BEBERAPA TAHUN KEMUDIAN…..
Sejak kepergian Dimas beberapa tahun lalu, Vano seperti orang yang tak memiliki harapan. Ia menjadi pemurung bahkan pelit bicara kepada siapapun. Hari – harinya hanya dihabiskan untuk bekerja, lalu kembali ke apartemen sambari sesekali memandangi foto orang yang ia cintai.
Sang Ayah sebenarnya sudah berusaha mencari dimana keberadaan Dimas, namun sampai saat ini ia juga belum menemukannya. Ia sangat khawatir melihat keadaan anaknya. Vano yang dulu terlihat sangat periang, kini menjadi diam seribu bahasa. Bahkan, pernah suatu ketika sang ayah melihatnya menangis sambil memandangi foto Dimas. Ia benar – benar tidak tega anak semata wayangnya menderita hanya karena cinta. Segala upaya telah dilakukannya, akan tetapi sang waktu belum juga memberikan jawaban atas usahanya.
…..
" Van, mau sampai kapan seperti ini" Tanya sang ayah.
Sang ayah lalu mendekatinya dan memegang dengan erat tangannya. "Hidup itu harus terus berjalan van, kita gak bisa terus – terusan terjebak dalam masa lalu. Apa yang sudah terjadi tidak mungkin bisa diputar kembali. Tapi, masa depan masih menyimpan harapan"..
Dengan tersedu – sedu Vano berkata "Kenapa, kenapa pa. Kenapa semua ini harus terjadi. Kenapa hidup ini seakan gak adil" Air matahnya pun kembali tumpah. "Di saat aku udah menemukan seseorang yang tepat, mengapa dunia ini seakan memisahkan".
"Van, dengarkan baik – baik ucapan papah ini. Tidak semua apa yang kita inginkan bisa terwujud. Harapan dan kenyataan terkadang dua hal yang saling bertolak belakang".
Sang ayah lalu terdiam sejenak.
" Kamu tahu Van, bahwa saat papah berpisah dengan mama mu. Hati papah juga hancur. Bahkan mungkin lebih hancur dari kamu saat ini. Tapi papah tidak mau terus – terusan terjebak dalam masa lalu. Karena hidup itu untuk dijalani bukan diratapi."
Vano tertegun mendengar ucapan sang ayah. Ia terdiam. Lalu mengusap air matanya.
...
Harapan dan Kenyataan terkadang adalah dua hal yang saling bertolak belakang
Saat salah satu diantaranya tidak berjalan selaras
Terkadang menimbulkan kepedihan dan ketakutan
Layaknya seorang anak kecil yang menaiki kuda liar di tengah hutan
…..
VANO IS BACK
Meski belum bisa melupakan Dimas sepenuhnya, namun karena nasihat sang ayah pada malam itu, perlahan – lahan ia mulai bangkit. Vano yang dulu, kini seakan kembali. Ia terlihat ceria, meski di dalam hati kecilnya masih tersimpan duri kepedihan. Namun, ia tidak ingin menampakan hal itu didepan sang ayah. Ia tidak ingin sang ayah justru semakin khawatir tentang kondisi dirinya.
AKHIRNYA SANG WAKTU MEMPERTEMUKANNYA….
Malam itu entah kenapa Vano mengiyakan ajakan temannya untuk dugem disalah satu club malam di Jakarta. Vano sebenarnya bukan tipikal orang yang suka tempat – tempat seperti itu, bahkan mungkin ini adalah pertama kali baginya. Suasana malam yang penuh dengan hirup pikuk dan alunan musik dari DJ mungkin sudah biasa bagi teman – temannya, namun tidak bagi dirinya. Ia seperti makhluk halus ditengah kerumunan manusia.
" Ayolah van, kok diam ajah sih. Jogetlah" ujar salah satu temannya
" Kalian ajah deh, gue duduk ajah disini" sahut vano.
Saat Vano sedang duduk sambil melihat teman – temannya berjoget, tiba – tiba sorot matanya tertuju pada seorang pelayanan diujung dekat pintu.Karena banyaknya pengujung dan gelapnya ruangan saat itu membuat matanya tidak bisa melihat dengan jelas. Ia pun mendekatinya. Menerjang kerumunan orang – orang dan menghampiri pelayanan itu.
Namun saat ini sang pelayanan tersebut membalikan badan, harapan itupun sirna. Mentari yang hampir terbit, kini seakan tenggelam kembali.
