Jordan memakai kembali baju kemejanya yang semalam dipakainya, setelah mandi. Matanya singgah beberapa kali ke area pribadi yang terlihat memukau tapi memuakkan bagi Jordan. Pandangan menyeluruh saat Nyonya besar kedua bergerak mengubah posisi duduk di sofa memindahkan kakinya membuat sebagian terekspos. Nyonya besar kedua memandang dengan penuh minat kearah Jordan tapi tak ada gerakan darinya walaupun menginginkan di matanya. Terpaksa ia bergerak mendekat dihadapannya. Tak ingin kehilangan kesempatan, "Apa kamu nyakin bisa menyingkirkan bayi di kandungannya?" tanya Jordan menarik ikat pinggangnya kencang. Style berpakaiannya mirip model kalau berniat tapi sayangnya ia tidak ada arah kesana. Lirikan tajam Jordan membuat nyonya besar kedua berputar menghampiri dan melingkarkan kedua tangannya di pinggang dari belakang. "Kalau aku berhasil, jangan lupa kamu milikku". Tak ada sautan dari Jordan. Berbalik untuk melepaskan ikatan di jubah baju tidur. Terpampang jelas bentuk badan nyonya besar kedua tanpa apapun, bentuk lingkar atas bagai pepaya tua, pinggang besar bagai tiang penyangga, bagian lain terlihat kering tak tersiram air walaupun semalam sudah dilakukan penyiraman secara intens dan berkala.
"Kamu.... Menjijikkan dan nikmat" desisnya pelan menggoyangkan pepaya di depan matanya. Terasa pas tapi lembek dengan iringan suara nyonya besar kedua mengalun bagai musik rusak di telinganya. Perasaan marah menguasai Jordan hingga menariknya kencang.
Suara tercekat kaget nyaris keluar dari mulut nyonya besar kedua tapi tertahan oleh mata Jordan berkilat menyambar kejam, membuat jantung terasa takut. Rasa takut menguasai diri nyonya besar kedua tetapi berbaur menjadi satu dengan rasa nikmat. Ia tak tahu harus berbuat apa lebih dulu antara kesakitan ataukah kenikmatan.
"Kamu menginginkan ini. Mulailah lakukan yang aku mau" bisiknya cepat melepaskan tangannya dari tubuh nyonya besar kedua dengan kasar. Tampak wajah kecewa sekaligus takut karena berhenti di tengah jalan. Jordan tak peduli dengan kebutuhan tak terpuaskan nyonya besar kedua, di kepalanya hanya satu yaitu mulai menyusun semua dari awal.
"Aku pergi" katanya berlalu begitu saja meninggalkan nyonya besar kedua dalam kondisi terbuka dan tersiksa. "Jordan, please" ujarnya berusaha meraih tangan Jordan tapi ditepis cepat olehnya. Tangan Jordan bergerak ke arah rahang wajah nyonya besar kedua. "Waktumu hanya empat belas hari. Kau tak mau aku berubah pikiran bukan? hubungi aku jika semua sudah selesai. Saat itu tiba, aku akan menjadi anjingmu." katanya menekan kencang rahang tersebut hingga kesakitan.
Nyonya besar kedua tak berani berteriak dihadapan Jordan. Tak ingin dianggap lemah atau takut padanya. Jordan menciumnya kasar, menarik saraf intinya menuju titik tak terbatas. Dilepasnya cengkeraman kuat di rahang nyonya besar kedua. Nyonya besar kedua terduduk lemas tak berdaya, ia merasa tak berharga, cairan keluar dari bawah tubuhnya. Tak sangka Jordan mampu membuatnya kehilangan akal sekejap.
Jordan pergi meninggalkan kamar itu menuju arah luar. Terlalu lama disini bisa-bisa membuatnya gila berhubungan dengan jalang. Ia membutuhkan Shizuru sekarang untuk menghapus semua jejaknya yang menempel. Aroma jijik tercium pekat di sela jarinya. Dipukulnya berkali-kali setir mobilnya dengan kencang, marah dan sedih berbaur jadi satu. "Shizuru.... dimana kamu sekarang" gumamnya menyalakan mobilnya dengan sekali putar. Mobil Jordan keluar perlahan menyusuri jalan, beberapa kali nyaris terperosok lubang jalan. Walau jalanan tampak lebih baik daripada semalam. Namun, Jordan terpaksa ekstra hati-hati. Kecepatan mobil diatas rata-rata membuatnya cepat sampai di jalanan besar yang ramai. Helaan nafas lega keluar dari mulutnya. "Shizuru.... " gumamnya berkali-kali bagai mantra mengingatkan hatinya untuk siapa.
