Chereads / CATATAN KELAM / Chapter 7 - Part 7. Buku Harian Sandra

Chapter 7 - Part 7. Buku Harian Sandra

Adel masih mematung. Diandra berusaha meraih tangannya, namun ia sendiri tak mampu bergerak. Lututnya lemas, dadanya bergemuruh. Pelan, tangannya membuka tutup botol yang ada dalam jangkauan, menenggak air dingin membuat tenaga kembali terkumpul.

Ia melesat ke arah Adel, memeluk tubuh bocah yang dari tadi bergeming.

"Del ... sadar!" tepuknya pelan.

Adel mengerjap, matanya berembun. Ia memeluk Diandra erat.

"Jangan takut," bisik Diandra, lebih ke dirinya sendiri. "Mau jalan-jalan keluar?"

Adel mengangguk. Meski ragu, tapi sepertinya di tengah keramaian bisa meredam suasana mencekam. Ia enggan, ditatap hantu itu terus-terusan. Mulutnya yang biru seolah bisu, tidak mengatakan apapun. Kecuali permintaan tolong waktu itu.

Diandra segera mengambil dua jaket dan tak lupa dompet. Ditariknya tangan Adel yang dingin. Mereka keluar rumah tanpa mematikan lampu.

Tempat paling ramai, hanya di alun-alun. Selain penjual makanan, ada pasar malam yang hanya diadakan tiap malam Rabu. Adel menunjuk tukang serabi, Diandra pun menepikan motornya di sebelah kanan penjual tersebut.

"Aman, kan?" bisik Diandra. Adel mengangguk. Tidak ada apapun di sekitar penjual serabi itu yang mencurigakan, seperti halnya penjual wedang ronde malam itu.

"Mau minum apa?"

Adel celingak-celinguk. Ia melihat es dawet hitam di seberang jalan.

"Itu ...," tunjuknya. Diandra berpaling. Yah, kalau itu bisa melupakan kejadian tadi, ia akan turuti.

"Ya sudah, tunggu di sini. Jangan kemana-mana," pesan Diandra.

Adel mengalihkan perhatian ke penjual serabi. Aromanya yang gurih membuat perutnya yang baru terisi mi kuah mendadak kosong. Ia tak sabar menunggu pesanannya.

Tiba-tiba perhatiannya tertuju ke penjual bakso. Bukan, bukan baksonya. Melainkan seorang pembeli yang terasa familiar. Sandra?

"Mbak Sandra!" panggil Adel sambil melambai. Gadis yang merasa dirinya dipanggil menoleh. Ia tampak terkejut melihat keberadaan Adel. Bergegas ia mengenakan hoodienya dan meraih sepeda di dekat gerobak bakso. Penjual bakso heran dan berteriak, pesanannya belum jadi.

"Siapa, Del?" tegur Diandra. Adel menunjuk sosok bersepeda yang mulai lenyap di antara lalu lalang kendaraan.

"Mbak Sandra. Adel yakin itu dia. Tapi kenapa malah pergi pas Adel panggil, ya?"

"Salah orang kali ...."

Adel menggeleng. Ia begitu yakin kalau tadi itu Sandra. Tapi kenapa malah menghindar?

"Ya sudah. Tuh, udah jadi serabinya. Makan di sana aja, nggak banyak orang," tunjuk Diandra. Adel mengekor di belakangnya setelah menerima dua porsi kudapan bersaus gula merah itu.

"Tadi lihat Sandra di mana?" Diandra menggigit serabi pandan miliknya.

"Di sana, di penjual bakso itu. Aneh, kenapa dia menghindar, ya?"

Diandra tak menjawab. Ia sibuk memainkan ponselnya dengan wajah serius.

"Tante ...!"

"Hmm ...."

"Punya pacar, ya?" selidik Adel curiga. Diandra melotot.

"Bukan. Ini, Rio teman tante chat. Katanya tadi lihat buku kecil jatuh, terus diselipin ke dalam tas tante di loker. Katanya ia buru-buru, cuma baca huruf "dra" terakhir. Makanya ia pikir itu punya tante."

