Chapter 6 - Permulaan

_Ibu Kota Kerajaan Arx. Tahun 1515 Kalender Manusia_

Rein membuka kelopak matanya. Saat ia sadar, air mata telah membasahi pipinya.

Ia bangun untuk duduk dan menyeka wajah dengan punggung tangan sambil melihat ke arah sekelilingnya.

"...."

Sinar matahari pagi telah menyingsing masuk melalui jendela kamar dan menerangi seisi ruangan. Rein bangkit dari tempat tidurnya dan mendekati cermin pada tembok di samping ranjang. Rambut coklat gelapnya berantakan. Ia memandangi wajahnya di cermin sambil mengusap-usap pipi yang masih lunyai. Netra coklat yang dipantulkan itu masih basah, memperlihatkan setitik warna pagi sang surya.

"Apa-apaan mimpi itu ...."

Enam tahun berlalu, Rein telah tumbuh menjadi seorang remaja.

'Aku tahu yang tadi itu hanya mimpi, tapi seisi kamarku sampai berantakan begini,' pikir Rein sambil merapikan tempat tidurnya. Bantal dan guling yang tergeletak di lantai ia ambil dan dikembalikan ke tempatnya. Selimut dan seperai ia lipat dengan rapi di atas tempat tidurnya.

Pintu kamar diketuk tiga kali, kemudian ada orang yang membukanya dari luar.

Seorang pemuda bersurai hitam dengan warna mata yang sama muncul. Ia memakai setelan seragam berwarna putih dengan garis-garis kuning di sisi-sisinya. "Rein, sarapan sudah siap. Aku akan berangkat duluan," katanya.

Rein masih merapikan barang-barangnya, malas kalau menjawab dengan membalik badan. "Baik, Kak. Terima kasih."

'Kakak?'

Ain diam di ambang pintu sambil mengerutkan dahi. Ia memperhatikan Rein dengan heran, ada kata yang lepas dari mulut adiknya. Ekspresi Ain jadi tidak biasa, dan hal itu mengganggu Rein.

"Ada apa?"

"Ah, bukan apa-apa ... ohya, jangan lupa, hari ini Kau ada tes masuk ke akademi-" Suaranya langsung hilang di akhir ketika ia menutup pintu dengan cepat.

'Sudah lama sekali ia tidak memanggilku 'kakak'.'

Ain mematung di balik pintu sebentar, kemudian melihat waktu pada jam di dinding dan berteriak, "Ah, sial! Aku bisa terlambat!" Dirinya segera beranjak dari lorong menuju pintu rumah.

Rein yang mendengar teriakannya keluar dari kamar dan menghentika kakaknya. "Ain!"

"...?" Ain menoleh sebelum sempat keluar.

"Hati-hati!" teriak Rein sambil mengacungkan jempol tangannya.

Ain membalas dengan senyum. "Kau juga, semoga berhasil dengan tes masuk nanti!"

Pintu ditutup dan Ain pergi. Tidak lama, gagang pintu bergerak lagi, yang baru keluar terdengar lagi.

"Ohya, Rein. Liat jam sana!"

Tembok sampai bergetar ketika pintu kembali ditutup dengan keras. Rein masih di depan kamarnya, tangannya masih memegang gagang pintu. Saat itu juga, ia melihat jam dinding di lorong sudah menunjukkan pukul delapan kurang seperempat menit.

"Wha! Gawat, dia tidak bilang kalau aku juga terlambat!"

Pemuda itu langsung kembali ke kamar dan segera bersiap-siap untuk membersihkan dirinya. "Agh ... sudah kuduga, seharusnya kita menaruh jam dinding di setiap ruangan! Aku harus cepat ...."

Sementara itu, Ain berlari-lari santai di jalanan kota sambil tersenyum. Beberapa orang yang mengenalinya menyapa dan menegur dengan ramah.

"Hei, Ain! Selamat pagi!"

"Pagi, Tuan Smith!"

"Yo! Ain! Berolahraga sebelum dinas? Haha!"

"Pagi, Paman!"

"Ain! Tidak biasanya kau terlambat begini ...."

"Hehe, pagi, Bi!"

Ain mempercepat larinya. 'Ini memang bukan hari biasa ... ah, sepertinya upacara kerajaan sebentar lagi akan dimulai, aku harus bergegas.'

