Chereads / The Radiance: Light of Peace (Remake) / Chapter 3 - Cahaya Harapan

Chapter 3 - Cahaya Harapan

_Desa Nier, Kerajaan Arx. Tahun 1509 Kalender Manusia_

Leo menutup buku di tangannya, hendak melanjutkan cerita seperti seorang narator yang tidak lagi membutuhkan naskahnya. Murid-muridnya hening, mereka diam dan fokus memperhatikan. Wajah mereka kini dihiasi dengan senyuman, mata-mata itu kini terlihat terang berkilauan.

"Pada tahun 1500 Kalender Manusia ... di salah satu malam dari malam-malam Abad Kegelapan Baru, muncul sebuah cahaya misterius di langit yang menyinari seluruh penjuru benua. Cahayanya berwarna putih menyilaukan. Seketika malam yang gelap itu berubah menjadi terang-benderang seperti siang, bahkan cahayanya lebih terang daripada matahari yang biasa kita lihat sekarang. Cahaya itu bersinar berkilauan beberapa kali sebelum akhirnya hilang ... manusia percaya bahwa itu adalah cahaya harapan, cahaya yang dapat mengembalikan dunia menuju kedamaian ... seorang pahlawan yang akan muncul dan mengalahkan kegelapan, The Radiance ...."

Angin sore berhembus kencang membawa dedaunan. Mentari perlahan-lahan turun, memberikan warna jingga pada langit sore yang tenang.

'Wajah mereka kembali cerah,' ujar pria itu dalam hati.

Rein selalu bersemangat setiap kali mendengarkan kisah tentang cahaya harapan. Tidak ada yang lebih ia sukai daripada mendengarkan cerita tentang pahlawan yang disampaikan oleh gurunya tersebut. Bahkan setelah kelas itu selesai, bukan hanya dia, anak-anak yang lain pun tidak bisa berhenti memikirkan dan membicarakannya.

Itulah yang biasa orang katakan, harapan. Dengan adanya harapan itu, orang-orang tetap optimis dan berusaha untuk memperjuangkan hidup mereka, keyakinan itulah yang membuat mereka masih bisa bertahan.

***

Rein berjalan pulang bersama kakaknya, Ain, dan dua temannya, Airi dan Nina.

Mereka berempat adalah cucu-cucu dari kepala Desa Nier, tempat mereka tinggal. Ain dan Rein adalah anak dari putri pertama, sedangkan Airi dan Nina adalah anak dari putri kedua.

Airi dan Nina adalah saudari kembar, wajah mereka serupa namun sifat dan penampilannya jauh berbeda. Airi adalah anak perempuan yang tomboi, dengan warna rambut hitam yang dipotong cukup pendek, orang akan mengira dia sebagai anak laki-laki dengan wajah yang cantik. Sedangkan Nina seorang anak perempuan yang pemalu, dengan rambut hitam lurus, disisir rapi sampai ke bahu, terlihat lucu dengan poni yang menutupi mata kirinya, gadis yang cantik dan imut.

Ain, Rein, Airi, dan Nina, mereka berempat selalu bermain bersama, bahkan sejak mereka kecil.

Rein dan kakanya berjalan di depan, sementara Airi dan Nina di belakang.

"Rein, Kau harus memperhatikan tingkah lakumu saat di kelas!" Airi memulai perbincangan.

Rein menoleh. "Hah, apa maksudmu? Aku pikir, aku telah mengikuti pelajaran dengan baik."

"Maksudku, caramu memanggil gurumu!"

"Oh, memangnya kenapa?" tanya Rein setengah peduli. 'Ahh! Duh, kenapa malah menantangnya?' pikir Rein menyesal.

Airi menyusul dan menghadangnya sambil bertolak pinggang, memaksanya untuk berhenti di sisi jalan itu. "Kamu kan sudah diingatkan berkali-kali!"

"Hmh!" Rein membuang muka. 'Rasanya keadaan seperti ini pernah terjadi, aku harus melakukan sesuatu!' pikirnya.

Ain hanya diam. 'Kurasa tidak apa-apa berhenti sebentar.'

Nina juga tidak berbuat apa-apa. 'Kapan Rein dan Airi bisa akur, yaa?'

Rein mengkerutkan dahinya seolah muak. "Memangnya itu masalah?"

"Sudah jelas, kan? Kau adalah muridnya, walaupun dia adalah ayahku, aku akan memanggilnya guru kalau di sekolah," tegas Airi kesal.

Rein tidak ingin meneruskan. "Hmm ... aku akan mencobanya ..." jawab Rein tidak serius, ia tidak ingin memperpanjang masalah dengan Airi. Tidak akan berhasil, mengalah padanya adalah pilihan tepat untuk tidak memperpanjang debat.

