Perlahan-lahan sepasang kelopak matanya membuka. Pandangan yang buram segera menjadi terlihat jelas ketika dia sadar dirinya sedang duduk bersandar pada sebuah batang pohon. Satu kali mengerjap, dua kali mengedipkan mata membuat jantungnya berdebar, lalu dia bangun dari duduknya dengan perasaan tercengang, dan kerjapan ketiga dia mengucek mata untuk memastikan tidak salah lihat. Namun, gambaran yang sama tetap tidak berubah meski berapa kali pun dia membuka dan menutup matanya.
Indah.
Satu kata yang dapat mendeskripsikan pemandangan asri di depan mata. Cahaya terang dari ufuk timur bagai melukis langit lazuardi yang membentang jauh di atas kepala. Berdiri dengan dua kaki di rerumputan hijau tanpa alas, bukan lagi tenggelam dalam godaan saat embusan angin sepoi musim panas justru menenangkan jiwa. Suara gesekan dedaunan rindang yang memayunginya terdengar sejernih teresan air. Udara segar yang dihirup pun memiliki sebuah cita rasa, jauh dari napsu insan tak berkesudahan. Tidak ada lagi ketakutan yang menghantui. Tidak ada lagi rasa kecemburuan sosial maupun kegelisahan akan masa depan.
Di tempat ini, ketenangan dapat dia rasakan lebih dari apa pun. Sebuah lemah dengan padang rumput luas dan danau bening di tengahnya. Wilayah yang sangat berbeda dari dataran pemukiman yang selalu dekat dengan peperangan dan ketidakterjaminnya keamanan.
Axelia tidak percaya dengan semua yang terlihat ini. Dia... Bisa melihat? Abaikan pertanyaan itu. Kapan lagi dia bisa melihat dunia kalau bukan saat ini? Axelia ingin menikmatinya. Siapa tahu ini adalah mimpi.
Benar... Setelah dia cubit kulitnya sendiri, rasa sakit tidak terasa. Axelia meyakinkan diri bahwa dia sedang berada di alam mimpi. Mimpi yang indah. Bibirnya mengembang. Dia tersenyum senang. Menyapukan seluruh pemandangan yang terlihat dengan tidak satu pun dilewatkan, seakan-akan dia tidak akan melihat semua itu lagi. Hingga kemudian eksistensi lain bagai memusatkan dunia Axelia.
Axelia terpaku menatap punggung seorang pria. Pria itu berdiri agak jauh di tengah. Sosoknya membuat Axelia penasaran. Digerakkan oleh hati, kakinya mulai menarik langkah maju. Sejenak meninggalkan pohon berdaun lebat yang menaunginya tadi. Satu-satunya pohon di tengah lembah hijau. Mata Axelia mengerucut saat mengamati lebih intens perawakan yang tampak dari belakang itu. Tidak asing, seakan dia bisa mengenalinya. Tapi siapa? Aiden? Axelia ragu kalau pria itu adalah Aiden dengan postur tubuh agak berbeda. Well, tinggi badan Aiden tidak setinggi pria misterius dengan mantel hitam itu.
Pria itu memutar tubuhnya ke belakang ketika Axelia baru setengah jalan. Dia berhenti, dan waktu seolah bergerak lambat saat berusaha memperhatikan lekat-lekat sosok yang akan menunjukkan rupanya itu. Hingga sebuah panggilan terdengar dari belakang. "Axelia!" Suara yang sangat dikenali. Dan bodohnya Axelia justru reflek menoleh ke sumber suara. Berdiri seorang Aiden di sana.
Axelia terheran melihat ada Aiden di tempat ini. Apa yang lelaki itu lakukan di sini? Kemudian dia teringat harus melihat sosok misterius di depannya. Saat meluruskan pandangan lagi, yang dia lihat hanya padang rumput luas tanpa kehadiran orang itu. Axelia terkejut. Dia celingukan. Perasaannya jadi gelisah. Mencari pria itu yang tiba-tiba menghilang.
"Apakah aku yang kau cari?"
Sontak Axelia terkesiap. Rungunya menangkap suara tak asing. Suara itu terdengar berada tepat di belakang kepalanya. Bukan milik Aiden. Axelia bisa membedakan suara dua pria ini. Perlahan, Axelia memutar tumitnya untuk berbalik. Seketika pijakan di bawahnya amblas, dan membuat Axelia terperosok tanpa sempat berpegangan.
Axelia terbangun kaget. Dia dibuat senam jantung saat terjatuh dilubang -sekilas tak memiliki dasar. Beruntungnya peristiwa itu hanya mimpi belaka. Dan dia segera menyadari dirinya kini duduk di punggung kuda bersama seseorang yang memeluknya dari belakang. Ralat. Tidak benar-benar dipeluk, melainkan posisinya membuat dia seolah dipeluk dari belakang.
"Kau sudah bangun?"
Axelia tertegun. Bukan suara Aiden yang terdengar.
"Apa yang terjadi?" Axelia langsung melempar tanya. Dia percaya ini bukan mimpi lagi. Tidak dapat melihat adalah wujud nyata dari kesadaran penuh.
"Kau tiba-tiba pingsan. Aku tahu kita belum makan, jadi bertahanlah sedikit lagi," ucap suara Vincent.
Mereka sudah melalui tiga hari setelah dari desa Kutz. Saat Axelia pingsan, dia dipindahkan ke kuda Vincent, sebagai tempat teraman selagi Aiden dan sisa anggota yang lain memberantas antek-antek Dergon. Singkatnya sekarang, mereka sedang dicegat para makhluk aneh itu.
Vincent telah memisahkan kudanya dari area pertarungan mereka di hutan. Sehingga hanya ada dirinya dan Axelia di dataran tanah berumput hijau seraya duduk bersama di punggung seekor kuda putih. Vincent dengan seragam komandannya, serta sebilah pedang di sabuk kiri, duduk tegap di atas kuda putih saja sudah menjadi pemandangan gagah nan mengagumkan. Keberadaan seorang gadis di atas kuda yang sama sudah pasti akan menumbuhkan rasa iri dari kaum wanita jika mereka melihat itu.
***