Hari minggu pagi.
Adel dan Diandra sedang membersihkan halaman dari rumput liar. Beberapa pot tanaman hias berjajar rapi di samping teras, dekat kolam kecil berisi ikan koi. Terdengar deru motor mendekat, Adel berdiri untuk memeriksa. Ternyata Wina dan ibunya, baru pulang dari pasar.
"Mampir, Mbak!" seru gadis itu melambai. Wina menggeleng, ibunya yang membawa motor tersenyum.
"Makasih, Del. Lain kali ya," balasnya.
Diandra berdiri masih dengan gunting rumput di tangannya. Ia pun ikut menyapa mereka. Tapi tiba-tiba Wina berteriak sambil menggoncang-goncang bahu ibunya untuk lekas pergi. Diandra terkejut, begitu pun Adel.
"Maaf, ya. Saya pulang dulu," pamit Bu Wulan, ibu Wina tergesa. Jarak rumah mereka hanya terjeda empat rumah di sebelah kiri, melewati rumah Diandra yang berada paling ujung dekat jalan utama.
"Eh, kenapa tuh Mbak Wina?" tanya Adel saat mereka telah berlalu. Diandra hanya mengangkat bahu sambil meneruskan menggunting ranting pohon kering.
Sejenak Adel menatap apa yang dilakukan Diandra. Gunting. Wina. Pingsan. Mulut robek. Perobek mulut. Ah, jangan-jangan ... !
"Tante, Adel tau sesuatu!" teriaknya tiba-tiba, membuat Diandra terlonjak sambil melempar ulat yang sedang ia amati di atas ranting kering.
"Apa?" ketusnya.
"Mbak Wina takut gunting," ujarnya sambil mendekat dan mengamati gunting yang terjatuh di tanah.
"Kenapa?"
"Karena dia, diserang sama 'Si Perobek Mulut' dan kemungkinan menggunakan gunting," gumamnya.
Diandra tertegun. Ia mengingat kembali percakapan gadis-gadis di penjual martabak waktu itu.
"Trauma?" desis Diandra. Adel mengangguk.
"Ah, tante ingat tulisan yang waktu itu dari Sandra... tulisan menggunakan aksara jawa," ucap Diandra menatap Adel. Gadis itu menautkan alisnya.
"Aksara jawa?"
"Ya. Di toko tempat tante kerja ada seorang teman dari Jogja. Ia sering menulis di buku harian menggunakan aksara itu agar tidak banyak yang tau artinya jika suatu saat buku itu ada yang membaca. Waktu itu tak sengaja bukunya terjatuh lalu terbuka, tapi tante tidak begitu memperhatikan karena memang tak ingin tau," papar Diandra. Adel mendengarkan denga penuh semangat.
"Siapa teman tante itu?"
"Sekar. Tapi tante nggak tau rumahnya. Hari ini dia libur, besok saja tante tanyakan arti pesan itu," janji Diandra. Adel berpikir sejenak.
"Jangan. Jangan tanyakan artinya. Adel akan cari tau sendiri," cegah gadis itu.
"Oh ya, apa di sekolahanmu nggak ada pelajaran bahasa jawa? Setau tante sekolahan disini ada pelajaran tambahan itu."
"Masa sih? Coba Adel tanya Zahra dulu," ujarnya sambil berlari masuk rumah. Ia pun menelepon teman sekelasnya itu.
Diandra membersihkan peralatan berkebun lalu mencuci tangan. Tak lama Adel muncul sambil membawa setoples cemilan.
"Gimana?" Diandra meregangkan pinggangnya yang pegal.
"Ada. Tapi dimulai dari kelas empat. Kakaknya Zahra yang SMP nilai mata pelajaran itu bagus katanya. Adel mau minta ajarin dia aja," jelas gadis itu bersemangat.
Diandra masuk dan mencari ponselnya. Ia melihat banyak sekali panggilan masuk dan pesan dari supervisornya.
'Di, kamu masuk sekarang, ya. Ali nggak masuk, Sekar nggak bisa dihubungi. Nanti dihitung lembur karena kamu harusnya masuk siang.'
Diandra bergegas membalas pesan itu lalu berlari mandi. Adel yang menunggu di teras pun kembali masuk rumah karena Diandra tak kunjung keluar.
"Tante mandi mau kemana?" teriaknya.
"Kerja. Ada yang nggak masuk, jadi harus berangkat sekarang," balas Diandra berteriak disela guyuran air kran.
"Buruan, ya. Adel juga mau mandi, mau ke rumah Zahra."
"Mau ngapain?" tanya Diandra sambil membuka pintu. Sisa sabun masih menempel di telinganya.
