Chereads / The Silver Queen / Chapter 23 - Road To Maria City

Chapter 23 - Road To Maria City

Tersentak. Kakek itu membeliak kaget. Matanya berwarna merah nampak semakin menyala di tengah kegelapan. Lalu dia membuang wajah ke arah jendela di sampingnya. Jendela lantai dua tak memperlihatkan pemandangan apa-apa selain kegelapan hutan dibawah bentangan langit malam yang masih menguasai dunia. Di sebuah tempat yang jauh di sana, dia merasakan sesuatu janggal.

"Tidak mungkin..."

Dia jelas sangat mengetahui arti sentakan tiba-tiba di benaknya tadi. Karena dia terhubung dengan seseorang, jadi dia bisa merasakan kehidupan orang itu semenit sebelumnya, tapi sekarang tidak lagi. Maka dalam sekejap dia sudah berada di depan pintu dipojok lorong tergelap bawah tanah. Lalu dia mengulurkan tangan rentanya: kuku-kukunya tampak panjang dan runcing, ke arah pegangan pintu, dan sebuah cahaya oranye muncul dari telapak tangannya. Lalu dia memutar pegangan pintu ke bawah. Pintu pun dapat terbuka.

Langkah sepatu bootsnya segera berhenti. Dia berdiri di depan sebuah tombak yang terlihat gagah dan berharga. Kelihatan bukan sekadar tombak biasa yang dipakai para pengawal, bukan. Benda tajam itu terlihat tajam, mengintimidasi, dan memiliki ukiran unik dengan enam duri besi diujung. Mengeluarkan cahaya pucat dengan intensitas redup yang lambat laun pasti mati. Kakek itu menggerakkan rahangnya, mencuat taring di bibir keriput itu. Nampak menahan berang terhadap sesuatu. Dia menatap benda tajam itu sarat akan permusuhan. Iris merahnya tidak dapat menyembunyikan kebencian perasaan sang kakek.

"Tidak mungkin dia bangkit dari kubur!" geram kakek itu.

***

Seorang pria berjalan di lorong remang-remang sebuah mansion vampir. Pintu diujung lorong dia buka dan menemui seorang pria tua di dalam. "Selamat pagi, kakek!" sapa pria muda itu dengan riang. Akan tetapi dia segera menyadari wajah muram pria tua itu: dia duduk di sofa dengan kedua tangan menyatu di depan muka bak orang sedang berpikir. "Apa terjadi sesuatu, kek?" tanya pria muda ini seraya mendudukan diri dihadapanya.

"Seron telah tidur abadi," tandas kakek itu. Diketahui bernama Sullivan. Seorang kakek vampir berusia ribuan tahun. Satu kalimatnya bagai guntur yang membuat pria muda itu terlonjak. "Seron..." Kedengaran sulit dipercaya baginya mendengar sang sobat telah sirna dari muka bumi. "Oleh siapa? Apa kakek tahu?" Tentu saja dia-pria muda bernama Eltham-percaya dengan kabar duka tersebut yang diucapkan langsung oleh keluarga Seron. Itu artinya beliau merasakan aliran darah kehidupan Seron ditubuhnya telah berakhir. Seron tidur abadi.

"Kau mungkin tak percaya ini. Tapi dia bangkit dari kuburnya!" Sullivan menjawab mutlak.

***

Sullivan berjalan menuju ruang tahta. Dia segera berlutut dihadapan seorang Yang Mulia. "Aku ingin melaporkan bahwa---" Jeda sesaat. Rasanya Sullivan berat untuk mengatakan ini. "Bahwa Seron telah tidur abadi. Bertepatan dengan hidupnya benda itu," tandas Sullivan.

Yang Mulia, alias Raja Vampir itu nampak terkejut wajahnya. Kabar yang diterima dari Sullivan kedengaran tidak masuk akal. "Apa maksudmu dia hidup kembali?" timpal sang Raja tidak percaya.

"Ya. Benda itu hidup. Itu artinya pemiliknya masih hidup," tegas Sullivan sambil tetap menunduk.

"Sangat konyol!"

Sejak saat itu, sang Raja menjadi gelisah.

