Tuan besar menarik lebih erat tubuh Lena kearahnya. Lena yang masih setengah tidur merubah posisinya sedikit supaya nyaman, menempel seperti ulat bulu di badan tuan besar. Walau sedikit terusik dengan gerakan Lena tapi ia menyukainya. Sayangnya, Lena malah bertambah nyaman sehingga tanpa sengaja tangannya menyentuh benda terlarang dan memberikan sedikit remasan.
"Le---na...", perkataan tuan besar terhenti sejenak ketika tangan Lena benar-benar bergerak mengikuti arah yang benar, entah apa yang dimimpikan Lena tapi ini sangat-sangat enak untuknya. "Astaga enak sekali...ahh...ini." batin tuan besar tak mampu menahan gerakan dibawah sana yang bertambah besar, sebentar lagi akan keluar tapi keningnya mengerut ketika tiba-tiba tangan Lena berhenti meremasnya, tuan besar melihat ke dalam pelukannya untuk melihat apa yang terjadi, Lena menatapnya dengan tatapan yang bingung. Ini sangat tidak nyaman, "Pagi...kelinci putih." katanya dengan suara serak mendominasi indera sensitif telinga Lena membuatnya terbelalak mendengar panggilan kesayangan ibu dan ayahnya. Belum sempat ia bergeser, bibirnya ditutup dengan bibir tuan besar. "Um.." dipukulnya dada tuan besar karena kehabisan nafas, tuan besar melepaskan dengan malas, bibir Lena bengkak seperti di sengat lebah. Kabut gairah menyelimuti otak tuan besar, terasa nyeri ketika dihentikan tiba-tiba sehingga mau tak mau harus ditahannya mati-matian.
"Apa yang....kamu!" Lena bahkan tak bisa mengatakan apa-apa kepada tuan besar, kepalanya terasa penuh kenikmatan dengan hisapan yang baru saja diberikan. Sejujurnya ia malu tadi malah ikut membalasnya sukarela. Lena bangun dengan perasaan kesal pada dirinya sendiri, tuan besar diam memperhatikan gerakan Lena yang mulai menarik perhatiannya. Ia berfikir tak kan pernah tertarik lagi dengan makhluk berjenis kelamin perempuan ternyata ia salah, kali ini ia harus berterimakasih di depan kuburan nyonya besar pertama yang memberikan surat wasiat khusus untuknya. Tuan besar menghela nafas sangat panjang untuk mengontrol pergerakan bagian bawah tubuhnya, untungnya tertutup selimut tebal sehingga Lena tidak tahu. Sedikit cairan keluar membasahi celananya, diusapnya pelan untuk menidurkan. Lena berjalan menuju kamar mandi, membersihkan dirinya ala kadarnya. Tuan besar mengambil ponselnya mengecek semua notifikasi yang masuk selama menunggu Lena di kamar mandi. Keningnya berkali-kali mengerut bahkan mulutnya berdecak kesal tak menyukai notifikasi yang dibacanya, nyonya besar kedua meminta dirinya pulang secepatnya sedangkan saat ini situasinya terlalu berharga untuk dilepaskan. Tuan besar menoleh kearah kamar mandi, "Ckckck, lagi apa dia dikamar mandi lama-lama." keningnya mengerut lebih dalam, ia melanjutkan membaca notifikasi yang masuk dengan duduk di ranjang setelah memastikan bagian bawah miliknya sedikit melemas.
Seumur hidup barulah kali ini, Lena kehilangan kata-kata setelah berciuman dengan orang yang terlarang, ia duduk di closed tak tahu harus bagaimana kalau keluar nanti. Dadanya terasa sesak, jantung berdebar, kepalanya berbisik-bisik, senyum mengembang di wajahnya dalam kesakitan. "Lena ..wake up.... sadar, dia suami ibu, o...my..." gumamnya menepuk-nepuk kedua pipinya tapi tak urung juga wajahnya memerah. Bertahun-tahun Lena melihat dari jauh, sosok pria yang menjadi suami tanpa status ibunya. Entah sejak kapan menyelinap sebuah perasaan yang berbeda, di setiap mata tuan besar tak sengaja bertemu dengan matanya dan kini berada satu kamar ditambah untuk pertama kalinya merasakan ciuman yang membuat otaknya buntu, Lena merasa sebentar lagi akan mendapatkan masalah. Helaan nafas ditariknya sebelum Lena keluar dari kamar mandi dan tertegun ketika melihat tuan besar melihatnya dengan pandangan yang memanaskan suhu di sekitarnya. "Ini... masalah." ucap Lena dalam hati.
"Maukah kamu menjadi kekasihku?aku tak bisa memberikan apa-apa selain diriku." ucapan yang sengaja di lontarkan tuan besar untuk melihat reaksi Lena, apakah ia anak berbakti kepada orang tua ataukah memang menginginkannya sebesar keinginannya. Tuan besar tak pernah melakukan judi dengan hidupnya tapi kali ini, ia berniat untuk melakukannya demi masa depan, bukankah ada surat wasiat yang melindungi posisinya, untuk apa ia mempedulikan nyonya besar kedua yang bahkan bukan istri sahnya.
Untuk sesaat Lena seperti berada di atas awan lalu teringat nama panggilan kesayangan kedua orang tuanya membuatnya terjatuh masuk kedalam lubang, sedikit tak nyaman. Tuan besar menunggu jawaban Lena tapi sepertinya ia terpaksa harus mengeluarkan banyak usaha ketika dilihatnya Lena bersandar di pintu kamar mandi, "Mengapa kamu memanggil aku dengan nama kelinci putih?" tanyanya ingin tahu. Tuan besar mengerjap mata, sedikit linglung melihat penampilan Lena yang mengiurkan sekaligus seksi. Kalau dipikirkan lagi, sejak kapan ia menyukai wanita muda dengan penampilan minim aturan.