Rein tahu kalau Airi tidak akan berhenti sebelum merasa puas atau menang saat berargumen, kalau dia terus melawan, Airi juga tidak akan pernah selesai.

Ain masih diam, ia hanya melihat daun-daun yang mulai kering pada pohon besar dekat tempat mereka berdiri, lalu pandangannya berpindah dan teralihkan ke arah langit yang mulai berawan. 'Sepertinya akan turun hujan. Apa ayah akan benar pulang hari ini?'

Rein memandang ke arah Nina yang terus diam menunduk dengan pandangan yang kosong, lalu langsung teralihkan ke arah Airi yang masih berkata-kata.

"Satu hal lagi," tambah Airi yang terlihat kesal. "Re-"

"Rein, Kau harus berhenti mengganggu paman Leo," potong Ain angkat suara.

"Ah-" Rein dan Airi kaget.

"Kamu merepotkan paman Leo dengan terus menanyakan tentang kabar ayah, kan?"

"Kamu juga terus meminta paman untuk mengajarkanmu teknik khusus bela diri sebelum waktunya, kan?"

"Eh-" Rein kaget.

Airi heran. 'Oh, aku kira tentang hal lain,' pikirnya.

"Selain itu, Kamu juga terus memaksa paman Leo untuk menunjukkan kemampuannya, benar kan?"

"A-aa-ha-haha ...." Rein menggaruk-garuk pipinya yang tidak gatal. 'Bagaimana kakak bisa tahu semua itu?' gumamnya dalam hati. 'Apa kakak selalu tahu gerak-gerik dan tingkah lakuku di sekolah? Atau mungkin paman Leo yang menceritakannya?'

Rein menelan ludah. "Ma-maf, Kak. Aku tidak akan mengganggunya lagi lain kali." Ia terlihat malu setelah diberitahu kakaknya.

"T-tapi, Kak! Aku benar-benar memperhatikan paman Leo ketika pelajaran sejarah tadi, hehe," ujarnya membela diri dengan senyum yang dipaksakan, setidaknya ia bisa terdengar baik di depan kakaknya.

Ain tersenyum. "Baguslah kalau begitu." Ia menepuk-nepuk pundak Rein dengan lembut.

"Apanya yang memperhatikan," keluh Airi pelan, lebih terlihat iri dengan perlakuan yang diberikan. 'Rein benar-benar patuh kepada kak Ain, seperti binatang peliharaan yang jinak.'

"B-benar kata kak Ain," Airi menambahkan. "Terima kasih, Kak. Aku baru saja ingin menegurnya."

'Aagh ... apa kak Ain akan memuji dan mengusap kepalaku?' pikir Airi setengah berharap, wajahnya memerah.

Ain tersenyum mengangguk. Airi terbang, pangling melihat wajah tampannya, ia hanya menggerakkan bola matanya melirik ke sana-sini, terpesona.

'Hmh! Dasar, bertingkah seperti perempuan hanya di depan kakak.' Rein berpikir bodoh. 'Tunggu-'

Mereka kembali melanjutkan perjalanan. Rein sesekali memiringkan kepalanya sambil memandangi Nina yang terlihat dari tadi masih menunduk kosong. Dipenuhi rasa penasaran, ia pun mencoba berbicara dengannya.

"Oi, Nina!!!" panggil Rein kencang

Nina sontak kaget dan berteriak.

"Apa yang sedang Kau pikirkan?"

"Rein! apa yang Kamu lakukan?" Nina balik bertanya dengan wajah cemberut.

'Loh? Ditanya balik ....'

"Kamu benar-benar bisa membuat orang lain terkena serangan jantung!"

"Hehe, maaf ... apa yang Kamu pikirkan dari tadi? Hanya diam saja dan menunduk," tanya Rein sambil tersenyum kecil, penasaran.

"Aku ... ummm ... aku sedang memikirkan kisah Sang Pahlawan," jawabnya pelan.

"Pahlawan!? Hua! Entah kenapa suasana hatiku kembali segar mendengar kata 'pahlawan'," teriaknya.

Wajah Rein kembali terang, seperti seekor kera yang menemukan pisang, atau kucing yang mendapatkan sebuah mainan. Akhirnya ada pembicaraan yang ia sukai.

"Hey, Kak Ain!" panggil Rein.

"Iya?"

"Menurutmu, apa Sang Pahlawan akan muncul sebentar lagi?" tanya Rein spontan.

Mendengar pertanyaan adiknya itu, Ain menatap Rein, melihat wajah polosnya yang penuh harapan, matanya terang seperti menginginkan masa depan yang gemilang.

'Adikku benar-benar menggemaskan.'

