Chereads / The Radiance: Light of Peace (Remake) / Chapter 5 - Kegelapan Malam

Chapter 5 - Kegelapan Malam

_Desa Nier, Kerajaaan Arx. Tahun 1509 Kalender Manusia_

Angin berhembus pelan, malam itu udara cukup dingin. Rein duduk pada kursi di teras dengan mengenakan pakaian tebal supaya tetap hangat. Langit malam telah dipenuhi oleh awan, sama sekali tidak nampak cahaya bulan maupun bintang. Hanya lampu-lampu minyak dari rumah penduduk desa yang menerangi dataran.

"Huh ... dingin sekali."

Bunyi rumput panjang yang bergesekan dan ranting-ranting pohon yang bergoyang, serta suara-suara serangga dan binatang malam yang bersahutan menemaninya menunggu sang ayah pulang.

Tak lama kemudian, setitik cahaya terlihat datang dari kejauhan, sebuah lentera bergerak cepat ke arah desa. Karena rumahnya berada di tempat yang lebih tinggi, anak laki-laki itu dapat melihat jalur sepanjang jalan di sisi selatan.

"Apakah itu ayah?" Ia masih duduk dan menunggu sambil berharap bahwa ayahnya lah yang datang.

Suara lengkingan kuda terdengar pelan dari kejauhan. Cahaya lentera itu semakin mendekat hingga akhirnya memasuki desa lewat pintu selatan. Setelah berhenti sebentar, orang yang baru datang itu kembali bergerak bersama kudanya.

"Hei, Kak Ain!" panggil Rein dari luar.

"Rein? Ada apa?" balas Ain yang langsung menemuinya di teras rumah. "Ternyata Kamu masih di luar."

"Lihat! Lihat!" Rein menunjuk cahaya lentera yang datang mendekat.

Ain memfokuskan pandangannya. "Ayah, kah?"

"Dilihat dari manapun, jelas itu adalah ayah, kan?" balas Rein, terlihat senang. Biasanya, tidak ada pengendara kuda yang datang ke desa di malam hari.

"Hmm, benar, siapa lagi yang mungkin datang?" Ain mengangguk sependapat.

Lentera itu semakin dekat. Lengkingan kuda terdengar nyaring keras, suara tapak kakinya kini semakin jelas.

"Aku akan memberitahu ibu." Ain masuk ke dalam rumah. Rein masih menunggu di luar. Ia terus memperhatikan cahaya yang datang dan masuk menelusuri jalanan desa dengan perlahan. Cahayanya nyala-redup melewati rumah-rumah pedesaan hingga akhirnya berjalan melalui tanjakan.

Tak lama, sampai lah kuda itu bersama penunggangnya. Rein sudah berdiri di depan teras rumah. Kuda itu berhenti tepat di depan pagar, penunggangnya turun dan berjalan memasuki halaman.

Sorotan lampu minyak di depan rumah menerangi halaman, membuat orang itu dapat terlihat dengan jelas. Ia mengenakan zirah putih bercorak keemasan dengan lambang khas Kerajaan Arx di bagian dadanya. Angin malam berhembus meniup jubahnya sehingga menyingkap sebuah pedang hijau yang menggantung elok pada pinggang kirinya. Ia membuka tudung jubahnya. Rambut berwarna coklat, sedikit janggut tipis di sepanjang dagu dan rahang dengan warna senada, pria muda berkepala tiga itu terlihat sangat tampan dan gagah. Ia terus berjalan masuk, sampai melewati halaman.

"Ayah!" Rein berlari menghampirinya. Tubuhnya langsung ia tabrakkan sampai terdengar bunyi beradu.

"Rein ..." Ditangkapnya Rein dan dipeluknya dengan erat. "Ayah pulang."

"Selamat datang, Ayah!" sapa Rein dalam pelukannya, bahagia.

Anak laki-laki berambut hitam muncul dari dalam rumah. "Ayah, selamat datang!" sahutnya dari teras rumah. Ain kemudian mendekat dan memberikan salam pada ayahnya.

Rein mengantarkan masuk. Ain membawa dan memasukkan kuda ayahnya ke kandang di samping halaman depan. Butiran air hujan mulai turun satu per satu dari langit.

'Benar, turun hujan.' Ain bergegas masuk ke dalam.

Di dalam rumah terasa hangat. Bukan karena suhunya saja, tapi juga karena Rita menyambut dan menerima kedatangan suaminya dengan penuh kemesraan. Setelah selesai menaggalkan zirahnya, Zen berkumpul di ruang makan bersama istri dan anak-anaknya. Beberapa lilin sudah dinyalakan, ruangan hangat dan nyaman ia rasakan meskipun di luar mulai gerimis dan hujan.

Tudung saji dibuka. Di atas meja makan sudah tersedia nasi dan berbagai menu makanan yang seolah menyilaukan mata, membuat siapapun yang melihatnya tergiur dan ingin mencoba.

Di sana ada bermacam-macam sajian, mulai dari daging, buah, dan sayuran. Semuanya merupakan makanan yang bahan-bahan dan olahannya tersedia di Desa Nier, desa ini merupakan penghasil bahan-bahan pokok dan makanan, walaupun tidak melimpah.