Ini memang bukan hari biasa, ini adalah hari pertama Ain magang atau menjadi apprentice (kadet). Pada hari ini juga, ada seleksi yang akan menentukan diterimanya Rein masuk ke akademi kerajaan atau tidak.

***

_Akademi Heredis Arx, Ibu Kota Kerajaan Arx. Tahun 1515 Kalender Manusia_

Rein tiba tepat waktu, engap-engapan, untung saja ia cepat. Orang-orang dari seluruh pelosok kerajaan juga sudah berkumpul dan memenuhi halaman akademi yang cukup luas. Hari ini adalah hari diselenggarakannya seleksi dan ujian masuk ke Akademi Heredis Kerajaan Arx.

Secara umum, ada tiga tingkat pendidikan yang harus ditempuh oleh seorang heredis, yaitu: tingkat dasar, tingkat menengah, dan tingkat atas. Masing-masing membutuhkan waktu tiga tahun untuk diselesaikan.

Bertempat di ibu kota, Akademi Heredis Arx adalah lembaga pendidikan heredis tingkat atas terbaik yang ada di Kerajaan Arx. Akademi inilah yang telah mencetak banyak heredis ahli dan kesatria berani di Kerajaan Arx. Siapa saja yang lulus dari akademi ini bisa dipastikan memiliki masa depan yang cerah. Itulah sebabnya, para heredis pemula bercita-cita masuk ke sana.

Namun, hanya sedikit sekali heredis tingkat menengah yang mendapatkan rekomendasi untuk bisa melanjutkan pendidikan di Akademi Heredis Arx.

Sekolah-sekolah tingkat menengah akan merekomendasikan siswa-siswi mereka untuk melanjutkan studi ke lembaga pendidikan tingkat atas. Ada sekitar 3000-4000 heredis pemula yang mengikuti tes seleksi masuk ke Akademi Heredis Arx setiap tahunnya. Dari jumlah tersebut, hanya 280 orang yang akan diterima.

Yang menjadi tantangan besar bagi semua orang adalah, ujian masuk yang terbilang sulit dan persyaratannya yang sangat ketat.

"Seperti yang orang katakan, ujian tulisnya ternyata memang cukup sulit," kemam Rein sendirian. Dia duduk di bangku taman yang terdapat di halaman akademi sambil memandangi langit.

Ujian tulis baru selesai dilaksanakan. Para peserta lainnya juga sama-sama beristirahat di halaman akademi. Rein hanya duduk dan sesekali memperhatikan orang-orang yang mengobrol.

"Hei, Kau terlihat cukup santai. Dari mana asalmu?"

"Hm?" Rein menatap seorang lelaki asing yang datang mengenakan jaket dengan kerah berbulu dan duduk di sampingnya.

Rein tidak berkata apa-apa dan mengalihkan pandangannya ke arah lain.

"...."

Rein menatap lagi orang disebelahnya, ia sadar kalau orang itu terus memperhatikannya. "Maaf, apa Kau berbicara padaku?" tanya Rein.

"Iya!" jawab orang itu dengan senyum miring. 'Memangnya apa yang sedang orang ini pikirkan?' gumamnya merasa aneh.

"Oh, maaf. Aku Rein, Rein Zen." Rein mengulurkan tangannya.

"Ah, aku yang salah. Maaf atas ketidaksopananku. Perkenalkan, namaku Kael Ryan. Kau boleh memanggilku Kael," balas si rambut hitam keabuan itu sambil menjabat tangan Rein.

"Salam kenal, Kael."

"Jadi, Rein, dari mana asalmu?"

"Aku berasal dari Desa Nier di arah barat laut ibu kota."

"Desar Nier!? Benarkah?" tanya Kael, memastikan setelah sempat terkejut.

"Iya, ada hal yang aneh dengan itu?"

"Eh, tidak. Hanya saja, Kau orang pertama dari desa itu yang kutemui di ibu kota," jawabnya. "Hei, Rein, apa Kau datang ke sini sendirian?" katanya lanjut bertanya.

"Tidak," jawab Rein. "Aku datang bersama saudaraku," tambahnya.