"Bukankah ibumu sering memanggil begitu? atau aku salah?" tanyanya balik berjalan sangat-sangat pelan ke arahnya, melihat itu buru-buru Lena bergerak menghindar. "Sialan, dasar...bandot tua." batinnya, diambilnya tas kecil diatas meja. Tuan besar memicingkan mata tak menyukai gerakan tangan Lena yang mulai memegang gagang pintu kamar.
"Aku tidak tahu, apa maksudmu tapi anggap saja aku membantu ibuku." katanya tenang. "Apa itu yang diajarkan ayahmu untuk membohongi pria yang sudah memberikan makan dan uang untuk sekolah hingga sekarang?" tanya tuan besar sedikit marah, bangkit dari duduknya kemudian menyuggarkan rambutnya lalu berjalan masuk kedalam kamar mandi. Lena terkejut, ia tidak menyangka tuan besar akan tahu tentang ayahnya tapi ada sedikit perasaan tak suka mendengar kalimatnya seakan menyudutkan kedua orangtuanya.
Sebenarnya Lena tak ingin terlalu lama disini tetapi mendengar kalimat barusan membuatnya mulai berfikir ulang tentang kedua orangtuanya dan dia. Tuan besar keluar dengan penampilan segar, "Mengapa kamu masih disini?". Lena menghela nafas hati-hati, "Bagaimana kamu tahu tentang aku dan ayahku? kalau kamu sudah tahu, mengapa kamu masih bertahan disisi ibuku? apa hubungannya denganku? mengapa kamu mendekati aku?" tanyanya bertubi-tubi. Tuan besar berjalan mendekati posisi Lena yang berada di depan pintu. "Aku lapar, aku harap kamu juga." Setelah mengatakan hal itu, satu tangan membuka pintu dan tangan satu lagi menarik Lena keluar dari kamar untuk mengikuti. Langkah Tuan besar yang besar membuat Lena sedikit kesusahan, melihat itu tuan besar mengurangi langkahnya sehingga mereka bisa berjalan berdampingan menuju restoran hotel tempat mereka menginap.
Semua mata memandang mereka begitu masuk restoran, tuan besar menemukan tempat duduk yang nyaman menghadap taman. Lena terpaksa duduk di hadapannya tetapi tuan besar berpindah duduk di sampingnya sehingga sulit untuknya keluar tanpa meminta ijin darinya.
Seorang pelayan memberikan menu kepada mereka, tangan tuan besar segera menunjukkan apa yang diinginkannya tanpa bertanya terlebih dahulu terhadap Lena.
"Aku tak suka jika wanitaku memilih makanan sendiri, tugasnya hanya menyenangkan hatiku tidak untuk orang lain." ucapnya tanpa Lena bertanya, mendengarkan itu, spontan Lena melengos ke arah taman. Tuan besar meliriknya sekilas dan tersenyum melihat respon Lena.
Tak lama makanan dihidangkan ke hadapan mereka berdua, Lena sedikit mengeryitkan kening melihat menu sarapan pagi yang bisa dimakan untuk 4 atau 5 orang.
"Aku hanya tak suka melihat wanitaku terlalu kurus, makanlah selagi hangat." ucapnya lagi dan sontak Lena memukul lengan tuan besar kesal mengunakan sendok.
"Sebenarnya apa mau mu?" tanya Lena penasaran lalu menoleh kearah tuan besar sedangkan tuan besar menyengir tanpa merasa bersalah atau kesakitan baru saja di pukul.
"Tak ada, mengapa kamu memukul aku?" tanya tuan besar mengusap lengannya, lagi-lagi Lena kesal melihat tingkahnya yang super lebay, setahunya tuan besar bersama ibunya, ia tak pernah melihat kelakuan dirinya yang seperti anak-anak. Sungguh menggemaskan di mata Lena,"Maaf bu." ucapnya dalam hati memandang tuan besar. "Mau aku pukul?" tanyanya kalem. "Makan saja, jangan banyak bicara." ucapnya memperingatkan untuk tidak melakukan apa-apa, Lena menyuapkan sesuap bubur ayam ke dalam mulut tuan besar.
Tuan besar tersenyum bahagia, Lena tak tahu kalau ini hal kecil yang paling disukai tuan besar yaitu makan pagi. Apalagi Lena malah mengambil makanan kesukaannya dan diletakkan dalam piring tuan besar, "Nyonya besar pertama ternyata pilihanmu tak pernah salah, aku berhutang padamu. Jika aku sampai mendapatkannya, sungguh tak tahu lagi harus bagaimana?" batin tuan besar merasa terharu mengenang kebaikan nyonya besar kepadanya selama hidup bahkan mati masih memikirkan masa tuanya.
"Ya ampun Lena, apa yang telah kamu lakukan." gerutunya dalam hati. Hati Lena terasa hangat bahkan meleleh setiap kali mengambil makanan untuk piring tuan besar atau menyuapkannya dan dia memakannya dengan lahap tanpa mengatakan apa-apa bahkan membalasnya serupa untuk piringnya. Dalam diam, mereka berdua makan menikmati pagi dengan perasaan yang berbeda. Sepintas lalu, mereka berdua layaknya suami istri yang sedang menikmati pagi hari.