"Waah, terlihat lezat sekali, Bu," ungkap Zen dengan penuh suka cita.

"Bukan hanya ibu yang menyiapkan, Yah. Ain dan Rein juga ikut membantu," jawab Rita dengan bangga sambil membagikan piring di atas meja.

Ain dan Rein tersenyum, merasa senang sudah membantu.

"Ahaha, tentu saja kita akan menyiapkan makan malam untuk menyambut Ayah."

"Betul, Rein bahkan bersikeras untuk menghias ruang makan supaya terlihat nyaman dan berkesan," tambah Ain sambil menyendokkan nasi ke piring ayahnya.

"Rein, Ain, terima kasih, yaa," balas Zen sambil meletakan kedua tangannya di kepala Rein dan Ain, lalu mengusapnya cukup kencang.

"Ahhaha."

"Selamat makan!"

"Selamat makan!"

Mereka pun menyantap makan malam.

Malam itu, Rein dan Ain bercengkerama bersama dengan kedua orang tuanya. Bisa melepas rindu dan bercanda ria di meja makan dengan ayahnya yang baru saja kembali dari kota, itu adalah salah satu kebahgiaan yang utama. Mereka mengobrol dan tertawa bersama di ruang makan yang penuh dengan keceriaan, momen makan malam yang sudah sebulan mereka nantikan.

Ayah mereka, Zen, adalah salah satu kesatria di Kerajaan Arx, ia sudah menjadi prajurit kerajaan sejak berusia delapan belas tahun. Dan kini, pangkatnya adalah captain. Ia memiliki kekuatan elemen dengan unsur angin, kemampuannya pun tidak perlu ditanya, luar biasa.

Zen mendapatkan julukan "Ventum Gladio" atau "Pedang Angin". Ia terkenal dengan kecepatan dan kekuatanya yang hebat. Ia juga punya keahlian dan kecakapan dalam strategi perang. Dengan kemampuannya itulah ia berhasil mencapai posisi lumayan dalam Arx's Knight, Satuan Kesatria Arx.

***

"Kak Ain, Kau sudah tidur?" panggil Rein dari atas tempat tidurnya.

"Belum. Ada apa, Rein?" jawab Ain memperhatikan tempat tidur Rein yang berada di atas tempat tidurnya. Mereka tidur pada ranjang bertingkat.

Rein memegangi bantalnya dan berbisik dengan perlahan sambil memandangi langit-langit kamar, "Akhir pekan ini ... maksudku, besok, akan jadi hari yang sangat aku nantikan."

'Maksudnya menonton latihan khusus, kan?' pikir Ain. "Ah ... aku juga," jawabnya pada Rein.

"Tidurlah, Rein. Jangan terlambat besok pagi. Nanti ayah marah ..." lanjutnya lembut.

Rein tertawa ringan. "Terima kasih sudah membujuk ayah, kalau aku saja yang bilang ... ayah pasti tidak akan mengizinkannya."

"Tidak masalah. Lagi pula ayah baru saja pulang, ia tidak akan membuatmu kecewa. Selain itu, ayah tau Kau sudah belajar dengan giat bersama ibu dan guru-guru di sekolah."

Rein membalas dengan tawa kecil, ia mulai mengantuk. Matanya semakin berat, rasanya bisa tidur dalam sekejap. Rein mulai memejamkan matanya ... perlahan tapi pasti, waktu membawanya pergi ke dunia yang berbeda.

"...."

"Hei, Rein! Rein ..." panggil Ain membangunkannya kembali.

"Ah, ya?" Rein buru-buru mengerjapkan matanya.

"Kau tahu alasanku yang sebenarnya membujuk ayah supaya Kau bisa ikut melihat latihan?"

Rein tidak membalas, dia hanya berpikir. 'Apa maksud Kakak?'

Ain diam sebentar, sementara Rein masih berusaha melawan rasa kantuknya supaya tetap terjaga.

"Aku ingin Kau datang dan mendapatkan pengalaman langsung merasakan energi yang dikeluarkan dari elemental power- ... tidak, oleh Elemental Spirit. Besok, aku akan menunjukkan sesuatu yang sangat luar biasa," cakap Ain. "Sesuatu yang sangat hebat dan tidak ada duanya!"

"...!?" Rein membuka matanya lebar-lebar.

"Rein ... Kau sudah tidur?"

Rentetan suara ranjang yang terbuat dari kayu terdengar. Tiba-tiba kasur bergoyang kencang dalam sekejap.

"Apa yang-" Ain tak habis pikir.

Seonggok kepala muncul dari balik kasur di atas ranjangnya, dengan cepat menunjukkan wujudnya setengah badan, terbalik.

"Rein!?"

"Apa yang Kakak pikirkan!?" Mukanya melotot.

"Ah-ha ... ahaha!" Ain tak kuat menahan tawa melihat wajah adiknya. "Apa maksudmu?"

"Aku serius!" Rein memasang wajah masam. "Bukan kah Kakak sendiri yang bilang kalau melepaskan kekuatan elemen secara berlebihan ada kemungkinan membuat seorang heredis pemula lepas kendali?"