"Begitu, ya. Di mana dia? Apa saudaramu juga mengikuti seleksi masuk akademi?"

"Tidak ... sebenarnya, dia sudah hampir lulus di akademi ini dan menjadi seorang apprentice."

"Apprentice? Wah, ternyata saudaramu orang yang hebat."

"Begitulah ...." Rein tersenyum kecil.

"Hm-m. Senang bertemu denganmu, Rein ... Kau tahu, aku datang sendirian ke tempat ini, rasanya lebih tenang kalau ada teman bicara." Kael tersenyum.

"...."

Setelah sepi sejenak, bunyi suara sirene terdengar.

"Perhatian, kepada seluruh peserta seleksi. Tes berikutnya akan segera dimulai. Silahkan masuk ke dalam aula sesuai dengan arahan panitia yang berjaga. Terima kasih!"

"Ah, sudah waktunya pergi."

Rein menatapnya sebentar, kenalan barunya sudah berdiri. Rein langsung bangkit dari tempat duduk kemudian. "Ayo ...." Tidak buruk juga kalau pergi bersama, itu pikirnya. Meskipun akhirnya terpisah juga karena ramai.

Seluruh peserta menuju gedung utama akademi, mereka kemudian dibagi ke dalam beberapa kelompok sebelum diarahkan masuk ke dalam aula.

Beberapa saat kemudian di dalam aula.

Seluruh peserta seleksi telah membentuk tujuh barisan berdasarkan wilayah tempat mereka berasal. Di hadapan tiap barisan sudah ada alat tes semacam bola yang akan digunakan untuk mendeteksi dan mengukur kekuatan elemental. Mereka cukup menyentuh bola tersebut dan mengalirkan energinya, kekuatan elemental akan terindikasi dari warna energi yang dipancarkan alat tersebut dalam bentuk bola-bola kristal kecil yang beterbangan.

Elemen air akan menghasilkan bola-bola kristal berwarna biru, ungu, dan hijau. Elemen tanah akan menghasilkan warna kristal coklat, oranye, dan kuning. Elemen angin akan menghasilkan warna kristal hijau, biru, dan abu. Elemen api akan menghasilkan warna merah, biru, dan kuning. Sedangkan kedua elemen langka, kegelapan dan cahaya, masing-masing hanya mengeluarkan warna hitam dan putih.

'Hmm ... pantas saja jarak orang paling depan dengan alat itu sangat jauh sekali, ini memudahkan penguji melihat hasil tes dengan akurat. Penilaian dalam tes ini adalah kekuatan elemental. Berarti, mereka akan melihat jumlah bola kristal yang muncul, warna yang dihasilkan, dan ruang area yang terisi,' gumam Rein dalam hatinya.

Para panitia mengarahkan peserta tes dalam setiap barisan satu per satu. Setiap kali alat uji mengeluarkan bola-bola kristal yang banyak dan terang, berarti peserta itu memiliki kemampuan dan potensi yang hebat.

"Selanjutnya!"

Seorang laki-laki dari barisannya maju ke depan.

'Oh, Kael. Dia ternyata berasal dari wilayah yang sama denganku.' Rein berkemam. 'Mungkin Desa Dux?'

Kael mulai menyalurkan energinya pada alat uji, menghasilkan banyak bola-bola kristal dengan warna-warni yang terang.

Rein memperhatikannya dengan serius. Pandangannya menyipit tajam, memperkirakan kekuatan orang itu dari warna kristal yang menyala. 'Elemen angin? Selain itu, satu unsur!?' Rein bicara dalam hati. "Kael, ya? Dia ternyata orang yang berbakat!"

Orang-orang yang melihatnya juga sama terkejut. Heredis dengan satu jenis elemen biasanya sangat kuat.

Rein terus memperhatikan setiap peserta yang maju. 'Sebentar lagi giliranku ...'

"Selanjutnya!"

"Selanjutnya!"

Bunyi langkah yang anggun mencuri perhatian. Seorang perempuan dari barisan kedua di sebelah kiri Rein maju kedepan. Barisan peserta yang berasal dari wilayah selatan kerajaan.

Pandangan Rein terpaku pada wanita tersebut. Rambutnya lurus, panjang sebahu, dan berwarna pirang. Gadis itu berpenampilan seperti bangsawan, dengan kombinasi warna biru-putih pada pakaiannya. Yang lainnya juga sama-sama menatap, terpaku dengan pesona kecantikannya.

