dan seisi penghuninya yang selalu ada untukku. "Aku sungguh merindukan mereka semua. " aku menggumam dalam hati kecilku. Karena aku merindukan tempat di mana aku bertumbuh dewasa hingga menjadi seseorang yang berarti.

Aku terlihat sangat kokoh, namun hatiku tidak cukup kuat. Berpura-pura dengan mengukir senyuman, tapi aku hanyalah pria biasa yang punya hati. Air mataku tidak dapat ku keluarkan, mungkin sudah mengering. Hidup seperti kaktus harus siap dalam kondisi segersang apapun itu.

Berjuang dengan satu kaki tumpuan hidup. Mungkin, hidupku akan ku abdikan untuk mereka yang membutuhkan. Sungguh, aku hanya ingin berguna demi orang lain yang berjuang demi harapan kehidupan. Napasku tersengal-sengal, ketika tidak kuasa mengingat kejadian itu.

"Aku bukan ibu kandungmu, aku hanya memungutmu di dekat pinggir jalanan." Aku juga masih mengingat sebuah kalimat yang telah diucapkan oleh wanita itu yang ku anggap sebagai ibu kandungku. Rasanya aku tidak percaya kalau aku benar-benar bukan anak kandungnya. Tapi aku tetap bersyukur karena dia juga menolongku dan merawatku semenjak bahagia hingga usiaku 10 tahun.

Aku menarik nafas ku perlahan-lahan lalu menghembuskannya perlahan-lahan. Kemudian aku menikmati senja sore bersama dengan luka di masa laluku. Aku duduk di sebuah teras tempat kosan.

Secangkir kopi di meja mulai aku ambil lalu aku menyesapnya perlahan-lahan hingga Tertinggal ampasnya saja. Seperti halnya dia yang hanya mampu menjadi sebuah kenangan namun aku tidak akan pernah mungkin melupakan sebuah kebaikan yang telah dia berikan kepadaku saat ini. Mungkin sudah takdirnya kalau aku harus hidup sebatang kara.

Semua begitu pekat untuk dikenang. Dalam secangkir kopi hitam robusta ditemani senja sore.

Rasanya begitu pahit dengan berbalut, kepahitan kehidupan yang telah ku alami selama ini. Tiada yang lebih indah dari senja diiringi duka. Aroma kehidupan terlalu pekat.

Sejenak lamunanku beradu dalam senja yang mulai meredup. Senyuman itu tidak lagi ada, karena yang tersisa hanya puing-puing luka dan kenangan bersama wanita yang dulu ku sangka ibuku.

"Siapapun kamu, di manapun kamu berada, aku hanya berharap semoga saja kau baik-baik saja. Terima kasih kau telah memberikan waktu dan kasih sayangmu kepada diriku walaupun Hanya Sekejap bukan selamanya."

*

Pov Lara.

Seberkas kenangan begitu pahit, bagaimana rasanya terusir dari rumah sendiri. Hidup luntang-lantung. Bahkan, pria yang ku cinta telah menghianatiku dengan bercumbu mesra di hadapanku. Rasanya sangat sakit sekali. Air mataku terjatuh tiap tetesnya.

"Apa salahku? Kenapa aku harus melalui jalan penuh tanjakan yang berliku-liku? Napasku tersengal-sengal bila menatap getirnya kehidupanku," gumamku menatap senja yang sedia kala dibatas redupnya menuju petang.

Langkah kakiku melewati gang-gang sempit. Sungguh pilu hidupku sebatang kara tanpa sanak saudara, maupun ayah dan ibu. Kekasihku pun tak punya.

"Kau itu tidak lebih dari kaum rakyat jelatah, mana mungkin kau pantas bersanding dengan tuan CEO ku," tawa Kara kala itu sedikit mengejek. Ya, aku hanyalah Lara Sarasvati seorang barista di kedai kopi kecil.

Menyesal? Tidak, karena aku yakin Allah punya alasan menciptakanku dalam sebuah kehidupan penuh luka.

Keyakinanku, mulai tumbuh saat aku memutuskan berhijrah menuju lebih istiqomah. Langkahku dengan berhijab.

*

"Bagaimana? Apa kelinci bodoh itu sudah mati kelaparan?"

"Sayang, dia pasti sudah mati membusuk di jalanan, bagaimana tidak kita mengusirnya tanpa sepeser uang sama sekali?!"

