AMARAH YANG TERTAHAN….
Mentari telah menampakan dirinya, ia menerangi kehidupan di muka bumi, meski tak jarang ada yang membencinya. Pagi itu, Vera sudah menyiapkan sebuah sarapan pagi untuk anak dan suami tercintanya. Nasi Goreng, Telur dadar, Sosis dan segelas susu sudah tersai rapi di meja makan.
Meski jarum jam belum menunjukan pukul enam, namun Vera telah menyiapkan semuanya. Wanita paruh baya itu hampir setiap pagi selalu menyiapkan sarapan untuk kedua orang yang ia cintai. Sarapan yang disajikan Vera bukan hanya sekedar hidangan untuk mengisi perut yang kosong, tapi menjadi waktu untuk mendekatkan diri dengan anak dan suaminya.
Sudah menjadi sebuah kebiasaan di keluarganya bahwa saat sarapan pagi sembari berbincang – bincang. Tak heran keluarga ini memang begitu harmonis dan tak jarang diterpa masalah yang amat besar.
Sembari menunggu Hans dan Chris, Vera bergegas ke kamar mandi untuk membersihkan diri agar saat kedua pangerannya tiba ia tetap terlihat memesona. Dengan perlahan ia berjalan menuju kamar mandi. Sembari sesekali ia memainkan rambutnya. Namun, tiba – tiba saja langkah kakinya terhenti. Ia mendengar sebuah percapakan Hans dengan seseorang melalui sambungan telepon.
Ia terdiam sejenak, lalu mencoba mendekati Hans yang tengah asyik berbincang melalui telepon genggam. Nampak dari kejauhan wajah suaminya begitu gembira. Seperti anak kecil yang baru diberikan sepeda oleh orang tuanya.
Vera yang curiga pun, perlahan mendekati Hans, namun hati kecilnya seolah berkata lain. Pikirannya seolah membawa Vera dalam sebuah kecurigaan, tapi hati kecilnya seolah bertolak belakang. Vera seakan bertempur dengan dirinya sendiri. Ia bimbang. Memilih mendekati suaminya atau melangkah mundur.
Vera lalu membalikan badan. Meski dengan berat hati, ia pun melangkah mundur. Namun, sesaat sebelum ia melangkahkan kakinya, sebuah ucapan manis terdengar dari mulut Hans. Ucapan yang seolah menusuk hati seorang istri. Air matanya pun berlinang. Ia mengempalkan tangannya seraya bisa menahan amarah yang begitu membesar.
Amarah seorang istri takala mendengar sang suaminya mengucapkan sayang kepada orang lain. Vera tak pernah menyangka bahwa Hans akan menduakan cintanya. Cintanya yang telah mereka ukir. Rumah tangga yang telah mereka bina, seolah runtuh ketika kalimat sayang ditunjukan untuk orang lain. Orang lain yang diundang, namun berhasil masuk dalam kehidupan rumah tangganya.
Vera, adalah sosok istri yang begitu kuat. Ia mampu menahan amarahnya dan mencoba berfikir positif tentang suaminya. Setidaknya itulah yang bisa ia lakukan saat ini. Ia laksana malaikat tanpa sayap. Mencoba tegar, namun tetap saja hati seorang wanita terlalu rapuh, apalagi jika cintanya digadaikan dan diduakan.
…..
OBROLAN DI MEJA MAKAN…
Meski hatinya baru saja teriris – iris, akan tetapi Vera seakan tidak mau menunjukan kesedihannya. Dihadapan anak dan suaminya Vera seolah menujukan ketegaran yang luar biasa. Ia nampak tersenyum manis sembari menuangkan susu ke gelas Hans dan Chris.
Mereka pun makan bersama seperti layaknya sebuah keluarga yang harmonis. Meski dalam kenyataannya Hans sedang bermain api, yang bisa saja membakar rumah tangganya sendiri.
"Masakan mami memang paling enak" Puji Chris.
Vera hanya tersenyum. Sesekali ia memandang suaminya yang sedang menyantap makanan.
"Gimana mas nasi gorengnya, enak?" Tanya Vera dengan lembut.
Chris hanya membalas pertanyaan tersebut dengan mengangguk. Tak ada sepatah kata pun yang ia ucapakan, padahal Vera berharap bahwa sang suaminya memuji masakannya.