Airi dan Nina tidak berbeda, mereka menunggu jawabannya. Ain berpikir sejenak. Apa sang pahlawan benar-benar akan muncul? Sebetulnya ia tidak begitu percaya dengan kisah Sang Pahlawan yang sering diceritakan, untuk anak berusia dua belas tahun, ia memiliki pikiran yang cukup dewasa.

Baginya, cerita itu hanyalah dongeng belaka untuk memberikan harapan dan keyakinan bagi manusia supaya mereka tidak menyerah menghadapi kenyataan. Dark Emperor terlalu kuat, bahkan hampir lima belas tahun perang berlangsung melawan aliansi, mereka belum bisa menghentikannya. Seperti itulah gambaran dari apa yang ia dapatkan dengan melihat wajah-wajah orang dewasa yang selalu diperhatikannya, wajah-wajah putus asa di antara mereka.

'Apa benar kita masih punya harapan?'

"Ya ... sepertinya begitu," ucap Ain menyenangkan mereka.

Ain tidak ingin melihat adiknya sedih atau kehilangan semangatnya, apalagi kehilangan senyuman di wajahnya. Tentu saja ia tidak akan menyampaikan keraguannya, atau bilang bahwa dirinya tidak percaya, atau mengatakan bahwa kisah Sang Pahlawan hanya dongeng semata. Ain tidak akan berkata demikian, setidaknya dihadapan Rein dan adik-adiknya.

Mendengar kakaknya, Rein melompat-lompat dan tertawa gembira. Nina tersenyum, sedang Airi hanya melirik-lirik salah tingkah.

"Ahaha, hei, Nina! Airi! ketika kekuatanku bangkit, kalian tidak perlu khawatir lagi! Aku pasti akan melindungi kalian dan mengembalikan dunia seperti sedia kala!" ucap Rein dengan penuh semagat dan ambisi yang membara.

"A-ah ... yaa ..." balas Nina sambil memainkan jarinya, malu. 'Melindungiku?' pikirnya buncah.

"Haaaah!?" Airi menggerang.

"Apa-apaan teriakan itu?" Rein heran.

Airi menunjuk Rein dengan telunjuk kanannya. "Mengembalikan dunia seperti semula? Bahkan mengalahkanku di kelas bela diri saja Kau tidak bisa!"

"Agh ...." Rein tersentak, begitu keras kalimat itu didengar telinganya, telunjuk Airi seperti menusuk melalui dadanya. Serangan mematikan.

"Kalau Kau sangat lemah, bagaimana mungkin Kau bisa melindungi Nina!" lanjut Airi.

"Urgh!" Serangan mematikan kedua.

Airi lalu menarik Nina dan berpaling mengambil jalan berbeda. "Sampai jumpa, Kak Ain!"

"Ah ... sampai ketemu lagi ..." seru Nina.

Tidak mampu membalas ejekan Airi, Rein hanya diam, cemberut, dan terlihat sangat kesal. "Dasar wanita gorila! Perlu otot sebesar milik paman Leo untuk mengalahkannya," ujarnya pelan.

Ain hanya tersenyum melihat tingkah mereka dan kepolosan adiknya seraya melambaikan tangan pada Airi dan Nina. "Sampai jumpa!"

"Ayo, Rein."

Rein dan kakaknya kembali berjalan. Hari makin sore, kondisi Desa Nier semakin sepi, cahaya senja menyusuri setiap sudut desa. Angin yang tadi kencang kini sudah cukup tenang.

Dari kejauhan, awan hitam yang menggulung perlahan datang, orang-orang sudah kembali dari kebun-kebun dan sawah-sawah tempat mereka bekerja. Sesekali, Ain dan Rein menegur dan menyapa penduduk desa yang mereka jumpa dan lewati.

"Hey, Kak Ain!"

"Iya?" Ain menatap Rein, dilihat wajah adiknya itu nampak serius.

"Aku tidak sabar menanti kekuatanku bangkit!" ujar Rein.

Ain berhenti melangkah. "Ah ..." Ia tersenyum dan berpikir sebentar. "Aku pikir itu tidak akan lama lagi."

"Hah, benarkah!?" balas Rein dengan cepat.

"Ya, kekuatanku muncul saat aku berumur sepuluh tahun," ungkap Ain. Ia mengepalkan tangan kanannya dan mengangkatnya ke depan, dengan perlahan ia membuka jari-jemarinya. Semacam energi yang tidak terlihat dapat dirasakan, berkumpul ke arah genggaman tangan.

Kilatan-kilatan cahaya kecil kebiru-biruan muncul di antara jari-jemarinya, menyambar seperti kilatan petir. Cahayanya cukup terang hingga membuat sekelilingnya kontras dan tampak gelap.

"Ini ...!"

***