Chereads / The Silver Queen / Chapter 25 - With Vincent

Chapter 25 - With Vincent

Karena peraturan di asrama yang terbilang ketat, Aiden tidak mendapat akses masuk ke asrama wanita walau hanya terpisah dengan lobi luas dengan lorong asrama pria. Akhirnya dia hanya bisa melangkah bolak-balik dengan gelisah di depan koridor asrama wanita. Sekali-kali dia menengok terkesiap setiap ada wanita yang berjalan di lorong lebar itu. Akan tetapi wajahnya kembali muram dan terus melakukan hal yang sama.

Gelagatnya terlihat seperti mencari seseorang dan berharap orang itu muncul dari koridor wanita. Membuat Hannah tidak dapat menahan diri untuk tidak mendekat saat mendapatinya berdiri gelisah. "Siapa yang kau tunggu, Aiden?" tegur Hannah. Bahu Aiden berbalik mendengar namanya disebut dari belakang. Mengalihkan sejenak atensi lelaki itu dari koridor ketika menemukan Hannah yang segera meredupkan keresahannya. Sedetik kemudian manik hijau Aiden melirik ke sisi wanita itu dan mengeryitkan kening. "Kau tidak bersama Axelia?" tanya Aiden kala tidak melihat gadis itu bersama Hannah.

"Kalau tidak salah masih di taman sebelum aku ke sini," jawab Hannah apa adanya. Tanpa menunggu apa pun lagi lelaki itu langsung melewati pundaknya. Kepala Hannah terteleng sedikit ketika merasa heran dengan sikap Aiden. Lelaki itu seolah tidak bisa dipisahkan dari Axelia.

Langkah cepat sepatu Aiden bagai diburu sesuatu tak kasat mata setelah tahu keberadaan Axelia. Dia tidak sabar ingin bertemu gadis itu. Walau sebenarnya dia sendiri tidak tahu untuk apa. Asalkan bisa bersama dengannya, Aiden merasa tak perlu ada tujuan lagi. Hingga kemudian derap semangat lelaki itu melambat perlahan-lahan seiring pandangan menemukan visual Axelia di kolam air mancur taman, dan ayunan kakinya benar-benar terhenti sebelum sempat menginjak rumput taman. Padahal dia hanya perlu melangkah turun dari lantai koridor lalu menghampiri gadis itu. Namun tidak.

Karena gadis yang Aiden cari rupanya sedang bersama seorang pria lain. Dia menonton mereka dari belakang. Wajah tertawa Axelia, senyum di bibirnya, dan rona tipis di pipi, terlukis bahagia di mata Aiden. Lelaki itu sadar bahwa harusnya rasa senang melingkupi benaknya melihat guratan ceria di ekspresi Axelia. Bukan emosi yang berat sebelah di hatinya menjadi rasa tidak suka saat Axelia menunjukkan wajah seperti itu kepada pria lain. Membuat sesak menghimpit dada. Oksigen bagai terasa berat memasuki paru-parunya.

Kedua tangan Aiden di sisi tubuh bergerak mengepal erat. Berusaha membuang perasaan tak nyaman ini dengan remasan kuat. Sampai dunia Aiden berguncang sesaat ketika sebuah lengan merangkul pundaknya. Aiden melirik malas pada seorang pria di samping yang datang tiba-tiba dengan sok akrab. "Lebih baik kau pergi bersama kami ke tempat yang menyenangkan," kata Bernandes. Cengiran tiga jari terbit di wajah kebapakannya. Aiden menghela napas. Dan membiarkan tubuhnya diseret paksa oleh lengan besar Bernandes.

***

Axelia terkekeh kecil. "Sayangnya aku hanya bisa membayangkan wajah lucu Aiden saat itu yang merengek seperti anak kecil," ucapnya menceritakan tentang Aiden dulu yang pernah menimpa kotoran kerbau gara-gara jatuh dari kuda sambil berlatih memanah.

"Lalu apa kata kuda itu yang sudah menjatuhkan penunggangnya?" timpal Vincent.

"Kuda itu meledek dan berlari meninggalkannya---" Sontak Axelia menyadari sesuatu. "Kau percaya kalau aku mengerti bahasa hewan?" tanya Axelia separuh tidak percaya. Axelia masih duduk anggun di tepi kolam air mancur, sedangkan di sampingnya berdiri tegap tubuh Vincent dengan atribut seragam militernya.