"Dia masih hidup, Ma, Pa."

"Masih hidup?" ulang wanita itu yang hampir tersendak minumannya dalam satu sloki vodka.

"Iya, ini buktinya," perempuan bertubuh ramping dengan memakai dress super mini berwarna merah merekah menunjukkan foto Lara yang sedang bekerja di Kedai Kopi.

"Sial!" decak kesal wanita itu, ia berharap kalau Lara sudah membusuk mati kelaparan di Jalanan seusai mereka usir paksa.

"Sayang, pelan-pelan minumnya," ucap pria dengan baju hodie, ia menatap wanita yang berstatus istrinya tidak terima kabar dari putrinya.

Pria itu merebut sebotol vodka dari genggam tangan wanita berambut blonde sedikit bergelombang, karena ia tahu kalau wanita itu mudah mabuk, dia bukan ahli minum-minuman sekelas vodka dengan kadar alkohol begitu tinggi.

"Udah, sayang."

Wanita itu tetap meneguk sebotol vodka hingga hilang kesadarannya. Otaknya mulai koleng, dia berbicara makin tidak jelas.

"Seharusnya dia mati!" tawa keringnya dalam ketidak sadaran hingga tubuhnya oleng seketika.

*

Pov Haslan.

Bar adalah tempat pelampiasan bagiku. Sungguh, aku merasa hanya butuh alkohol malam ini. Penolakan dari perempuan itu membuatku begitu tersayat-sayat.

Lara aku mencintaimu! teriakku yang mulai kehilangan kesadaran, ketika tiga botol vodka telah ku teguk hingga tetes terakhir.

Tubuhku terasa sangat panas sekali, ingin rasanya aku melampiaskan dengan perempuan cantik di sampingku yang sengaja aku sewa dan bayar. Dia mulai mencumbuku, dan aku menikmatinya.

"Apa kita akan meneruskan di hotel?" bisiknya sambil mencium di leher spot favorit yang membuatku bergairah. Dibandingkan dengan wanita yang ku nikahi di atas satu kertas tidak berguna.

"Tuan CEO, kita akan menginap di Hotel mana?"

"Kita akan menginap di Star Hotel," balasku dengan tersenyum setengah tidak sadar. Sungguh, aku ingin lepaskan malam ini di atas ranjang dengan wanita bayaran ini yang pasti dia bersih.

Aku Haslan yang selalu melakukan one stand night dengan tidak sembarang wanita. Dia mulai meraba area bawahku sungguh ingin rasanya mengerang di bawahnya setelah itu.

"Biar aku yang bawa mobilnya, Tuan Ceo."

Aku hanya mengangguk untuk menyetujuinya, lalu dia yang mengambil ahli mengendarai mobil mewahku.

Sungguh tubuh wanita itu membuatku ingin segera bermain-main dalam malam panas itu.

*

"Hid, kamu sedang apa? Tumben nggak keluar ngopi?"

Syahid hanya tersenyum.

"Ceilah, kamu malah senyam-senyum, kamu lagi kasmaran ya?"

"Kasmaran?" ulang Syahid.

"Iya, apa kamu sedang memikirkan seorang gadis?"

"Enggak, Nya. Aku lagi mikirin besok."

"Yakin? Mikir besok?"

Syahid hanya melebarkan senyuman di bibirnya, ia menatap Anya dengan tatapan yang membuat perempuan itu hanya diam dan saling menatap satu sama lain.

"Gila tatapan mata Syahid bikin leleh," Anya membatin, ia merasa dag dig dug. Bibirnya mulai bergetar seketika. Jiwanya mulai terasa melayang. Tatapan kedua bola matanya penuh dengan magnet. "Mungkinkah, aku benar-benar terpesona terhadap dia?"

Anya menghela napas, ia seakan hanya bisa diam dalam tatapan mata yang membuat semestanya berhenti dalam satu titik.

Hembusan napas, aroma mint begitu pekat. Anya mulai tersenyum, karena melihat teduhnya wajah pria di hadapannya.

"Mungkinkah, kau merasakan rasa yang sama? Atau hanya aku saja yang merasakannya? Apakah kita hanya sebatas teman saja?" pikir Anya menatap bintang senja. "Siapa lagi kalau bukan dia yang selalu menyita pikiranku? Atau hanya aku yang banyak berharap?"

*