Chereads / The C Toxin / Chapter 20 - The Helper

Chapter 20 - The Helper

Bayant-Ukhaa, Mongolia

Camp Konsentrasi

19.30 Mongolia Time

"Uhukk ... Mark ... Uhukk," suara Wendy terbatuk-batuk atas tindakan tiba-tiba Mark itu.

"Kau tidak menelannya, kan?" tanya Mark memastikan dengan nada panik bukan main

"Aku ... hahh ... tidak menelannya. Kita harus membantu mereka," ucap Wendy setelah selesai dengan membersihkan mulut seadanya. Instingnya sebagai seorang dokter tergerak melihat seorang tahanan di pojok sana menggeliat kesakitan. Namun belum saja Ia bisa melangkah, Mark menahannya.

"Jangan! Sebaiknya kita diam. Percuma saja, Kau tidak akan bisa menolong mereka. Justru kita harus waspada karena kita satu-satunya yang selamat dari agenda peracunan mereka itu," jelas Mark berusaha meyakinkan.

Wendy terdiam, dirinya masih merasa iba melihat belasan orang itu seolah mati sia-sia, hanya karena ulah segelintir orang yang bahkan Ia sendiri tidak mengerti, apa kaitannya. Antara Mongolia, golongan anti-komunis, mereka yang terjebak di negara gurun itu, dan pembunuhan rencana yang baru saja Ia saksikan dengan mata kepalanya sendiri. Sebagai orang dengan tipe sensing, sulit baginya untuk melihat gambaran besar dan korelasi antara kejadian-kejadian yang Ia alami dalam dua hari yang sangat panjang. Tidak seperti Mark yang merupakan orang dengan kepribadian intuitif.

"Tenangkan dirimu, itu bukan salahmu, bukan tanggungjawabmu," ujar Mark lembut, berusaha menenangkan. Ia paham betul bagaimana perasaan seorang dokter yang gagal atau tidak bisa menyelamatkan pasiennya.

Benar saja prediksi Mark, satu per satu dari belasan orang itu sudah terkapar diatas tanah, tanpa pergerakan. Pemandangan yang mengerikan dan mencekam.

Tak lama dari itu, terdengar derap langkah yang cukup ramai dari arah barat, arah petugas pengantar makanan itu datang beberapa menit lalu. Dengan sigap, Mark segera mengacak-ngacak mangkuk sup miliknya dan Wendy, memposisikan dua sendok itu acak, seolah seseorang telah menyuapkan sesendok sup dan menjatuhkannya.

Wendy terkesiap akan gerakan Mark yang sangat gesit. Sepersekian detik kemudian, kedua orang itu telah merebahkan diri masing-masing dalam posisi 'pantas dikatakan mati'.

"Lepaskan tanganku, Mark," ujar Wendy berbisik yang masih dapat didengar oleh Mark. "Sial, kita salah posisi, bagaimana bisa dua orang mati bersama dengan berhadap-hadapan, dasar bodoh," lanjutnya.

Diluar dugaan Wendy, Mark mengeluarkan smirk khasnya seraya melepaskan genggamannya pada tangan Wendy, "Tak apa, mereka bodoh, tidak akan menyadarinya, lagi pula ini gelap," ujarnya.

"Apa rencanamu?"

"Berpura-pura mati, lalu menghajar para keparat itu," tegas Mark tanpa ragu.

Tepat setelahnya, suara pintu jeruji itu terbuka. Mark dan Wendy segera menutup matanya dan menahan nafas. Tidak lupa sedikit membuka mulut seolah-olah mereka mati teracuni.

Mark merasakan sebuah cahaya senter, oh bukan, itu obor, menembus pupil matanya. Bahkan aroma minyak tanah itu begitu menyengat.

"(Lapor! Semua tawanan telah tewas)," ujar seorang pria kepada seseorang lainnya, sepertinya seorang atasan

"(Baiklah, segera bakar mereka di tempat pembuangan, jangan sampai ada yang tersisa)!"

"Bicara apa mereka?" batin Mark dan Wendy

"Jun to David! Jun to David! All the prisoners already dead. We will burn them all tonight! Over!" seru atasan itu melalui HT.