Bukan itu maksudnya. 'Ah, ini memang sulit, dia tidak akan mengerti sekarang.' Ain lalu menutup wajah dengan tangan kanannya. "Kau benar juga, apa sih yang kupikirkan."

Rein masih diam dalam posisi terbalik memandangi bayangan kakaknya pada sudut kamar yang gelap itu, ia masih merasa marah. 'Selain itu, elemental spirit apa maksudnya?' pikirnya mengingat kembali ucapan kakaknya baru saja.

Ain membuang nafas pelan, tangannya masih menutupi wajah. Dari sela-sela jarinya ia melirik Rein yang masih menggantung di atas sana. Ain tidak dapat melihat ekspreksi adiknya dengan jelas karena gelapnya ruangan, tapi ia dapat melihat cahaya lampu minyak yang cukup menyilaukan dari luar, cahayanya masuk melalui jendela di kamarnya, seolah cahaya itu tepat berada di belakang adiknya.

"Rein ...."

"Ya?"

Ain bangun dan duduk di atas ranjangnya, wajahnya serius melihat ke arah Rein dalam-dalam.

Rein menatapnya di mata, ia masih menggantung, tapi sudah tenang. Ekspresinya datar, wajahnya merah, bukan karena marah. Mungkin karena darah yang mengalir sudah berkumpul di kepalanya.

Ain melanjutkan, "Tenang saja, Rein, aku akan membantumu ... satu hal yang mesti kau ingat, pastikan kau menang dalam pertarungan nanti ...."

Rein heran dan tidak mengerti maksud kakaknya.

"... kalau tidak, aku tidak tahu lagi apa yang bisa kita lakukan ..." lanjutnya.

Sang adik berpikir keras selama beberapa detik, berusaha memahami apa yang baru saja dikatakan kakaknya sampai akhirnya ia menyerah dan mencoba bertanya, "Apa maksudmu, Kak?"

Ain membulatkan matanya tanpa berkata-kata. Ekspresi sebenarnya keluar tiba-tiba. Ia terkejut. "Ada yang datang!!"

Suara seperti ledakan terdengar sangat keras, menggelegar dari luar.

Halilintar menyambar, kilat dan suaranya datang bersamaan. Rein terperanjat jatuh dari ranjangnya ke lantai, telinganya berdengung kencang.

Anak itu berbalik ke belakang untuk melihat keadaan di luar, tapi ia tidak mendapati jendela kamar yang seharusnya berada di sudut ruangan.

Rein bangun dan melihat ke sekitar, saat itu ia menyadari bahwa seisi ruangan telah berubah, semuanya menjadi gelap.

Rein menolehkan pandangannya, ia melihat Ain berada di depannya, berdiri memandangnya dengan tatapan mata yang dingin.

"Ain!?"

Kilat biru menyambar.

Ain menyerang Rein dengan kekuatan petirnya secara mendadak, membuatnya berlutut kaku dan berteriak kesakitan.

Rein bersimpuh di atas lantai, matanya berkaca-kaca memandang kakaknya sambil bertanya-tanya.

Tiba-tiba, lantai yang dipijaknya menjadi lunak dan mulai meleleh seperti keju yang dipanaskan. Perlahan-lahan ia tenggelam ke dalamnya, tubuhnya tidak dapat digerakkan. Matanya membesar, ketakutan.

Ain masih berdiri di depannya dikelilingi oleh bayangan hitam yang muncul secara misterius, petir biru terus keluar dari tubuhnya dan menyambar ke segala arah.

Ini bukan berada di kamarnya lagi, yang ada hanyalah kegelapan. Rein mencoba untuk berteriak dan memanggil kakaknya, namun suaranya tidak dapat keluar.

Kilatan petir yang Ain lepaskan terus menyambar dengan galak, menyengat dan menggores tubuh Rein sedikit demi sedikit. Ia berharap kakaknya segera berhenti dan menolong. Tapi itu tidak terjadi ....

Petir terus membakar tubuhnya. Rein kebingungan, badannya seperti dikekang, tidak bisa digerakkan. Suara dari mulutnya tidak dapat keluar, hilang tidak terdengar. Matanya terbelalak ketakutan, air matanya deras mengalir. Ia seolah tenggelam dan ditelan dalam ruangan gelap. Sementara Ain perlahan-lahan menjauh darinya bersama dengan bayangan hitam, meninggalkan kilatan petir yang terus menghabisi Rein tanpa belas kasihan.

Kaki dan tangannya sudah terbakar dan mulai hancur menjadi abu. Tapi Rein masih memusatkan pandangannya pada Ain yang semakin jauh pergi, sambil berharap semua kejadian ini bukan lah kenyataan.

Rasa sakit, perih, panas, pedih, takut, dan sedih. Rein terus merasakan itu semua sambil berharap pada kakaknya, atau berharap agar nyawanya segera hilang agar semua rasa itu hilang ... sampai kilatan terakhir menghilangkan penglihatannya.

Semuanya menjadi gelap.

***