"Ya. Aku percaya itu." Vincent menjawabnya dengan mantap. Membuat Axelia terdiam. Bungkam. Seingatnya tidak ada orang lain yang percaya kepadanya bahwa dia bisa memahami bahasa binatang selain Aiden seorang. Malahan orang-orang itu menganggap Axelia sudah sinting karena bicara sendiri di depan hewan. Pengakuan Vincent tidak membuat Axelia percaya jika itu ucapan jujur. Bisa saja hanya untuk menghibur atau semacamnya.

"Apa yang sedang kau bicarakan dengan kupu-kupu itu?" sambung Vincent bertanya.

"Mereka senang bertemu denganku. Mereka mengenaliku, tetapi tidak mengenali siapa sebenarnya diriku. Aneh kan?"

Bukan aneh lagi, tapi membingungkan. Vincent diam berpikir. "Axelia, bagaimana dengan ingatanmu?"

"Aku sering mengalami mimpi buruk akhir-akhir ini. Suara orang misterius terus menghantui otakku," cerita Axelia. "Aku pikir itu adalah diriku di masa lalu."

Vincent memperhatikan ada perubahan raut wajah gadis itu menjadi murung. "Kau tidak ingat siapa orang tuamu, dari mana asalmu, yang kau ingat hanya namamu saja. Apa kau masih ingat bagaimana kau bisa berada di desa itu?" Kalau saja dia datang terlambat di desa itu, mungkin dia takkan pernah bertemu Axelia selamanya. Luka-luka di tubuh gadis ini merupakan bukti dari perlakuan tidak layak mereka terhadap seorang gadis sebatang kara. Ajaibnya semua luka lebam di tubuh ringkih Axelia sudah hilang tanpa meninggalkan bekas setelah bangun pingsan sewaktu peristiwa di kota kecil Gordian. Keraguan di hati Vincent semakin terkikis.

"Aku hanya ingat bahwa aku berjalan tak tentu arah hingga menemukan pemukiman. Pemukiman itu adalah desa Rumh," tandas Axelia. Kini Vincent semakin mantap dengan dugaan yang terangkai di otaknya. Masih sebuah perkiraan yang rentan berubah seiring waktu berlalu.

***

Aiden melongo. Bernandes ternyata mengajaknya ke suatu tempat hiburan pria. "Kau berbohong padaku," desis Aiden melirik sinis. Sebelumnya Bernandes mengatakan mereka akan mengunjungi bar. Bar tempat minum-minum. Bukan rumah bordil seperti ini. "Hey! Apa kau pikir aku mau bermain dengan para pelacur itu?" sungut Aiden. Sejauh mata memandang hanya terlihat wanita berkeliaran dengan busana tipis. Bahkan dapat dikatakan hanya selembar kain yang menutupi tubuh mereka yang sebenarnya tidak mengenakan apa-apa.

"Tempat ini memang bar sekaligus rumah bordil. Kau bisa memesan minuman dengan ditemani mereka." Dia mengedipkan sebelah matanya pada Aiden. Sedangkan Aiden kehabisan kata-kata. Kemudian Bernandes menyeret Aiden lagi mencari tempat duduk yang nyaman, dan seorang pelacur menghampiri mereka untuk menanyakan pesanan.

Lingkungan yang asing bagi Aiden. Dengan dikelilingi wanita separuh telanjang adalah pemandangan aneh. Lain hal dengan Bernandes yang matanya sudah berkeliaran nakal. Sambil menunggu bir diantarkan, dua wanita sexy tiba-tiba datang dan duduk di masing-masing sisi mereka. Salah satunya berani menggelayut manja di lengan besar Bernandes. Yang menambah kesenangan pria kekar itu.

Ditemani duduk bersama wanita bergaun tipis tanpa dalaman, tidak membuat mood Aiden membaik. Malah Aiden risih jadi dia menggeser posisinya sedikit menjauh ketika wanita itu hendak menyentuhnya. Sikap Aiden membuat pelacur itu peka seketika dan menarik diri. Menjaga jarak dengan duduk kalem menonton temannya di depan yang sedang menikmati belaian Bernandes.

Aiden mendengus. "Aku lebih baik pergi dari tempat laknat ini," gumamnya tak habis pikir. Tetapi pria berotot besar itu menahannya beranjak. "Tunggu dulu. Apa kau ingin melewatkan bir terenak di kota ini?" kata Bernandes.

"Persetan dengan bir terenak!" mengkal Aiden. Sedetik kemudian dia melenggang pergi dengan langkah lebar. Mungkin Aiden adalah satu-satunya pria yang keluar dari rumah bordil dengan ekspresi masam.

***