Akhirnya sampai di kantor menjelang sore. Para pegawainya banyak yang sudah pulang, tak ada kata-kata, Jordan langsung ke ruang kerjanya. Baru duduk lima menit, sekretarisnya meletakkan dokumen di atas meja. Wakilnya datang ke ruangannya dengan cepat begitu mendengar ia sudah di kantor.
Jordan menatap suram tumpukan laporan yang diberi wakil perusahaan. "Bagaimana kondisi perusahaan milik mereka?" tanya Jordan tak mau menyebutkan nama perusahaan yang membuatnya kesal setengah mati dengan tingkah anaknya yang menjijikkan. "Harga saham jatuh menuju titik terendah. Mereka masih sama, tidak ada perubahan kecuali nona Gladys berusaha keras membuatnya stabil." Jordan mengangkat matanya dari laporan grafik angka dan perhitungan untung dan rugi. "Beli saat detik terakhir. Buat wanita itu dibuang ke jalanan, sita semua aset yang ada" perintahnya tenang. Gladys telah membangkitkan sesuatu dalam dirinya yang tidak bisa dianggap sebelah mata. Kini, ia menunggu nyonya besar kedua datang memberikan kabar bahagia atau terpaksa dia harus turun tangan.
Wakilnya menelan ludah susah payah. "Tuan, itu berarti termasuk semua yang dimiliki." katanya. Ia merasa iba. Selama ini, Gladys baik terhadap keluarganya tapi tak mungkin ia menampung wanita itu, bisa-bisa ia ditendang keluar dari perusahaan milik Jordan lalu bagaimana ia akan memberikan makan untuk anak dan istrinya. "Lakukan saja. Tawarkan Gladys sebuah perjanjian baru jika tidak ingin ditendang dari rumahnya. Suruh dia kemari! Aset di Amerika segera diambil alih waktumu 72jam dari sekarang!" bentak Jordan tak mau tahu. Gemetaran, wakilnya segera angkat kaki keluar memberikan kabar kepada Gladys.
Jordan bersandiwara cukup lama demi membuat kedua orangtuanya senang. Terlalu muak dengan sikap arogan yang dimiliki keluarga Gladys. Kini dirinya memiliki bukti kuat melepaskan diri dari jeratan Gladys. Foto-foto yang menjijikkan terpampang jelas di matanya. Ia bangkit berdiri untuk memulai aksinya sebagai korban jeratan Gladys dihadapan orangtuanya.
Orang tuanya masih berada di Amerika. Suka tak suka ia terpaksa kembali ke Amerika, peluh membanjiri di belakang punggungnya hanya untuk membersihkan namanya dihadapan orangtuanya.
Sekretarisnya masih berdiri dekat mejanya menunggu instruksi lanjut. "Pesankan tiket ke Amerika untuk besok. Sekarang, siapkan semua dokumen yang perlu aku tandatangani sebelum pergi. Jika terjadi sesuatu disini, secepatnya hubungi aku" perintahnya sambil menarik dokumen di tumpukan atas.
Tak banyak bicara lagi, Jordan mulai mempelajari semuanya. Tepat tengah malam, Jordan bangkit dari duduknya. Ia merenggangkan otot-otot miliknya yang kaku setelah beberapa jam duduk di kursi memeriksa dokumen.
Tangannya meraih ponsel miliknya, berusaha menelpon Shizuru. Ia membutuhkan suaranya untuk memberikan semangat. Beberapa kali ia mencoba menghubungi Shizuru tapi tak ada jawaban. Ia mulai berfikir untuk mengunjungi mansion Exsclamente. Tetapi, dicobanya lagi menelpon Shizuru. Lagi-lagi tak ada jawaban. Kecewa. Jordan menimbang-nimbang haruskah sekarang pergi ke mansion untuk tahu apa yang terjadi. Dilihatnya jam tangannya. Helaan nafas tak sabar dan kesal. Tak mungkin malam ini, terlalu larut malam. Besok ia akan ke Amerika, bagaimana ini.