Adel mengangguk. Benar juga, nama "Sandra" dan "Diandra" hampir mirip. Pantas saja kalau Rio menyangka buku itu milik Diandra.

"Jadi, sekarang gimana?" gumam Adel.

Diandra meraba kantong jaketnya. Buku itu masih ada di sana. Walau buru-buru, tadi ia sempat menyelipkannya di kantong.

"Kita coba buka untuk memastikan bahwa itu benar milik Sandra dan kenapa bisa ada di tangan Sekar," usul Diandra. Adel setuju, walau ia pun merasa cara itu tidak etis.

Diandra menoleh sebentar, memastikan tidak ada orang yang memperhatikan. Ia pun merapat ke Adel, mulai membuka halaman pertama dengan dada bergetar.

**

Januari, 2016.

Entah kenapa orang dewasa selalu mementingkan ego masing-masing. Apa kami ini hanya penonton yang tidak boleh melakukan apapun atas drama mereka?

Februari, 2016.

Pada akhirnya, kami hanyalah marmut kecil yang kehilangan induknya. Kami lahir tanpa mengenal apa itu Ayah, dan kasih sayangnya yang konon sehangat sayap elang.

Maret, 2016.

Ibu menarik koper itu dengan berat hati. Katanya nanti saat kembali, koper itu akan terisi banyak uang untuk kami.

April, 2016.

Ibu menelepon lewat ponsel kuno milikku. Katanya ia sudah mendapatkan pekerjaan, mungkin lama tak akan ada kabar. Tapi ia janji akan mengirimiku uang.

Mei, 2016.

Kami mulai kelaparan. Seragam sekolahku berlubang. Adikku selalu ingusan. Aku capek.

Juni, 2016.

Ada Bapak pengendara motor oren datang. Memberiku amplop, katanya dari Ibu. Wah, ternyata uang.

Juli, 2016.

Entah bagaimana, tiap tanggal yang sama Bapak itu datang dengan senyum hangat. Memberiku amplop berisi uang yang makin hari bertambah nominalnya.

Agustus, 2016.

Aku tidak kekurangan uang. Sandria makan dengan baik, tubuhnya gemuk, pipinya tembam. Aku makin sayang.

September, 2016.

Hari-hariku berputar begini saja. Mungkin akan lama kutulis kembali kisah yang menarik. (Gambar lilin dan kue tart. Sepertinya Sandra berulang tahun)

Diandra menarik nafas panjang. Ia melirik Adel, meyakinkan anak itu ikut membaca semua tanpa tertinggal.

Ia pun membuka halaman berikutnya. Sudah beda tahun ternyata.

Juli, 2017.

Ibu bilang aku harus melanjutkan SMA. Tapi aku bingung mau di mana.

Agustus, 2017.

Aku menemukan sekolahan yang cukup bagus. Hanya saja aku tidak begitu suka mereka.

Desember, 2017.

Aku bertahan karena tak ingin uang ibu sia-sia.

Februari, 2018.

Sandria mulai rewel. Dia tidak mau makan, badannya menyusut. Aku harus bagaimana?

April, 2018.

Sandria menangis setiap malam. Aku tidak bisa konsen belajar.

Mei, 2018.

Aku menemukan komik bagus di perpustakaan. Sedikit seram sih, tapi seru.

Juni, 2018.

Aku kangen Ibu. Apa yang harus kulakukan agar Ibu mau pulang?

Juli, 2018.

Sandria menangis sepanjang malam. Aku capek, kesal. Tapi beberapa jam kemudian ia terlelap. Selamat tidur, adikku sayang. Kita tunggu Ibu pulang, ya.

Agustus, 2018.

Ibu pulang hanya sebulan. Ia tidak memelukku, seperti yang kuharapkan. Hanya Sandria yang ia tangisi. Ya, pusara Sandria.

September, 2018.

Aku sedih. Rumah ini terlalu sunyi tanpa tawa Sandria. Tanpa teriakan Ibu saat aku menggoda Sandria. Dan hari ini, aku kembali mengulang hari lahir dalam ruang kosong.

Oktober, 2018.

Aku anak Ibu bukan, sih?

Adel merapatkan tubuh ke Diandra. Mereka saling pandang. Mata Adel berkeliling sekitar, ia merasa ada yang memperhatikan.