'Sesuatu yang akrab, mungkin kah kekuatannya ...'

Perempuan itu mendekati alat uji dan mulai mengalirkan energi elementalnya.

"...!?"

Bola-bola kristal keluar dan memenuhi ruang area. Kristal-kristal itu menghasilkan warna-warni cahaya yang sangat terang.

Para penguji dan peserta yang melihatnya sontak terbuka mulut menganga, mata mereka melebar dan alis-alis terangkat. Semua orang kagum dan tercengang.

"Wha! Mungkinkah..?"

"Oi ... lihat! Terang sekali!"

"I-itu kan ...!?"

"Tidak salah lagi, elemen spesial!"

"Dia memiliki elemen cahaya!"

"...."

"Hei! Lihat!!!" teriak seseorang di sisi lain aula.

Di barisan lain, terpancar warna kristal hijau, biru, kuning, dan putih yang sangat terang. Orang-orang kembali gandrung, terpukau.

"Luar biasa! Aku tidak pernah melihat heredis dengan unsur cahaya muncul bersamaan ketika tes sedang berlangsung!"

Semua orang ribut. Beberapa penguji bahkan sampai menangis ketika tahu ada peseta tes dengan elemental cahaya.

"...."

Rein merasakan tepukan tangan. Seseorang tiba-tiba menepuk pundaknya dari belakang. Rein berpaling, wajah orang itu agak sangar dan perawakannya pun besar.

"Hei, kawan. Cukup terpukaunya, lihat! Sekarang sudah giliranmu maju ke depan," kata orang itu padanya.

"Ah, maafkan aku." Rein melangkah menuju alat uji.

"Hei, Nak! Siapa namamu?" tanya seorang wanita paruh baya padanya. Di tangannya ada papan berisi nama-nama dan alat tulis untuk mendata setiap peserta yang maju untuk tes.

"Rein," jawabnya, ia terus memandangi bola uji itu dan mencoba untuk tetap tenang.

Wanita paruh baya itu menyelusuri papan nama yang dipegangnya mulai dari huruf 'R'. Karena fokusnya yang lemah, ia menggunakan jari telunjuk untuk membantunya. "Er-a ... Er-re ... Rein ... Rein ... ah, ini dia. Rein Zen ... Z-zen? Rein Zen!?" Wanita itu mengangkat alisnya tinggi, matanya besar, tergemap. "T-tunggu ... ah, dia sudah di depan sana ...."

Perlahan dan pasti, kedua kaki ia langkahkan. Wajahnya datar karena pikiran, tapi perhatiannya fokus ke depan. Panca inderanya menjadi sensitif, seolah langkah kakinya menggema ke seluruh ruangan aula. Dunia seperti melambat di sekitarnya.

'Setelah semua keributan tadi ...' gumamnya tidak tenang.

Pemuda itu sampai dan berdiri tepat di depan alat uji, tangannya masih di bawah dan belum mau ia angkat. Rein malah diam, memperhatikan orang lain di sisi kiri dan kanannya yang sedang melakukan tes serupa.

Seperti sebelumnya, warna-warni kristal terus memancar dan menerangi ruangan dari setiap barisan. Tapi Rein belum juga bergerak.

Ia menutup matanya untuk beberapa saat, lalu mengangkat bahunya tidak peduli. "Ahh, apa boleh buat. Aku harus melakukan ini! Masa bodoh dengan reaksi orang-orang nanti ...." Rein mulai mengangkat tangannya dan dibuat dekat alat uji.

Tangannya kini telah menyentuh bola. Ia menarik napas dalam-dalam dan meneguhkan tekadnya sambil terus berkemam dalam hati, 'Tidak perlu berlebihan ... tidak perlu berlebihan ....'

Pandangannya tajam, cahaya berkumpul di bola matanya. Ia mulai memfokuskan pikiran dan jiwanya.

'Baiklah ... ini dia! Ayo kita lakukan!'

"...."

"...?"

"Wha!??"

"Oi! Oi! Oiii!!! Lihat itu!!!"

"...!?"

"Ti-tidak mungkin!!!"

***