Selagi Axelia masuk ke terowongan di dalam tebing itu, walikota memanfaatkan kesempatan. Dia memerintah pengawalnya dan mereka mengeroyok Aiden serta Vincent. Terlalu meremehkan orang lain, pria baya itu seharusnya bisa membaca level kemampuan bertarung dua pria itu. Akibatnya, tak ada perlawanan lagi dari kelima prajurit itu usai dibungkam oleh kemampuan mutlak Vincent dan Aiden dalam lima menit. Bahkan Aiden hanya sedikit mengayunkan pedang, menangkis serangan kemudian dengan mudah memukul titik lawan sampai pingsan tanpa pertumpahan darah. Serangan mereka tidak mampu membuat Vincent berpindah posisi. Pria itu tetap kelihatan anggun ditempatnya berdiri, dengan tiga orang tertelungkup di bawah kakinya.
Walikota tercekat. Kakinya yang gemetar, bergerak mundur. Dia sudah kalap saat memerintahkan lima pengawalnya untuk menyerang kedua pria gagah itu. Diam-diam dia memutar tumit, berniat melarikan diri sebelum disadari mereka, hingga kulit lehernya merasakan dingin saat mata pedang Aiden ditelakkan di sana. Kilap pedang lelaki itu bagai sabit maut yang akan memisahkan kepala dari tubuhnya. "Mau ke mana kau, pak walikota yang terhormat?" tekan Aiden dengan sorot menggelap. Kontan saja tungkai gemuk pria baya itu merosot lemas. Dia paham dirinya tidak bisa kabur dari mereka.
Sebenarnya Aiden ingin masuk ke terowongan bawah tanah itu. Tapi perasaan mengandalkan gadis itu, menahannya untuk tetap di sini bersama para warga. Mengenai warga, Aiden merasa perlu memberi penghakiman pada mereka. Aiden marah. Namun, dia tidak bisa melukai warga sipil. Aiden masih waras untuk tidak membantai mereka.
Dihadapannya, belasan warga termasuk walikota duduk berlutut dengan kepala tertunduk. Aiden menatap mereka tajam, sambil memikirkan hukuman yang pantas untuk mereka. Hingga dia meluruskan pandangan ketika menyadari seseorang mendekat dari jalur hutan itu dan mengenali keempat orang yang sedang berjalan mendekat. Tentara inti Nightroad Zero akhirnya berkumpul.
"Apa yang terjadi pada mereka?" tanya Hannah. Melihat sekilas para warga yang terduduk tak berdaya. Keberadaan walikota di tengah warga itu menjadi pusat atensinya. Heran. Lalu dia mengerling pada dua pria di seberangnya. Walaupun hanya berdiri diam, keberadaan kedua pria itu membuat warga kelihatan terintimidasi.
"Apakah mereka yang merencakan penculikan Axelia?" tuduh Cellios.
"Seperti yang kalian lihat. Dan aku sedang menimbang hukuman untuk mereka," geram Aiden. "Terutama pada walikota."
"Tolong ampuni kami!" seru salah seorang warga.
"Kami tak punya pilihan lain agar bisa tetap hidup tenang di sini!" Warga lain ikut menyahut.
Aiden menggertakkan rahang. Tangannya terkepal kuat. Dari sini Aiden paham akan suatu permasalahan mereka. Sudah dari dulu Aiden mencela para vampir yang menyebarkan ketakutan pada manusia. Semua berawal dari makhluk biadab itu. Jika saja mereka tidak ada di dunia ini, maka aksi penculikan Axelia dan korban-korban sebelumnya tidak akan pernah terjadi untuk alasan pribadi. "Walikota, berdiri! Kau harus bicara," perintahnya dingin. Telah hilang rasa hormat Aiden pada pria baya sebagai walikota itu.
Dengan lesu pria baya itu bangun perlahan. Menuruti perintah orang lain sungguh melukai harga dirinya yang tinggi. "Maafkan aku. Aku memang yang merencakan semua ini agar kami dapat hidup dengan tenang," cicit pria baya itu.
Mata Aiden memelotot. Dia tidak mengalihkan pandangannya sedetik pun dari walikota dihadapan. Kemudian satu erangan jengkel lolos dari suaranya. Kalau begini dia sulit menghukum mereka. Otaknya berputar nyaris konslet.
"Apakah kau mengorbankan setiap pengembara yang datang ke kota ini?" Kali ini suara tenang Cellios turut menginterogasi.