***

Kota Maria yang mereka tuju merupakan pemukiman berpenduduk dua ratus lima puluh ribu jiwa dengan dinding menjulang kokoh bagai memenjarakan mereka di dalamnya. Kuda-kuda Nightroad Zero bergerak semakin mendekati tembok. Tembok yang sudah dibangun sejak satu abad lebih guna melindungi manusia dari serangan prajurit vampir. Pintu gerbang dibuka lebar oleh penjaga setelah mengenali rombongan yang berderap mendekat, dan mereka memasuki sejenak terowongan tembok yang sedikit panjang sebelum cahaya terang diujung lorong memukau pandangan.

Salah satu kota terbesar ke lima dalam Kekaisaran Atledrich. Kehidupan yang aman benar-benar terasa ke segala penjuru kota. Mereka beraktivitas dengan normal seakan-akan tidak perlu mengkhawatirkan bahaya yang menggigit di luar tembok. Mereka dapat hidup aman dan nyaman di sini, selama tembok itu tidak dihancurkan. Jalan berkonblok batu, rumah-rumah berlantai dua yang terbuat dari batu alami dan berderet di sepanjang jalan, bar-bar berkusen kayu, toko-toko dengan kaca tembus pandang.

Dapat tiba dengan selamat di kota Maria setelah perjalanan panjang, merupakan kelegaan di benak mereka. Walau jumlah anggota harus berkurang beberapa orang lantaran gugur dalam perjalanan. Tetapi mereka membawa dua orang baru ke kota. Perhatian warga segera terpusatkan sesaat oleh kedatangan mereka. Tidak ada sambutan meriah seperti menyambut datangnya raja. Sebagian ibu-ibu menarik anaknya ke pelukan sembari mengarahkan pandangan takut saat berpapasan dengan mereka. Acuh tak acuh tergambar dari seraut wajah warga ketika kembali melanjutkan kegiatan yang sempat terjeda sambil melempar hinaan mereka terhadap tentara khusus tersebut.

Vincent memisahkan kudanya ke jalur lain ketika di perempatan. Pria itu membawa kudanya berlari lurus, sedangkan anggota yang mengekor berbelok ke kanan hingga mereka melewati pagar bertuliskan Nightroad Zero dan berhenti di sekitar halaman berkonblok batu. "Pergi ke mana komandan kalian?" Aiden bertanya setelah membantu Axelia turun dari kuda.

"Komandan harus melapor ke atasan kami," jawab Hannah. "Kalian dibawa ke mari untuk tinggal di sini. Yah jika kalian tidak punya rumah di kota ini." Kemudian wanita itu beralih tatap pada Axelia dengan ramah. "Axelia, kau ikut denganku," katanya. Yang membuat Aiden terkesiap. "Aku juga ikut!" Aiden tidak berniat berpisah dari gadis ini.

"Aiden, aku tahu kau anjing pengawalnya, tapi tempatmu bukan bersama mereka. Ikut denganku, akan kutunjukkan ruang kamarmu." Bernandes menengahi dengan gaya santainya sembari menelengkan kepalanya ke samping.

"Aku akan pergi dengan Hannah, Aiden." Suara Axelia menegaskan bahwa lelaki itu tidak perlu khawatir. Dan Aiden akan menurut jika gadis itu sudah memutuskan sendiri.

***

Para orang tua berseragam tampak duduk berhadapan dengan meja panjang yang memisahkan. Rapat sedang berlangsung ketika laporan dari seorang kopral berbisik ke telinga pemimpin rapat bahwa Vincent telah datang ke kota Maria bersama pengikutnya. Saat itu kuda Vincent baru saja berhenti di halaman depan gedung pemerintah militer kota Maria. Dia berjalan dengan gagah memasuki koridor demi koridor hingga bertemu dengan salah seorang kopral tadi. Mengantar sang komandan tentara khusus itu ke pintu ruangan rapat.