"Masih ada beberapa halaman terakhir," bisik Diandra. Adel menggeleng. Ia merasa dadanya sesak. Sandria, gadis cilik itu bukan bunuh diri.

**

Mereka pulang sekitar jam 9an. Jalan menuju komplek belum terlalu sepi, masih ada beberapa orang yang pulang kerja. Adel mengajak Diandra mampir sebentar ke pos satpam.

"Mau ngapain?"

Adel tidak menjawab. Bocah itu turun dari motor langsung menuju dua orang satpam yang sedang berbincang.

"Kenapa, Dek?" tanya salah satu dari mereka memandang Adel.

"Maaf, Pak. Apa tadi, sekitar habis maghrib ada orang asing masuk komplek?"

Kedua orang itu saling berpandangan dan menggeleng.

"Nggak ada. Apa ada masalah?"

Adel terdiam. Ia sudah memperkirakan jawaban satpam itu. Tidak mungkin orang yang tadi melempar batu di jendela rumah mereka, dengan mudahnya masuk wilayah komplek tanpa ketahuan.

"Del ... buruan!" teriak Diandra dari atas motor. Adel bergegas meninggalkan dua orang dewasa yang saling pandang.

"Eh, tadi bukankah ada cewek namanya Zakira, ya? Yang mau pinjam buku di rumah anaknya Bu Wati. Siapa namanya ... emm, Wina?" ucap satpam yang paling muda. Hendi.

"Iya juga, ya. Tapi tadi anak itu tanya orang asing, sih. Pikirku ya orang luar alias bule. Haha."

Hendi mengernyit, ia merasa ada yang janggal. "Apa Bapak lihat cewek itu balik? Aku kok nggak, ya."

"Tadi pas kamu salat isya, dia pulang. Emang bawa buku, sih. Tapi jaketnya ganti, mungkin pinjam punya temannya."

Hendi mengangguk. Ia memandang motor Diandra yang menjauh. Ia merasa pertanyaan Adel tadi ada penyebabnya.

"Pak, sudah jam 9 lewat. Saya pulang dulu, ya," pamit Hendi.

"Eh, udah jam 9, to? Yo wes, hati-hati."

Hendi meraih jaket dan tas, ia pun melambai ke rekannya yang sepuluh tahun lebih tua itu.

Rumah satpam baru tersebut masih di area komplek, kebetulan melewati rumah Diandra. Saat melintas, tak sengaja ia melihat dua orang penghuninya mengitari teras sambil mengetuk-ngetuk kaca jendela yang tampak retak.

"Del, kamu yakin tadi perbuatan orang?" Diandra mengetuk-ngetuk jendela dengan jarinya.

"Iya lah. Hantu mana bisa memegang batu, gumam Adel. "Nah, ini pasti batu yang ia gunakan." Bocah itu menunjuk satu batu yang tersangkut di pot tanaman gelombang cinta. Betu itu memang berbeda dengan yang ada di sekitar halaman dan teras rumah. Lebih kasar dan bukan batu hias.

"Tante, minta plastik, dong."

"Buat apa?" Diandra membuka tas, ia menemukan plastik bekas tisu yang sudah habis.

Adel memungut batu tersebut dengan plastik, tanpa menyentuhnya secara langsung. Dibungkusnya alat bukti tersebut lalu disimpan dalam tas.

Hendi memeperhatikan mereka dari luar pagar. Karena penasaran, ia pun menyapa.

"Mbak .... Lagi apa?"

Diandra bingung. Tubuhnya berusaha menutupi jendela kacanya yang retak.

"Nggak apa-apa. Bapak sudah pulang?" sapa Adel. Hendi merasa kikuk dipanggil bapak.

"Saya masih dua puluh tujuh tahun. Jangan panggil bapak, dong," cengirnya. Adel tertawa.

"Oh ya, saya tadi lupa bilang. Yang kamu tanyakan tadi, sebenarnya ada cewek yang datang menjelang maghrib. Namanya ... Zakira kalau nggak salah. Temannya Wina, anak Bu Wati."

Adel menoleh, menatap Diandra. Gadis itu pun mendekat.