"Minta ajarin aksara jawa," jawab Adel singkat sambil melesat masuk.
Diandra pun mengantarkan Adel sebelum ke swalayan tempat ia bekerja. Swalayan terbesar dan satu-satunya di kota kecil itu selalu ramai, apalagi hari libur. Diandra bekerja sambil memikirkan usaha yang akan dirintisnya, mungkin membuka toko lagi seperti kedua orang tuanya dulu. Karena dari kecil ilmu dagang sudah mereka wariskan turun temurun.
"Hati-hati, Del. Pulangnya tunggu tante aja, jam 9 tante sudah pulang seperti biasa. Ingat, jangan bikin ulah," pesan Diandra sebelum anak itu mangetuk pagar rumah Zahra.
"Iya, tenang aja,"
**
Adel membuka lipatan kertas catatan pemberian kakaknya Zahra tadi siang. Aksara jawa dan contoh-contohnya ia pelajari lagi, lalu ia mengambil kertas dari lipatan buka hitamnya. Kertas dari Sandra, pesan yang ditinggalkan sosok misterius yang mengetuk jendela kamarnya.
Adel mulai merangkai huruf-huruf itu dengan melihat contoh yang diberikan dan mengingat penjelasan kakaknya Zahra tadi siang. Semua huruf awalnya terlihat sama, namun setelah diteliti banyak perbedaan.
'Ja ngan di (h)am sa ja. (H)a ku (h)a kan me nun tas kan sa kit ha ti mu. Ti ti wan ci'
Fuuhh. Adel mengusap dahinya yang berkeringat. Cukup lama ia merangkai huruf-huruf itu menjadi kalimat yang masuk akal. Di kalimat terakhir ia mengulang-ulang ejaannya. Benarkah 'Titi Wanci'? Nama seseorang atau ada arti lain?
Diandra mengetuk pintu kamar Adel dan membukanya sebelum anak itu mempersilahkan masuk.
"Ih, Tante ada apa?" ketusnya.
"Lagi apa? Mau ikut nggak, beli nasi goreng di depan. Lapar nih," keluh Diandra sambil memicingkan mata ke arah meja belajar Adel. "Apa itu?" selidiknya.
"Adel udah belajar aksara jawa. Ini arti pesan itu."
Diandra membaca terjemahan itu berulang-ulang. Titi wanci?
"Tante tau arti 'Titi Wanci'?" tanya Adel memperhatikan wajah Diandra.
"Sebentar ... ," sahut Diandra mengambil ponselnya dan mengetikkan sesuatu di mesin pencarian. "Berhubungan dengan waktu," gumam Diandra.
"Apa itu nama si Peneror? Sepertinya masuk akal jika ia menggunakan nama aneh seperti itu," ungkap Adel. Diandra menggedikkan bahu.
"Nggak tau, ah. Ayo mau ikut nggak?"
"Boleh, deh. Adel sate ayam sepuluh, ya," ucap gadis itu penuh semangat.
Diandra tak menjawab, hanya menarik tangannya agar bergegas karena tiba-tiba ada suara ramai-ramai dari pos jaga komplek.
"Ada apa, Bu?" tanya Diandra pada Bu Hasan yang tergopoh-gopoh dari arah keramaian.
"Ada korban lagi. Anak perempuan Bu Wati," serunya gugup. Ia terlihat menggigil dengan bibir pucat pasi.
"Korban?" Adel berlari ke arah kerumunan. Diandra mengejar sambil berteriak memanggil namanya.
Diandra mencengkeram lengan Adel yang berusaha membelah kerumunana. Di dalam pos jaga, Diandra melihat seorang gadis terduduk lemas, bersandar pada tembok dekat kursi. Wajahnya tak terlihat jelas karena sebagian tertutup kain putih berlumur darah. Matanya terpejam, namun nafasnya masih berirama walau tak teratur. Air mata berguliran, ia menangis tanpa suara.
"Astaghfirullah," pekiknya tertahan. Adel terus berjinjit agar bisa melihat apa yang terjadi di dalam.
"Kenapa bisa terjadi?" desak Diandra kepada satpam berbadan gempal. Pak Surip terlihat malu karena tidak bisa menjaga kemanan wilayah komplek.
"Tadi saya sedang menulis buku laporan hari ini, saat Mbak Sarah berlari kemari dengan kondisi seperti itu," jelasnya.
Suara ambulance membuat kerumunan itu menepi. Beberapa orang segera mengangkat tubuh Sarah, tidak terlihat keluarganya di sana. Hanya beberapa orang tetangga yang mengantar.
"Kemana keluarganya?" tanya Diandra penasaran.
