Pesta semalam membuat mereka langsung tertidur kelelahan di kamar masing-masing. Terkecuali Vincent. Pria itu duduk di kursi di kamarnya sendirian selama beberapa saat dengan tak melakukan apa pun, hingga Cellios melompat turun tanpa suara dari atap kamar yang dibuka. "Benar yang kau katakan, mereka meletakkan benda ini di langit-langit kamar," ucap Cellios. Menunjukkan mangkuk kecil di telapak tangannya. Sebuah dupa yang asapnya dapat membuat seseorang tidur sangat lelap.
Vincent menarik smirk. "Sudah kuduga, ada yang mencurigakan di kota ini. Walikota itu merencanakan kelicikannya."
"Kira-kira apa motifnya melakukan ini pada kita? Apa mereka melakukannya kepada siapa pun yang datang ke kota ini?" Cellios bertanya-tanya.
***
Di tengah kegelapan malam, rombongan orang berjalan dengan sebuah tandu di pundak. Seseorang berbaring di atasnya. Mereka mengarak menuju lembah di depan tanpa obor maupun cahaya yang menyertai langkah kaki. Berjalan menjauhi pemukiman kota di belakang. Mereka merayap di dalam keheningan malam yang kian larut.
Pada saat yang sama, di lorong penginapan, Aiden mengetuk pintu kamar dengan pelan. "Axelia, apa kau sudah tidur?" panggil Aiden. Sejenak tidak ada sahutan. Aiden tergoda untuk membuka pintu kamarnya. Ingin memastikan gadis itu benar-benar sudah tidur atau belum. Dan ketika merasakan pintunya tidak dikunci, Aiden melongok masuk ke dalam kamar. Dia menyapukan pandangan dan langsung tertegun mendapati ranjang tipe single tak ditempati.
"Axelia?" panggilnya sekali lagi. Kali ini dengan debaran paniknya. Di kamar sempit ini dia tidak menemukan gadis itu. Aiden berlari ke jendela. Membukanya, dan mengedarkan tatapan. Dari ketinggian kamar lantai tiga Axelia, pria itu memicingkan mata saat irisnya menangkap rombongan orang bergerak menuju gunung. Aiden yakin sekali, dia tidak salah lihat meskipun tidak ada cahaya di sana. Yang jelas, sinar rembulan cukup membantunya meyakinkan diri.
Seketika, Aiden berderap cepat keluar kamar.
***
Percakapan Vincent dengan Cellios berhenti tiba-tiba ketika mendengar suara ketukan pintu di kamarnya. Cellios sigap bersembunyi dibalik tirai balkon, sementara Vincent bangkit dari duduknya. Dia membuka pintu dengan tenang. Vincent mengira kalau yang mengetuk pintu kamarnya adalah orang suruhan walikota. Akan tetapi perkiraannya salah ketika wajah tegang Aiden justru terpampang di depan.
"Ada yang ingin kubicarakan," kata Aiden serius. Kemudian lelaki bermata hijau cemerlang itu menerobos masuk ke kamar Vincent tanpa menunggu diizinkan. Dia meraup wajahnya gelisah sembari mengedarkan pandangan dan tertuju pada tirai dibalik balkon yang sedikit bergerak. "Kalian ada di sini? Belum tidur?" ujarnya. Menyadari Vincent tidak sendirian di kamar ini sebelum dia datang.
Akhirnya Cellios menunjukkan diri ketika mengenali suara itu. "Kau bisa menemukanku?" balas Cellios terheran. Tetapi Aiden menghiraukan pemuda pendek tersebut ketika keresahan membuat pikirannya hanya tertuju pada satu titik. "Vincent, kau juga meminta Axelia untuk ikut dalam perjalanan ini, bukan? Axelia juga menjadi tanggung jawabmu." Aiden gusar. Dia tahu dirinya butuh bantuan, dan gengsi terhadap Vincent membuat kata-kata yang akan terucapkan tertahan sejenak di lidahnya.
Lalu dia menarik napas dalam, kalimat selanjutnya pun dilepaskan dengan agak susah. "Aku tidak menemukan Axelia di kamarnya. Dia hilang." Aiden menyelipkan arti dari ungkapan to the point itu. Tentu saja agar Vincent melakukan sesuatu untuk mencari Axelia. Hingga keheningan ruangan menyadarkannya. Kedua pria itu tidak merespon, Aiden tidak melihat reaksi kaget mereka. "Apa kalian sudah tahu?" selidik Aiden dengan mata menilik penuh tuduhan.
"Kami menemukan dupa yang membuat kita tertidur lelap. Mereka meletakkannya di setiap langit-langit kamar kita," jelas Vincent.
"Apa!" Aiden meninggi kaget. Dia melirik ke arah meja. Sebuah mangkuk kecil menjadi bukti perkataan pria bermanik samudera itu. "Apa artinya Axelia dibawa mereka saat tertidur lelap?" gumam Aiden menyimpulkan sebelum kemudian memicing tajam pada Vincent sambil melempar tanya. "Sejak kapan kau menyadari hal ini?"
"Sejak bertemu walikota. Aku meminta Cellios untuk memeriksa langit-langit kamar saat malam hari," ungkap Vincent.