"Zakira? Seperti apa orangnya?" tanya Diandra.

"Yah, saya lupa, Mbak. Nggak begitu jelas wajahnya. Dia bilang mau pinjam buku. Naik sepeda dan terlihat buru-buru." Hendi membetulkan kaca spion sebelah kirinya.

"Eh, itu ... sebenarnya tadi ada yang melempar kaca jendela kami dengan batu," tunjuk Diandra. Hendi mengangkat alisnya.

"Batu? Tapi kalian nggak apa-apa, kan?"

Diandra menggeleng. "Nggak apa-apa. Cuma kacanya yang retak."

Hendi merasa bersalah. Ia meminta maaf dan akan lebih berhati-hati dengan orang asing yang masuk komplek.

"Mungkin hanya orang iseng," senyum Diandra kecut.

Adel mengajak Diandra masuk. Ia bilang sudah mengantuk. Hendi pun pamit setelah memberikan nomor teleponnya. Ia berpesan, kalau terjadi sesuatu jangan sungkan-sungkan untuk menghubungi. Diandra mengangguk.

**

Paginya, saat sarapan Diandra terlihat gelisah. Adel tahu, ini pasti ada hubungannya dengan buku milik Sandra.

"Menurutmu, gimana baiknya, Del?"

"Balikin saja ke lokernya Mbak Sekar, diam-diam. Lagi pula, Tante bukan sengaja ngambil buku itu. Tapi karena kesalahan siapa itu ... hmm, Rio, yang mengira itu milik Tante," usul Adel.

"Tapi, kenapa buku Sandra ada sama Sekar ya? Apa hubungan mereka sebenarnya?"

"Mungkin nggak sengaja Mbak Sekar nemuin buku itu. Tante ingat, waktu kemarin lalu kita ke rumah Mbak Sandra dan saat motor mogok, kita melihat Mbak Sekar masuk halaman rumah Mbak Sandra."

Diandra mengangguk. Benar juga, bisa jadi Sekar menemukan buku itu di sana. Tapi apa hubungan mereka, sampai Sekar datang ke rumah Sandra? Kenapa waktu bertemu di kasir waktu itu, mereka seolah tidak saling mengenal?

Diandra pun sudah memutuskan. Ia akan mengembalikan buku itu melalui Rio.

Setelah mengantar sekolah Adel, Diandra yang kebetulan shift siang dan belum berangkat kerja, menelepon Rio. Hari ini dia libur, Diandra memintanya menemui di alun-alun.

"Ada apa, Di?" Rio yang baru sampai, langsung menghampiri Diandra di gazebo.

"Maaf, ya aku ganggu. Soal buku yang kamu temukan di ruang istirahat kemarin. Itu bukan punyaku, tapi punya Sekar. Tolong kamu yang balikin ke dia aja, ya. Dan jangan bilang kalau kamu kemarin salah ngasih ke aku," ujar Diandra sambil menyerahkan buku itu.

"Oh itu ... aku yang minta maaf. Aku nggak perhatiin namanya. Eh, tapi beneran punya Sekar? Ini ... Sandra? Kok namanya Sandra?" Rio heran. Diandra berusaha mencari penjelasan yang masuk akal.

"Emm ... mungkin itu nama lain Sekar. Tapi kemarin aku lihat, buku ini benar ada di tas dia."

Rio mengantongi buku tersebut tanpa banyak tanya. Untunglah, dia bukan laki-laki yang selalu penasaran dengan urusan orang lain. Jadi, buku itu pun tidak mungkin ia buka sembarangan.

"Ya sudah, aku pulang dulu. Kamu mau pulang juga?" tanya Rio.

"Iya. Aku juga langsung pulang," angguk Diandra.

Matahari semakin terik, padahal baru jam 8 pagi. Diandra bergegas pergi setelah memastikan Rio ke arah jalan pulang. Entah kenapa ia khawatir terjadi hal yang tidak diinginkan seperti kemarin malam. Apa Sandra yang melempar kaca dengan batu? Jika benar, itu artinya, gadis itu belum ke Jakarta. Tapi kenapa dan bagaimana ia bisa tahu kalau bukunya ada pada Diandra?

***