Chapter 6 - 5

Sampai di rumah, Ia duduk termenung di sofa. Memikirkan semua yang sudah Ia lalui dan juga keputusan selama ini yang Ia buat. Rasanya tidak salah loh. Banyak kok karyawan sepertinya tapi perjalanan cinta mulus-mulus saja, banyak kok teman nya di kantor yang sudah menikah dan hidup aman tentram dengan bini nya, nggak kesusahan seperti yang dibayangkan emak nya Bella.

Jadi karyawan itu normal kan? kenapa sih semua orang memandang rendah karyawan? Gajinya lumayan kok apalagi dia juga nyambi kerja di bengkel.

"Ditolak ya Mas?" Irham menoleh kepada seseorang yang kini ikut duduk bersama nya di sofa sambil selonjoran kaki. Sepupunya paling tua, Kang Ares.

"Iya Kang, padahal lagi sayang-sayang nya." jawab Irham lesu.

"Sama, gua juga mesti lepasin cewek gue Mas, katanya lelaki yang emak nya siapin lebih baik dari gue, Mas. miris banget nggak sih? padahal gue kan udah sempurna banget gini." Cerocos Ares jumawa, sang sepupu dari pihak ayahnya ini emang paling sempurna.

"Gua emang banyak cacat nya sih, nggak heran ditolak. Kalau lo yang ditolak, udah nggak bisa mikir lagi deh gua. Cewek-cewek sekarang emang udah pada gila." Rutuk Irham lalu menoleh melihat Ares yang sama lesunya dengan dirinya.

Ares kebalikan dari Irham yang serampangan. Ares meneruskan perusahaan arsitek keluarga nya yang dirintis dari turun-temurun oleh kakeknya, Hamis Abdaya. Ares mengelola perusahaan itu bersama dengan para sepupu nya yang lain dengan jabatan dirinya sebagai CEO. Apa sih yang nggak dipunya Ares kalau dipikir-pikir, harta, tahta dan tampang jelas Ia miliki. Kemana-mana selalu rapi dan wangi, punya mobil berderet di garasi rumah, apa lagi sih yang kurang. Namun walau begitu, Ares sama sialnya dengan Irham, gagal menggenggam tangan wanitanya untuk dibawa ke pelaminan.

"Tidur yuk Mas, lemas gua." Ajak Ares yang bangkit dari posisi nya lalu beranjak ke lantai atas, Irham mengekor dari belakang. Mereka masuk ke kamar Irham dan merebahkan tubuh di ranjang besar sang empunya kamar. Ada Haikal disana yang kini asik menyusun puzzle bersama Irhas.

Irham menyusul Ares dan merebahkan tubuhnya disisi sang kakak sepupu.

"Good news or bad news, Mas?" tanya Irhas kepo. Seluruh penghuni rumah sudah tahu kemana anak sulung itu pergi tadi setelah magrib. Menemui calon mertua, yah sudah pernah beberapa kali dan sering berakhir tidak baik.

"Bad." Sahut Irham singkat.

Irhas menghela nafas kasar dan tidak berkata apa-apa lagi. Ia kembali sibuk dengan Haikal yang kini sedang mengatur puzzle besar bergambar Zootopia. Dalam hati Irhas, Ia ikut sedih karena kakak nya lagi-lagi ditolak.

Pintu kamar Irham kembali terbuka dan masuk dua orang setelah nya. Seorang lelaki dengan raut wajah datar dan tak pernah tersenyum dan satu lagi perempuan paruh baya yang merupakan Ibu nya.

"Geser mas." Irsyad meminta Irham geser sedikit lalu ikut merabahkan tubuhnya di ranjang besar itu bersama 2 saudaranya. Irsyad ini walau dingin-dingin nggak jelas tapi paling tidak boleh ketinggalan bergabung dengan saudara-saudaranya. "Batal kawin ya?" tanya Irsyad setelah berhasil merebahkan tubuhnya di ranjang.

Pertanyaan asal dari Irsyad mengundang cubitan pedis di kaki Chef muda itu yang langsung di hadiahkan oleh Cindy, sang Ibu. Batal kawin apaan, belum juga apa-apa udah kandas.

Cindy duduk di tepi ranjang dan mengusap pelan rambut Irham, sudah tahu apa hasilnya setelah melihat keruh di wajah sang putra. "Jangan sedih-sedih mas, semua ada hikmahnya."

Irham menaruh lengan nya menutupi matanya yang sudah berkabut air mata, "Rasanya sakit Bu, dihina-hina mulu. Bukan sekali tapi berkali-kali. Emang nya kenapa kalau karyawan?" tanya nya dengan suara serak.

"Jangan cengeng ih, besok kamu ngomong lagi baik-baik sama Bella mana tahu ada jalan."

"Mama nya emang udah nolak aku mentah-mentah Bu, diusir aku loh." Curhat Irham pada Cindy.

Mendengar itu, alih-alih sedih dan prihatin, Cindy malah terkekeh lalu diikuti saudara nya yang lain, mereka tertawa meledeknya.