Wajah wanita paruh baya itu pun seketika berubah. Vera menampakan kesedihan meski bibirnya tersenyum palsu. Ingin sekali ia meneteskan air matanya, tapi ia mencoba menahan segala kesedihan yang dirasakan. Ia tak ingin suasana pagi ini justru berakhir dengan keributan.
Vera mencoba menghilangkan kepedihan itu dengan meneguk segelas air. Namun, saat ia ingin menuangkan air, tiba – tiba saja ponsel Hans yang berada di atas meja berdering. Terlihat sebuah panggilan masuk dari seseorang. Vera mencoba melirik, namun tangan Hans yang jauh lebih siggap membuat ia tidak bisa melihat dengan jelas siapa yang menelpon suaminya tersebut pagi – pagi seperti ini.
Hans lalu beranjak menjauh dari meja makan untuk mengangkat panggilan masuk tersebut. Gerak – gerik dari suaminya membuat Vera semakin menaruh curiga. Ingin sekali rasanya Vera mendekati Hans dan membentaknya. Namun, ia takut. Takut bahwa apa yang menjadi ketakutannya hanyalah ilusi semata. Ia takut bahwa ini hanyalah pikiran negatif yang ia ciptakan sendiri.
…
Setelah beberapa menit berlalu Hans kembali ke meja makan dengan wajah yang amat Bahagia.
" Oh ya, besok aku ada tugas keluar kota, mungkin sekitar 2- 3 hari." Ujar Hans
Vera melirik suaminya dengan sangat tajam.
"Tumben dadakan mas.?" Tanya Vera dengan nada yang agak ketus.
"Iya, tadi karena ada meeting dadakan".
"Mau aku siapkan mas pakainnya?" Tanya Vera.
"Oh, gak usah, aku udah packing sendiri kok"
Vera hanya menganggukan kepala.
"Oh ya Chris, nanti kamu ke kantor papa ya buat ambil kunci mobil. Karena papa pulang kerja langsung berangkat"
"Baik pah"
" Udah ya aku berangkat dulu".
Hans berjalan tergesa – gesa, sampai – sampai tas yang pegang pun terjatuh.
"Hati – hati mas, jangan buru – buru" Ujar Vera.
Sekali lagi ia menatap sang suami dengan penuh cemas. Kecemasan yang seolah membuat hati kecilnya bertanya – tanya. Pertanyaan yang seolah ia sendiri pun tak bisa menemukan jawabannya. Pertanyaan yang masih mengundang tanda tanya.
…
Andaikan waktu bisa diputar kembali, Vera ingin sekali bisa kembali ke masa lalu. Masa dimana rumah tangganya begitu harmonis. Penuh cinta dan kasih sayang dari suami dan anaknya. Bagi Vera, kebahagiaan terbesar dalam hidupnya adalah bisa berumah tangga dengan Hans. Apalagi setelah kehadiran Chris, anak semata wayangnya. Hidupnya seakan sempurna.
Tak perlu kekayaan berlimpah, asal bisa merasakan kebahagian bersama anak dan suaminya, itu sudah lebih dari cukup. Tapi…semua itu seakan berlalu begitu cepat. Masa – masa itu seakan ditelan bumi dan tak kunjung kembali.
Kehidupan rumah tangganya belakangan ini memang cukup rumit. Meski belum bisa menerka apa yang akan terjadi, namun Vera seakan sudah pasrah jika pada akhirnya ia tahu bahwa sang suami tidaklah mencintai dirinya. Ia seakan ikhlas jika pada akhirnya rumah tangga yang telah dibina selama ini harus berakhir di meja hijau.
…
Tak banyak wanita seperti Vera di dunia ini. Apalagi jika sudah menyangkut persoalan rumah tangga. Vera, wanita paruh baya ini seolah ingin menunjukan pada dunia. Bahwa wanita adalah makhluk yang kuat tapi sekaligus rapuh. Seperti halnya filosofi wanita itu sendiri. Dimana wanita diciptakan dari tulang rusuk pria.
…
Kini, ia sedang menanti. Menanti sebuah jawaban tentang akhir dari perjalanan rumah tangganya.
…
….
Mengejar Waktu ?
Tapi bukankah waktu tak bisa dikejar
Lalu, mengapa seakan kita begitu denial
….
Bersambung…