Pusing dengan perang batinnya. Jordan memutuskan pulang ke apartemennya. Wajahnya berubah suram ketika depan lift, ia melihat Gladys berusaha susah payah berdiri. Kesakitan berkelebat di wajahnya. Tak ada make up bahkan pakaian yang dikenakannya masih mengunakan baju rumah sakit.
Jordan bersedekap di hadapannya. "Apa mau mu, Jordan! Belum cukupkah kamu menyita semuanya dan merusak diriku!" teriak Gladys. Kening Jordan mengerut, tanda ia tak menyukai teriakan Gladys. Perlahan ia melangkah maju. "Bukankah harusnya kamu menyembah kakiku untuk minta maaf karena melakukan banyak hal di depanku?" tanya Jordan pelan tepat di hadapan Gladys. Wajahnya pucat antara takut dan kesakitan. Gladys belum sehat tapi ia paksakan datang setelah mendapatkan telepon dari wakil perusahaan milik Jordan. Tak peduli dengan kondisinya yang masih sakit, ia keluar dari rumah sakit begitu saja.
"Aku--" jawab Gladys bingung, gara-gara emosi ia bertindak bodoh. Susah payah berdiri menahan sakit juga emosi tidak stabil membuatnya lupa tujuan awalnya.
"Mata diganti mata. Aku hanya ingat jika kamu terlalu jatuh dibawah kaki ku, bagaimana ibuku akan merespon" ujar Jordan tenang. Gladys terdiam. Ia ingat ibu Jordan sangat menyayangi dirinya jika tahu, entah apa yang akan diperbuatnya.
"Beri aku waktu. Biarkan aku--" Gladys bingung mau apa. Tawa keras keluar dari mulut Jordan. Jenis tawa yang mampu membuat lawannya ketakutan. "Apa yang kamu inginkan? Aku capek. Tak ada waktu untuk mendengarkan omong kosong darimu" kata Jordan bergerak ke samping ingin pergi. Gladys panik. "Jordan. Bantu aku. Aku tak bisa bertahan jika semua aset deposito milikku diambil. Ayahku.... dia tak peduli denganku, dia menghilang. Ibuku seperti orang gila ke berbagai macam butik, spa, salon atau apapun itu." ungkap Gladys sedih. Ini belum ada beberapa bulan tapi kepalanya sudah mau pecah memikirkan semuanya, tagihan yang belum dibayarkan. "Lalu, apa hubungannya denganku?" tanya Jordan bermaksud melanjutkan langkahnya. Tangan Gladys cepat meraihnya. "Tolong aku. Aku akan melakukan apapun yang kamu inginkan" jawab Gladys tanpa pikir panjang.
Jordan memiringkan kepalanya menghadap Gladys. "Aku dengar itu dalam perbaikan. Bagaimana bisa kamu membayar? Jumlah yang kamu minta tak sedikit" kata Jordan menghembuskan nafas. "Aku-- terserah kamu saja. Aku akan melakukan apapun asalkan jangan biarkan aku terjerat hutang dan hidup susah" ucap Gladys menyerah. Ketakutan terbesarnya adalah kemiskinan. Ia tak mau kembali miskin.
"Baiklah, aku bantu." katanya sambil menarik ponsel dari saku celananya. Ditekannya nomer panggilan cepat. Sepuluh menit kemudian muncul tangan kanannya di hadapan mereka berdua. "Bawa wanita ini ke markas. Beritahu pekerjaannya, ada hutang yang harus dibayar" perintahnya. Jordan tersenyum kearah Gladys. "Rumah besar itu tetap aku sita. Semua hutangmu akan aku bayar. Tenanglah, aku akan berikan rumah yang cocok untukmu dan ibumu. Keperluan lain-lainnya, disediakan. Kamu tinggal membayarnya" ucap Jordan pelan.
Gladys menganguk saja. "Mari nona ikut saya" ajak tangan kanan Jordan. Walau ragu tapi Gladys tetap berjalan mengikuti. Jordan menyeringai senang. Targetnya sudah di genggam tangannya erat. Hanya satu yang tahu di dunia ini yaitu Morgan Zai, musuh bebuyutan sejak dulu.
Jordan melangkahkan kakinya menuju lift. Urusan Gladys selesai sudah, ia harus lebih fokus terhadap Shizuru.