"Mereka sejak pagi pergi, ke rumah saudara yang sedang hajatan. Ini sudah dikabari, mereka langsung menyusul ke rumah sakit umum," jawab Pak Surip sambil membereskan pos yang berantakan.
"Del, ayo pulang," ajak Diandra menarik tangan Adel yang terbengong menatap sudut jalan yang temaram. "Ada apa?"
"Tante takut?" sahut Adel masih belum beranjak.
"Menurutmu?" ketus Diandra.
"Itu lebih menakutkan," tunjuk Adel ke arah pandangannya. Diandra bergidik, walau ia tak melihat apa pun ia yakin Adel benar-benar melihat sesuatu.
"Hishh ... buruan!" teriak Diandra sambil menggeret lengan Adel.
Tiba di rumah, hilang sudah rasa lapar Diandra. Ia langsung mengunci pintu lalu ke dapur mengambil air minum.
"Tante nggak penasaran sama yang tadi Adel lihat? Dia sudah lama mengikutiku, tapi entah kenapa tadi muncul begitu jelas. Wajahnya ...."
"Cukup! Tante nggak mau dengar," sungut Diandra. Adel menggedikkan bahu. Gadis itu pun menyeret kursi lalu duduk menopang dagu. Alisnya bertaut, tatapannya kosong. Diandra tak nyaman melihatnya.
"Ya sudah, kenapa ... hmmm, wajahnya?" ujar Diandra menggenggam gelas kaca yang sudah tandas dengan erat.
"Wajahnya penuh lebam, lehernya seperti ada jejak bekas terjerat. Ia terus menatap Adel tanpa bicara," gumam Adel. Diandra meraba dahinya. Panas. Tapi tangannya sangat dingin. Ia pun beranjak membuatkan teh manis hangat.
"Minum dulu," ujar Diandra lembut. Adel menyambut gelas itu lalu menyesapnya hingga tinggal setengah.
"Kamu nggak mencoba komunikasi dengannya, kan?" bisik Diandra. Adel menggeleng.
"Nggak bisa. Adel bisa pingsan karena nggak kuat."
Diandra menghela nafas panjang. Diacaknya rambut gadis kelas tiga SD tersebut.
"Sejak kapan dia mengikutimu?"
"Sejak ... di rumah Kak Sandra. Dia pertama muncul di situ, saat aku memeriksa kertas berisi pesan itu." Adel menunjuk pintu kamarnya. Diandra menahan diri untuk tidak gemetar ketakutan.
"Ya sudah, ayo sikat gigi terus tidur," ajak Diandra membimbing tangannya ke kamar mandi. Adel menurut, ia pun melangkah ke kamar mandi setelah memastikan sosok itu telah pergi dari sudut dapur, dekat Diandra mengambil air minum.
**
Adel merasa kamar sangat panas, tidak seperti biasa. Ia tahu sosok itu kembali muncul dan ia tidak ingin berurusan dengannya. Beberapa kali mata yang terpejam terasa gatal, tengkuknya terhembus angin dingin. Suara bisikian memenuhi ruang telinga. Ia mengambil bantal dan melempar ke sembarang arah dengan mata tetap terpejam.
"Pergi kamu! Aku nggak mau melihat makhluk jelek seperti kamu!" teriaknya membabi buta.
"To..long ... tolong kakakku ... ." Bisikan itu makin jelas. Adel menjejakkan kakinya ke ujung ranjang. Ditariknya selimut menutupi sekujur badan. Ia membuka mata dari balik selimut tebal dan wajah itu terbayang tepat di hadapannya.
Adel menjerit, ia biasa melihat makhluk aneh dalam wujud manusia biasa. Tapi yang paling mengerikan baru kali ini dan sangat dekat. Di depan wajahnya, di balik selimut.
"Tanttee ... !"
Diandra terlonjak. Ia langsung berlari ke kamar Adel yang berada di sebelahnya. Adel terguling dari tempat tidur dalam balutan selimut. Keringat dingin membanjir di sekujur tubuh.
"Del..Adel! Ini tante."
Diandra menggendong gadis itu ke kamar miliknya. Adel masih memejamkan mata dengan linangan air mata.
"Tante, dia..dia ngomong sama Adel. Adel merasa seluruh tenaga terserap olehnya," bisiknya lemah. Diandra memberinya air putih yang langsung habis tak tersisa.
"Tenang ya, istighfar. Malam ini tidur di kamar tante. Tante nggak akan tidur sebelum kamu tidur," bujuk Diandra. Adel meringkuk di pojok ranjang. Diandra bangkit dan mengunci pintu, samar-samar ia mendengar kamar Adel terbuka lalu tertutup perlahan.
***