"Sialan! Kepada siapa dia berbicara?" batin Mark

"Kurangajar!" batin Wendy

"(Bereskan mereka!)" titahnya kemudian yang disetujui oleh pria sebelumnya.

Usai pria itu berbicara, Mark merasakan sorotan cahaya obor dan bau minyak tanah itu menjauh. Dengan ragu, Ia membuka sedikit matanya. Ruangan itu sangat gelap, hanya terlihat sorot cahaya lemah dari arah barat. Namun sesaat kemudian, Ia kembali menutup matanya ketika melihat satu petugas menggusur dua orang di ruang sebrang.

Lima menit, sepuluh menit, lima belas menit berlalu, sampai akhirnya Mark merasakan kakinya diseret oleh seseorang. Ia mengeratkan pejaman matanya, dan berusaha menggerakan tangannya hingga tampak natural untuk mengecek posisi Wendy. Mark merasakan tangan Wendy yang bergeser beberapa sentimeter ke arah yang sama dengan arahnya diseret oleh seseorang itu. Ia menyimpulkan bahwa mereka diseret bersama oleh satu orang.

Seseorang itu bekerja tanpa suara, lalu memindahkan Mark ke atas tandu kasar. Belum selesai Ia meredakan rasa sakit di kepalanya yang terbentur lantai tanah yang keras, sebuah kepala lain menghantam wajahnya.

"Bagaimana bisa kepala seorang wanita begitu berat dan keras!" bentaknya dalam hati. Bagaimana tidak, Ia yakin hidungnya hampir berdarah akibat benturan dengan kepala Wendy itu.

Masih dalam mode berpura-pura mati, Wendy menggerakkan tangannya natural hingga menutupi luka di tangan kanan atas Mark, khawatir lukanya akan semakin parah jika terbentur sesuatu. Jika dipikir-pikir, hanya orang bodoh yang mengira mereka benar-benar mati dengan posisi seperti itu.

Tandu itu perlahan diangkat dan dibawa ke arah timur. Setelah jarak 50 meter, bau khas tanah dan udara malam dingin sangat terasa. Mark dan Wendy bersiap untuk mengakhiri mode mati mereka.

Tandu itu akhirnya berhenti dan diletakkan di tanah. Sesaat setelah petugas itu menggusur kaki dua orang diatas tandu itu, Mark dan Wendy membuka matanya, refleks menendang petugas itu hingga tersungkur menghantam tanah berbatu.

Dengan sigap, Mark merampas pisau di saku petugas itu dan meletakkan persis di lehernya, dalam posisi headlock. Wendy segera menggeledah pakaian petugas itu, lalu menemukan satu buah pistol. Petugas itu hanya bisa diam, karena tidak ada siapapun selain mereka bertiga di tempat pembuangan itu.

Mark melepaskan headlock nya.

BUGH!!

Sepersekian detik kemudian, kakinya mendarat mulus di wajah pria itu hingga pingsan.

"Apa Kau baik-baik saja?" tanya Mark memastikan. Mereka kemudian segera berlari ke arah selatan, menghindari kemungkinan kumpulan petugas di arah barat dan timur.

"Sepertinya kita berlari ke arah yang salah, Mark, ini hutan!" seru Wendy setelah mereka berlari sekian puluh meter dari camp. Benar saja, mereka berlari ke arah hutan, meskipun pohon-pohon di area itu tidak terlalu tinggi.

"(Dua orang tawanan kabur dari camp, segera berpencar)," seru suara seseorang yang menggema di hutan itu, terdengar cukup samar tapi masih bisa didengar oleh Mark dan Wendy.

"Gawat! Itu mereka,"

"(HEY! Siapa disana?)," seru salah satu orang dari mereka. Suara itu semakin terdengar jelas, bahkan kini suara langkah kaki mereka pun turut terdengar.

Wendy semakin panik, sementara Mark masih terdiam dengan pikirannya tak kalah panik. Ia berusaha mengingat dimana Lucas dan Yuqi menurunkan mereka pertama kali. Seolah sebuah labirin tampil di kepalanya saat ini.

"Kita harus berlari ke arah barat daya, lalu ke barat. Aku ingat disana ada jalan tempat kita pertama diturunkan," jelas Mark. Tanpa pikir panjang, Ia segera menarik pergelangan tangan Wendy, "Ayo! Kita harus cepat!"