Aiden menggerakkan gigi. "Kenapa kau tidak melakukannya lebih awal? Kau tidak bisa mencegah kejadian yang jelas akan terjadi!" Kegeraman memeras benaknya. Aiden kesal. Tidak hanya pada Vincent, tapi juga kesal pada dirinya sendiri yang terlambat menyadari rencana jahat.
Tidak ada sahutan dari Vincent. Pria itu diam dengan dahi mengerut tipis. Kecuali sebuah pertanyaan diajukan Cellios. "Apa kau melihat ke mana mereka membawa Axelia?"
"Aku melihat rombongan pejalan kaki menuju gunung." Sekali lagi, Aiden membawa kabar mengejutkan. Samar, mata Vincent membelalak. "Kita harus bergegas!" kata pria itu berbalik mengambil pedangnya.
"Apa yang akan kau lakukan?" tanya Aiden. "Sudah pasti Axelia berada di antara rombongan itu," jawab Vincent di hadapan Aiden yang kurang peka sambil menggenggam kuat sarung pedangnya. Kemudian pria itu berlalu melewati bahu Aiden, bersama Cellios mengikuti.
Aiden tak mau ketinggalan. Dia bergegas menyusul dua pria itu di lorong.
***
Penginapan seakan berubah menjadi penjara ketika penjaga bertombak berjaga di setiap tikungan. Mereka harus berhati-hati dalam setiap langkah. Sedikit saja menimbulkan kegaduhan, rencana mereka akan gagal.
Bahu penjaga itu dicolek dari belakang. Sehingga penjaga itu menoleh reflek. Kesalahan fatal baginya saat sepasang tangan memelintir lehernya tanpa sempat bertindak. Aiden membaringkan tubuh penjaga dengan pelan-pelan ke lantai. Hal serupa dilakukan Vincent yang sudah memiting kepala penjaga satunya. Dua musuh berhasil ditumbangkan secara diam-diam.
Tidak ada waktu lagi, mereka berlari kecil mengikuti panjang tembok lorong kamar. Tidak ada suara dari hentakan sepatu mereka yang tidak terbuat dari bahan keras. Tujuan mereka tinggal satu anak tangga lagi. Anak tangga menuju lantai satu, bisa lolos dari penginapan ini merupakan harapan di benak mereka.
Namun, Vincent bukan pria tidak berpengalaman di medan pertempuran. Dia membaca strategi musuh. Bahwa di luar bangunan penginapan telah dijaga oleh prajurit kota. Setelah membuat pingsan lima penjaga lagi, Vincent langsung menahan pundak Aiden yang hendak melesat ke pintu utama. "Ikut aku!" bisik Vincent. Berlalu ke lorong lain dan menjauhi pintu resepsionis.
"Siapa di sana?" seru seseorang. Mereka terus berlari dengan kejaran seorang penjaga. Kegaduhan tidak bisa dihindari ketika para prajurit itu menemukan rekan-rekan mereka tergeletak ditempat.
Diujung lorong remang-remang, Cellios sudah berdiri di dekat pintu. Pintu dapur itu dia buka untuk mereka berdua masuk, sementara dirinya tetap tinggal. "Aku akan mengurus mereka," ucapnya sebelum pintu ditutup rapat.
***
Vincent dan Aiden berlari menembus kegelapan malam. Berlari menuju lembah di belakang kota. Sampai kemudian mereka berhenti di tengah jalan ketika Aiden menemukan sesuatu di tanah. Aiden mengambilnya. Selembar kain digenggam tangan, Aiden semakin yakin bahwa mereka membawa Axelia. "Kain ini adalah penutup mata milik Axelia," desis Aiden. Geram.
Vincent terpegun. Sebenarnya mau apa warga kota itu membawa Axelia ke lembah? "Kalau begitu mereka ada di depan kita."
Sayangnya ketika tiba di perbatasan hutan, mereka kebingungan harus lewat mana. Apakah segerombolan warga itu berbelok kiri, kanan atau lurus. Karena tidak ada jalan setapak yang pasti dihadapan mereka. Gelapnya malam di hutan lebat bagai membutakan pandangan mereka untuk menemukan jejak di sekitar. Lalu menyadari suara gemerisik semak-semak dari depan yang membuat kedua pria itu sigap memegang pedangnya waspada dan hendak dikeluarkan dari sarungnya bila yang datang dari balik semak itu adalah suatu bahaya. Namun, ketika sesuatu itu menyeruak semak-semak, Vincent mengendurkan otot ketegangan dengan menurunkan kembali tangan kanannya ke sisi tubuh dari pedang ketika makhluk udik menunjukkan diri. Tingginya tidak lebih dari lutut orang dewasa. Bukan anak kecil tetapi tubuh mereka kerdil dengan kulit bersisik kasar. Seperti manusia kurang gizi karena hanya tulang dan kulit dengan perut mengembang bulat.
"Gollium?" gumamnya dengan mata mengerucut berusaha memperhatikan lebih cermat.
"Dia tidak berbahaya," sambung Vincent.
"Aku tahu kalian tidak seperti manusia itu. Kalian mencari teman kalian yang mereka bawa kan?" Suaranya serak dengan nada berbisik mendesis.
***