"Udah cukup drama nya ya, Mas." peringat Cindy sambil menepuk-nepuk pelan bahu sang anak. "Nggak usah jadi orang lain, jadi diri sendiri aja. Nggak perlu cari yang mau hidup susah, kalau ada yang mau dibahagiain sama kamu, udah itu aja kamu ajak ke pelamin ya, Mas."

"Udahlah, ngebengkel aja aku Bu, nggak mau lamar anak orang lagi seumur-umur. Biar jadi perjaka tua aku tuh."

"Haiiih mulutnyaaaa…" Cindy menyerang perut Irham dengan cubitan maut nya, memperingati Irham jangan ngomong sembarangan lagi. "Ngomong nya asal aja."

"Ampun Bu, ampun." Pekik Irham kesakitan karena dicubit tiada henti oleh Cindy.

"Udah ah, solat sana habis itu tidur. Jangan ngomong macam-macam."

"Iya iya. . ."

"Haikal, sini sama Oma kita tidur." Haikal ikut dengan Cindy dan keluar dari kamar Irham. Irhas menuju ranjang dan ikut berbaring.

Kini ada 4 orang lelaki dewasa sama-sama berbaring diatas ranjang Irham dengan masing-masing pikiran yang melalang buana entah kemana. Lama terdiam tak bersuara, fokus berbaring dan menikmati keheningan yang melanda.

"Liburan yuk, Mas." ajak Ares pada Irham. Lelaki patah hati yang butuh hiburan.

"Hayuk lah." Jawab Irhas dengan semangat.

"Lo nggak diajak. Lo kuliah." Sahut Ares singkat. Irhas memang pecicilan, nggak tahu diri. Irhas mahasiswa kedokteran di sebuah pengguruan tinggi terbaik di Indonesia dan kini sedang dalam masa aktif kuliah. Kalau masalah liburan memang Irhas paling semangat namun Ia juga yang tidak pernah benar-benar pergi, yah namanya juga mahasiswa. Sibuk.

Tak ada percakapan lebih lanjut dan kembali hening menyelimuti.

"Kuala Lumpur, deal or no deal?" tiba saja suara Irsyad menyambar setelah lama terdiam. Tumben si kulkas bersuara.

"DEAL." Sahut Irham, Irhas, Ares serempak.

Liburan apa mudik dah itu.

Yah, keluarga besar kakek dari Ayahnya berada di Kuala Lumpur semua. Alih-alih seperti orang lain yang liburan ke Malaysia, mereka lebih menganggap Malaysia seperti kampung halaman.

"Kapan berangkat? Gue pesanin tiket nih."

"Jumat sore aja, Kang. Gua mau resign nih, ngurus kantor dulu." Sahut Irham.

"Seriusan Mas mau resign?" tanya Irhas tak percaya.

Putus cinta yang dialami Irham rasa nya bukan kali ini saja deh, udah sering malah. Tapi, kalau kalau ini sampai sanggup resign dari pekerjaan nya, bah luar biasa. Orangtuanya saja yang membujuk Irham tidak pernah luluh dan menuruti keinginan mereka supaya keluar dari perusahaan, kali ini tanpa diminta langsung berinisiatif.

"Iya serius, sayang juga sama Abi. Nanti biar Abi jadi supir pribadi Ibu aja kalau ke kampus." Kelakar Irham. Cindy sang Ibu masih aktif mengajar. Ya, Cindy adalah dosen di FEB di universitas almamater nya.

"Sialan, hahaha." Decak Ares lalu tertawa mendengar kelakar Irham.

[***]

"Udah siap?" tanya Arkan pada Citra. Lelaki berprofesi sebagai perwira itu menjemput Citra di klinik. Lelaki itu mengajak nya ngopi. Sudah lama mereka tidak jalan apalagi setelah pagi dimana Arkan di usir oleh Citra, mereka bahkan tidak lagi saling bertukar kabar.

"Udah nih, yuk. Ngopi di Setarbak aja ya?"

"Nggak mau coba yang tempat sepupu aku nih?" tanya Arkan memberi opsi. Mobil yang Arkan kendarai mulai bergerak menjauh dari klinik tempat Citra bekerja.

"Oh sepupu kamu buka warung kopi?"

"Iya, dia sebenarnya Chef gitu, udah punya hotel juga sih tapi jiwa bisnisnya memanggil dia buat buka café gitu, warung kopi gini kan lagi ngehits banget ya kan." Jelas Arkan panjang lebar.

"yaudah sih gas aja." Sahut Citra santai.

"Salut aku sama dia, masih muda gitu udah banyak usaha nya, hotel lah, ada villa juga, sekarang buka kafe lagi." Cerita Arkan pada Citra.

"Hebat juga, umur berapa Ar?" tanya Citra takjub. Bisa ya muda gitu udah banyak bisnis nya.

"Udah 24-25-an gitu." Beda 2 tahun dengan Arkan sendiri.

"Waaahhh. . ." takjub Citra.

Perjalanan menghabiskan waktu 30 menit hingga sampai ke tempat tujuan mereka. Baby's Syad Café. Tempat nya cukup elegan dilihat dari luar. Ada banyak tanaman hijau menghiasi kafe tersebut dan keseluruhan kafe tersebut berwarna putih beserta campuran coklat susu.