Vano pun menghela napas sejenak. Ia kira sang pelayanan tersebut adalah Dimas. Karena dari kejauhan sekilas pelayanan tersebut mirip sekali dengan Dimas. Meski kenyataan berkata itu bukan Dimas, namun hati kecilnya seakan berkata lain. Rasa penasaran itu pun membuat hatinya menjadi gelisah tak karuan. Ia percaya bahwa hati kecilnya tidak pernah salah. Ia yakin bahwa suatu saat sang waktu akan mempertemukannya kembali dengan Dimas.
...
VANO YANG TAK MENYERAH
Berkali – kali Vano mendatangai club malam itu namun tak kunjung menemukan sosok yang ia cari. Rasa putus asa itu pun tergambarkan dengan jelas. Menyerah, adalah kata yang pantas untuk Vano. Mau sampai kapan ia terus berkelut dengan masa lalu. Mau sampai kapan ia akan terus berjalan mundur, padahal sang waktu selalu bergerak maju.
Langkah kakihnya perlahan mendekati mobil yang ia parkir , namun sesaat sebelum membuka pintu. Ia seperti mendenger suara orang yang sedang ribut.
Vano menghampiri sumber suara itu. Ia menatap dari kejauhan, kedua orang tersebut yang nampaknya sedang bertengkar.
Ia mengerutkan dahinya. Takala melihat bahwa pria tersebut adalah sang punjangga hati yang selama ini ia cari. Vano mencoba menghampiri Dimas, namun hati kecilnya berkata tidak. Vano bimbang. Ia mengurungkan niatnya dan memutuskan untuk pergi meski pikirannya masih dibayang – bayangi oleh Dimas.
KEGALAUAN MENGHANTUINYA….
Langit begitu cerah tapi hati Vano seakan mendung berselimut kalbu. Sang ayah pun mencoba menghampirinya yang sedang duduk di meja makan.
" Van, ada apa?" tanya sang ayah.
Vano hanya terdiam. Ia menutup rapat – rapat mulutnya. Pikiran dan hatinya sedang tak karuan.
"Van, papah ini bukan anak baru kemarin yang kenal kamu. Jika ada yang ingin kamu ceritakan, katakan saja"
Vano menghela napas…
Meski awalnya Vano ragu menceritakan hal ini kepada sang ayah, namun dengan perlahan – lahan ia pun menceritakan apa yang membuat pikirannya menjadi tak karuan.
Setelah bercerita, Vano lekas pergi. Namun saat ia ingin melangkahkan kakinya, sang ayah memegang dengan erat tangannya
"Van, jika kamu bertemunya kembali dan ia bukan seperti yang dulu. Maka relakan, jangan pernah paksa ia untuk kembali seperti apa yang kamu inginkan"
Vano menganggukan kepalanya dan lekas pergi..
DIMAS YANG TELAH BERUBAH…..
Untuk kesekian kalinya Vano kembali mendatangi tempat itu. Namun, kali ini ia hanya menunggu di dalam mobil. Berjam – jam lamanya Vano menunggu namun tak ada tanda – tandanya, padahal waktu telah menunjukan pukul 4.30 pagi. Rasa ngantuk dan Lelah itu pun seakan tidak bisa ditutupi lagi.
Ia pun mencoba memejamkan mata, namun tiba – tiba ia melihat seseorang keluar. Tidak salah lagi, itu memang Dimas. Tapi pikirannya kali ini semakin diselimuti oleh sebuah tanda tanya. Siapa wanita yang keluar bersama Dimas tersebut. Api cemburu seakan membakar dirinya, ia lalu bergegas menghampiri Dimas.
" Dim!!!" Bentak Vano.
Dimas sontak terkejut melihat kedatangan Vano. Ia tak habis pikir bisa bertemu dengan Vano setelah sekian lama menghilang. Mereka saling bertatapan. Sorot mata keduanya begitu tajam. Kemarahan nampak jelas di rawut wajah Vano. Ingin sekali rasanya ia menampar wanita itu, namun karena melihat kondisinya yang setengah sadar ia memillih diam.
"Kita harus bicara Dim" Kata Vano sambari meraih tangan Dimas.
Dimas sontak menepisnya. "Apa yang harus dibicarakan lagi van, semua udah jelas kan" tegas dimas.
Vano memohon. Dimas yang melihat rawut wajah teman lamanya itu pun menjadi iba. Ia pun akhirnya mengiyakan permintaan Vano.