"Tidak..." lirih Walikota. Jeda sesaat yang membuat mereka menunggu penasaran pada kalimat berikutnya. "Aku mengorbankan salah satu puteri di setiap keluarga miskin di kota ini. Sebagai gantinya, mereka mendapat makanan yang cukup sepanjang musim dingin."
Kejam. Tidak ada kata lain untuk mendeskripsikan keadaan ini. Hingga Vincent melangkah maju dan angkat suara. "Aku akan melaporkan hal ini kepada pemerintah pusat. Setelahnya, kalian harus menunggu keputusan mereka." Dia mengatakannya nyaris tanpa emosi, dan tersimpan sorot mematikan dibalik ekspresi datarnya. Situasi tegang di tengah mereka langsung teralihkan ketika merasakan getaran halus di permukaan bersamaan dengan suara dentuman dalam. Mereka memusatkan perhatian pada lubang besar di dinding tebing.
Axelia sedang bertarung sendirian...
***
Flashback.
"Kakek, dari mana kita mendapatkan darah ini?" tanya seorang bocah laki-laki. Dia duduk dengan malas di kursi, menyadarkan dagunya di lengan di atas meja sambil menatapi penuh penasaran pada gelas kaca berisi darah di depan mata. Beberapa buku tebal yang separuh terbuka berada di dekatnya.
"Manusia."
Hanya satu kata mutlak dari bibir keriput sang kakek. Beliau tampak berdiri memandang ke luar jendela. Petir tampak menyambar-nyambar di langit malam. Tidak ada hujan maupun gerimis. Lalu suara bocah itu terdengar lagi. "Manusia... Seperti apa mereka?"
"Manusia adalah makhluk terlemah. Tidak memiliki cakar maupun taring. Mereka berkembang biak dan menyebar sangat cepat. Tetapi mereka mempunyai kecerdasan yang membuat mereka dapat berpikir."
"Apa kakek pernah kesulitan dalam memburu seorang manusia?" tanya bocah lelaki itu dengan polos. Kemudian sang kakek berbalik badan tanpa beranjak. "Pernah. Kaum vampir sekarang sedang bekerja keras untuk menaklukan seorang manusia," jawab kakek dengan wajah muramnya yang membuat ia kelihatan bertambah seram.
"Itu hanya satu orang, kenapa harus beramai-ramai memburunya? Bukankah kita memiliki vampir yang kuat? Contohnya seperti kakek?"
Kakek itu termenung. Lalu kedua matanya menutup dengan tenang. Dia memikirkan perkataan sang cucu. Perlahan dia membuka kembali matanya saat siap untuk menjawab. "Jika kakek bisa melakukannya, seharusnya para dewan tidak turun tangan mengatasi kekacauan ini bukan?" Bocah itu melongo menatapnya. Sedang mencerna kata-kata kakek dengan pengetahuan terbatasnya. "Memangnya apa yang sedang terjadi di dunia manusia?" tanya bocah itu lugu.
"Seron, jika kau suatu saat nanti kau bertemu dengannya, berhati-hatilah pada seorang manusia wanita. Dia tidak memiliki fisik yang sempurna. Kedua matanya tidak dapat melihat, dan seluruh tubuhnya berwarna putih termasuk rambutnya. Tapi dia bukan wanita tua renta. Jika kau berhasil membunuhnya, maka kita akan bebas melakukan apa pun pada manusia."
"Jadi maksud kakek, wanita itu adalah ratu dari kaum manusia?" Kesimpulan Seron membuat mata kakeknya terbuka melebar. Tidak dia sangka bocah itu akan menyimpulkan hal tersebut dengan baik. "Ya. Dialah ratu seluruh manusia yang menguasai empat bagian bumi."
Flashback end.
Terbatuk. Darah keluar dari mulutnya. Seron sekarang ingat. Dia terlalu gegabah dalam melawan musuh. Namun, tidak pernah dia duga seumur hidupnya bahwa musuh pertamanya adalah seorang wanita yang pernah dibahas oleh sang kakek. Wanita ini berbahaya. Seron mengakui di benaknya. Wanita ini bukan manusia biasa yang akan mati jika dadanya ditusuk. Seron dibuat sekarat.
Kembali lagi, dia teringat sebelum pergi ke kota Gordian. Seron menyadari dirinya telah mengabaikan peringatan dari kakeknya. Dia menganggap kekhawatiran sang kakek terlalu berlebihan, dan membuat harga dirinya sebagai vampir terluka. Akhirnya dia menetap di kota Gordian dan menghantui penduduk. Memainkan perasaan manusia di kota ini. Menonton wajah berduka mereka merupakan kesenangan baginya hingga wanita ini datang dan mengacaukan kesenangannya.