Banyak sepeda motor dan juga mobil yang terparkir di tempat khusus parkir kafe tersebut menandakan banyak orang dalam kafe tersebut.

Saat membuka pintu kafe tersebut, lonceng yang ada di pintu berbunyi dan mengundang tatapan ramah beserta senyum dari orang-orang dibalik meja counter barista.

"Sini yuk, sofa aja." Ajak Arkan pada Citra.

"Enak disini, adem gitu."

"Iye makanya. . . sedap kan."

Arkan melambaikan tangan nya saat seorang lelaki berumur sekitar 24 tahunan turun dari lantai dua kafe tersenyum, wajahnya datar tanpa ekpresi apapun. Lelaki tersebut menghampiri Irsyad dan menyalim nya hikmat.

"Udah lama bang?" tanya nya basa-basi. Wajahnya tetap kaku tanpa banyak ekspresi disana.

"Baru aja sampe nih," jawab Arkan sambil tersenyum ramah.

Lelaki itu berusaha tersenyum tapi malah tampak seperti meringis, "Abang pesan aja, entar bill nya biar Icad yang tanggung."

"Halaah, selow aja." Arkan mengibaskan tangan di udara, "Oh ya ini kenalin teman nya Abang, Citra."

"Hai !" Irsyad menyalim tangan Citra seperti menyalim tangan Arkan, menempatkan tangan Citra di dahi.

"Aduh nih anak emang sopan banget, dia sebaya sama lu kali Cad, disalim segala."

"Euh. . ." balas Isyad benar-benar meringis. "Icad balik dulu, bye." Pamitnya.

Citra terkekeh geli melihat tinggah Irsyad yang kaku, datar dan agak malu-malu. Lelaki itu keluar dari kafe nya dengan buru-buru.

"Dia emang sekaku itu atau gimana?"

"Iya sekaku itu, diam aja anak nya. itu dia ngomong sama aku juga udah terpaksa kali, sopan santun aja tadi tuh, bah sebenarnya udah malas banget dia tuh." Jelas Arkan sambil tersenyum geli.

"Nampak sih Ar, dia kayak maksa banget buat ramah tapi gagal."

"Hahaha. . . "

Citra sepertinya mengenal Irsyad tapi Ia yakin kalau mereka tidak pernah bertemu.

"Dia agak mirip siapa gitu, tapi siapa ya?" tanya Citra dengan suara kecil sambil berusaha mencari jawaban nya dari memori ingatan nya. wajah Irsyad tidaklah asing di penglihatan nya, seperti ada sesorang lain yang berduplikat sama dengan lelaki itu tapi Citra tidak tahu jelas siapa.

Arkan dan Citra berbicara banyak sore itu sambil ngopi santai di kafe Irsyad. Selama mereka berbicara, Arkan benar-benar memandang Citra penuh pujian dan Cinta. Tapi di satu sisi, Arkan juga merasakan sakit karena tahu dokter cantik di depan nya ini tidak mempunyai perasaan yang sama dengan nya, menolak nya bekali-kali.

"Citra,"

"Hemm?" sahut Citra sambil menaikkan sebelah alisnya kepada Arkan yang kini sedang menyugar rambutnya gusar.

"Kamu benar-benar nggak punya perasaan apa-apa sama aku?" tanya Arkan dengan hati-hati. Bagaimana pun topik ini cukup sensitif.

Citra tersenyum tipis dan menggelengkan kepalanya, "Nggak, aku nganggap kamu kayak kakak ku sendiri. kayak Kak Atta."

Arkan meringis pelan mendengar jawaban Citra itu, berarti Ia sama sekali tidak punya kesempatan lagi.

"Aku harus move on berarti kan?"

"Yes of course, jangan nyakitin diri kamu sendiri, Ar. Maafin aku ya." Sahut Citra dan menggenggam sebelah tangan Arkan. Lelaki bertubuh tegab itu memberikan senyum tipisnya kepada Citra.

Ya, Ia hrus belajar untuk kembali memandang Citra sebagai teman lagi kalau begitu. Ia harus move on benar-benar harus move on.

Arkan memberikan invitation card kepada Citra setelah mereka terdia cukup lama tanpa percakapan. Citra sukses membolakan matanya saat membuka kartu undangan itu.

"Kamu mau tunangan?" tanya Citra tak percaya.

"Iya, aku dijodohin sama Bonyok sama anak tetangga komplek."

"Serius, Ar?" tanya Citra masih tak percaya. Tiba-tiba sekali.

"Serius, dua rius malah. Aku benar-benar akan move on dari kamu." Arkan berkata serius sambil menatap Citra yang kini sedang membaca isi dari kartu undangan yang Ia beri.

"I am happy for you, Ar…" Ujar Citra tulus. Yah, siapa yang tahu kalau begini akhirnya. Citra harus bahagia saat teman nya memilih kebahagian nya dan meninggalkan kesakitan mencintai dirinya.

[***]