Perdebatan merekapun dimulai. Vano dengan amarah yang mengebu – gebu mengeluarkan kata – kata kasar kepada Dimas. Namun, Dimas hanya diam seribu bahasa dan memandangi langit yang bisu.
"Setelah semua hal yang kita lalui bersama. Inikah balasan mu."
Dengan suara agak keras "Jawab Dim!!"
"Apa yang harus dijawab lagi Van!!. Semua sudah jelas!!" bentak Dimas.
Dimas lalu mendekati Vano. Tatapannya begitu penuh kebencian dan amarah.
"Loh dan gue gak akan pernah lebih dari sekedar teman, kita itu sama – sama cowok Van. Gak akan pernah bisa berpacaran. Gue udah punya kehidupan baru sekarang, jadi tolong loh jangan pernah ganggu hidup gue lagi".
Dengan perlahan Dimas pergi meninggalkan Vano, namun Vano seakan tidak ingin melepaskannya.
" Dim" ujar Vano sambil memegang tangan Dimas
Dimas berhenti sejenak. Lalu ia menampar vano sampai pipihnya memerah.
Malam itu menjadi hari terburuk bagi Vano, orang yang ia cintai dengan teganya menampar dirinya. Meski tamparan itu terasa sakit, namun hatinya jauh lebih sakit melihat orang yang ia cintai berubah. Ia tidak pernah menyangka bahwa Dimas bisa sekasar itu terhadapnya.
...
Tamparan itu seakan memberi gambaran
Bahwa cinta memang tidak bisa dipaksakan
Seperti halnya sebuah paku bengkok yang coba diluruskan
Jika terlalu keras maka akan patah
....
PERTEMUAN DIMAS & KA JEN….
Kejadian malam tadi tak hanya melukai pipih dan hati Vano namun ternyata juga menimbulkan kebingungan bagi Dimas. Ia sama sekali tidak menyangka bahwa bisa menampar Vano sekeras itu. Meski ada rasa penyesalan di dalam hatinya, namun ia juga tidak ingin kembali ke dalam kehidupan Vano. Ia tidak ingin menggali masa lalu yang telah ia kubur lama hanya karena persoalan asmara yang tak berujung.
…..
Saat Dimas sedang sedang duduk di teras depan kostnya sambil memikirkan kejadian tadi malam, tiba – tiba saja suara merintih kencang datang dari kamarnya. Ia pun bergegas menuju kamar.
"Kenapa kak" tanya Dimas sambil membuka pintu kamar
"Gak apa – apa kok, tadi cuman mimpi buruk ajah" ujar wanita itu .
Dimas pun memberikannya segelas air.
"Oh ya, makasih buat tadi malam. Gue gak tahu deh kalau gak ada loh gimana nasib gue" ujar wanita itu.
Jen adalah seorang wanita muda, cantik, dan berkulit putih namun ia berprofesi sebagai wanita bayaran. Meski dirinya menjalani profesi yang dianggap sebagian besar masyarakat hina bahkan terkutut. Namun ia seakan tidak memiliki pilihan lain. Sejak kecil ia sudah dititipkan dipanti asuhan karena sang ibu sudah meninggal dan sang ayah yang menikah lagi dengan wanita lain dan meninggalkannya.
Di dalam hati kecilnya Jen juga ingin sekali berhenti dari profesi ini, namun apa daya ia tak seakan tak punya pilihan yang lebih baik. Ia sadar usianya akan semakin menua dan tidak mungkin bisa selamanya menjadi wanita bayaran. Tapi, untuk saat ini, pekerjaan sebagai wanita bayaran adalah yang terbaik baginya untuk bertahan hidup
Setelah melihat keadaan Ka Jen lebih baik, Dimas mengantarkannya pulang di kediamanya di bilangan Jakarta Timur. Sesampainya mereka disana, tiba – tiba saja anak seorang anak kecil berlari dari berteriak mama. Jen pun memeluk anak itu dengan erat. Pelukan hangat seorang ibu yang tak pernah luntur oleh waktu.
Meski saat ini Jen berprofesi sebagai wanita bayaran, namun ia cukup beruntung karena sempat menikah. Meski pada akhinya sang suami harus meninggal karena kecelakaan. Rumah dengan luas 150 meter ini pun merupakan peninggalan dari almarhum sang suami yang ia rawat hinggi kini.
" Mau minum apa Dim?"
"Apa ajah kak"
Tak berselang lama Ka Jen membawakan segelas Es jeruk.