Ketika pintu dibuka, Vincent menarik langkah maju dengan penuh percaya diri. Badannya yang tegap berdiri rapat sembari memberi hormat dihadapan para petinggi militer dan seorang pria baya yang duduk selurus diujung meja. Dibalik jemari yang saling menyatu di depan hidung dengan kedua siku menekan permukaan meja, tatapan pria baya itu memiliki sorot setajam bilah pisau saat menatap Vincent. Kerut halus di wajah yang tak lagi muda itu menunjukkan raut serius, dan keheningan yang kaku menyelimuti ruangan. "Kami mendengarkan laporanmu, Vincent," kata pria baya itu. Jabatan sebagai Panglima membuatnya memiliki kuasa atas kemiliteran di kota Maria. Daren adalah namanya. "Termasuk oleh-oleh yang kau bawa ke kota kami." Dia melanjutkan. Menyiratkan pertanyaan yang perlu dijelaskan. Tentu saja laporan dari kopral tadi turut memberitahunya jika sang komandan Nightroad Zero membawa dua orang asing dari luar.

"Seperti yang pemerintah tugaskan pada kami. Kami berhasil membawa pemuda Hellius terakhir bersama seorang kerabatnya," jawab Vincent. Mencengangkan wajah keriput mereka. Hellius terakhir yang pemerintah cari telah dibawa dengan begitu mudah? Apa tidak mengherankan?

"Benarkah yang kau bawa itu putera terakhir Hellius, klan legendaris pemburu vampir si anjing ratu penyihir?" timpal pria tua lain seolah tidak memercayai kabar tersebut. Terdengar metafora yang kurang tepat. "Bukan ratu penyihir, tetapi ratu Rexiana dari seratus tahun lalu," koreksi Vincent tanpa menghilangkan rasa hormatnya pada yang lebih tua. Walaupun ada setitik jengkel dibenaknya saat pria baya itu bicara dengan nada mencela pada sang pahlawan. Dan juga, tidak pernah ada istilah ratu penyihir dalam catatan sejarah bangsa ini.

"Lalu, siapa kerabat yang kau maksud?" Daren bertanya. Membuat Vincent bagai diinterogasi.

"Sahabat kecilnya yang hidup sebatang kara. Dia takkan mau pergi bersama kami jika tidak membawa sahabatnya," balas pria itu lugas.

"Baiklah. Di mana Hellius itu?" tanya Daren.

"Berada di asrama kami," tandas Vincent. Yang seketika membuat para orang tua itu memekik tertahan. "Apa!" Marah dan terkaget menjadi satu dalam guratan keriput mereka. Sederet kalimat sang komandan militer khusus telah berhasil menarik urat emosi di ekspresi para orang tua.

"Vincent, kau tahu bukan siapa dan apa tujuan kami mencari putera Hellius?" Daren berusaha tenang. Pemuda dihadapannya bisa saja membuat dia terkena serangan jantung di menit berikutnya nanti.

"Ya, saya paham. Saya berencana merekrut Hellius sebagai anggota kami. Dengan begitu saya dapat mengawasinya secara langsung. Jikalau membelot, langsung saya penggal," tutur Vincent dengan wajah seriusnya yang tetap datar. Jelas tidak menunjukkan candaan. Omong kosong nyaris tak pernah diucapkan mulut pria itu, sosoknya saja sudah dapat meyakinkan mereka secara mutlak.

Mungkin satu kata 'takut' membungkam nyali penolakan mereka terhadap keputusan Vincent -pria yang diakui memiliki level kekuatan setara sepuluh ribu pasukan, lantaran tidak sembarang orang dapat menjabat sebagai Komandan Nightroad Zero, sebuah kelompok tentara yang mereka anggap hanya sebagai umpan ke alam liar untuk meringankan perekonomian negara.

Dan mereka sadar tidak punya kuasa untuk menolak tindakan Komandan Militer Khusus yang dilakukan secara mandiri. Mereka mengetahui bahwa kemiliteran Nightroad Zero berdiri sendiri dari kemiliteran negara. Dibentuk oleh Kekaisaran secara distingtif sebagai tentara lini depan untuk melindungi manusia dari serangan tentara vampir. Pemerintah Militer Negara memanfaatkan kekuatan Nightroad Zero untuk mencari putera Hellius. Jadi, mereka ingin memiliki sesuatu tetapi tidak mau mengambilnya sendiri. Kecemasan terhadap dunia luar menjadi alasan utama mereka yang enggan mati lebih awal sehingga harus memerintahkan Nightroad Zero untuk mencari putera terakhir Hellius -sisa pengikut klan Sang Ratu.

***