"Oh ya, semalam waktu gue duduk keknya gue denger loh ribut – rebut sama cowok, ada apa emangnya?"
Dimas terdiam….
Ia hanya menatap langit.
Melihat Dimas yang terdiam Ka Jen pun jadi merasa tidak enak hati.
"Tapi kalau loh gak mau cerita juga gak apa – apa sih. Sorry ya mungkin pertanyaan gue terlalu privasi" ujar Jen sambil menyetuh tangan Dimas
Dimas berfikir sejenak. Tatapan terlihat kosong.
"Gak apa – apa kok kak. Mungkin loh adalah orang pertama yang baru gue kenal dan gue ceritakan ini"
….
Setelah mendengarkan cerita dari Dimas, Ka Jen menjadi paham tentang masalah yang sedang dihadapinya.
"Are You Gay?" Tanya Ka Jen.
Dimas hanya terdiam. Ia seakan tak bisa menjawab pertanyaan itu. Ia bukanlah seorang gay, tapi entah mengapa ia begitu merasa bersalah sesaat setelah menapar Vano. Apakah itu karena kasihan atau cinta yang terpendam. Entahlah. Lagi dan lagi, mungkin hanya sang waktu yang mampu menjawab pertanyaan itu.
Dimas dan Ka Jen pun saling bercerita satu sama lain tentang kehidupannya masing – masing. Sampai tak terasa waktu telah menunjukan pukul 4 sore. Dimas pun pamit untuk pulang.
"Loh mau gak gue tawarin pekerjaan yang menghasilkan uang dengan cepat dan banyak?"
Dimas mengerutkan dahinya. Seolah ia tidak mengerti apa maksud dari Ka Jen. Ia pun kembali bertanya kepada Ka Jen apa maksud dari pertanyaan itu.
"Ya kayak gue ini" ujarnya sambil menujuk dirinya
"Aduh, gue belum pernah kepikiran ka untuk sampai bekerja seperti itu. Bisa bekerja dengan kondisi sekarang ajah udah bersyukur"
Ka Jen menggelengkan kepala. Ia lalu menempuk pundak Dimas.
"Hidup itu keras dim, dan kita gak boleh pasrah sama nasib. Memang uang bukan segalanya, tapi apa lo bisa hidup tanpa uang".
DIMAS DAN KEHIDUPAN BARUNYA...
Sejak pertemuannya dengan Ka Jen, Dimas seakan memiliki kakak. Meski mereka belum lama saling mengenal. Tak jarang, Dimas kini sering berkunjung ke rumahnya untuk sekedar ngobrol atau bermain dengan anaknya.
Hingga pada suatu ketika Dimas memberanikan diri mengirim pesan singkat kepada Ka Jen untuk menerima tawarannya.
....
Keraguan nampak jelas di rawut wajahnya. Berkali – kali ia hanya melihat layer ponselnya dan mondar mandir di sebrang cafe tempat janjian dengan Ka Jen. Ka Jen berulang kali menghubunginya, namun tangannya seakan tidak bisa bergerak untuk menjawab panggilan itu. Pikirannya mulai terombang – ambing di antara pilihan dosa atau materi.
Tapi bukankah materi adalah hal yang paling nyata di dunia ini. Bukankah itu yang sebagian besar manusia cari agar bisa bertahan hidup. Lalu, mengapa ragu untuk meraihnya.
Meski masih diselimuti keraguan, akhirnya ia memutuskan untuk menemui Ka Jen di cafe tersebut. Disana sudah menunggu Mami Lisa. Mami lisa adalah orang yang mengenalkan dunia malam kepada Ka Jen, bahkan tawaran untuk melayani pria hidup belang pun datang dari mami Lisa.
Dengan nada terbata – bata akhirnya ia pun mengiyakan tawaran itu, meski dalam hati kecilnya seakan berkata lain.
6 BULAN KEMUDIAN…..
Dimas telah benar – benar berubah menjadi sosok pria idaman. Tubuhnya kini sudah jauh lebih berotot. Mungkin saja , jika Vano melihat sosok Dimas yang sekarang ia akan semakin tergila – gila.
Malam itu pun menjadi saksi bagaimana liarnya ia melumat habis setiap area sensitif pelanggan yang meminta jasanya. Tak ada sejengkal pun yang terlewatkan, nafsu dan materi telah membiuskannya ke dalam dunia baru. Dunia yang membawanya pada kenikmatan duniawi….
Bersambung…