Alexa awalnya sedang fokus melihat Mike yang mengaduk krim. Kedua orang itu juga sedang berbincang, membicarakan soal penampilan kue yang manis. Sesekali. Mike akan menceritakan pengalamannya belajar menjadi seorang patissier hingga seperti sekarang. Keadaan dapur juga sudah kembali tenang seperti biasa setelah semua orang sibuk dengan kegiatan masing-masing.
Tidak ada yang menduga akan ada keributan lain yang menyusul. Alexa pun demikian. Kondisinya sedang mengamati kegiatan Mike, sehingga, mau tak mau, dia jadi kaget ketika tubuhnya didorong keras dari samping, bersamaan dengan sergahan kasar, "Minggir! Jangan menghalangi!"
Begitu tubuh Alexa terdorong ke samping, dia langsung oleng, tak menyangka jika sikunya menyenggol pegangan panci, membuat benda itu jatuh dari kompor dan mengenai tangannya.
"Kyaah!" Dia merasa tangannya seperti terbakar. Karamel panas yang masih bergelembung itu sudah tumpah mengenai tangan dan pakaiannya. Bahkan, karena rasanya terlampau sakit, air mata segera menggenang di pelupuk matanya.
"Alexa!" Mike langsung bergegas menolong Alexa yang terjatuh. Dia juga menyadari bahwa lelehan karamel mengenai tangan gadis itu. Kerja otaknya berjalan cepat, berusaha agar tempat kulit terkena lelehan karamel tidak melepuh.
Mike segera membantu Alexa berdiri dan membawa tangan gadis itu ke atas wastafel. Keran dinyalakan, dan dia membiarkan air mengaliri tangan yang terkena lelehan karamel. Sementara itu, Alexa hanya meringis dan menahan tangisnya karena terasa amat sakit.
"Tidak apa-apa?" kata Mike dengan nada khawatir.
Tidak ada jawaban lisan dari Alexa selain gelengan pelan. Tentu saja, tidak ada orang yang tetap baik-baik saja setelah terkena lelehan karamel sebanyak itu. Jika lukanya tidak cepat ditangani, bisa-bisa akan semakin parah, dan meninggalkan bekas terbakar.
Koki lainnya langsung menoleh ke arah keributan. Tidak ada yang tidak khawatir melihat keadaan Alexa saat ini. Salah satu dari mereka bahkan segera berseru, "Akan kuambilkan es!��� dan bersiap pergi menuju ruang pendingin.
"Jangan es! Nanti semakin sulit sembuh," teriak Mike sambil terus mengalirkan air di tangan Alexa yang sudah memerah.
Koki yang akan mengambil es itu pun berhenti dan tetap di sana. Alih-alih kembali bekerja dan menonton, dia memutuskan membereskan tumpahan karamel di lantai dan menyingkirkan teflon panas agar tidak mengenai orang lainnya.
"Ada lagi yang kena karamel?" Kali ini, yang bicara adalah Isaac. Entah sejak kapan, dia sudah berada di sebelah Alexa dan menanyakan keadaannya.
Gadis itu mengangguk pelan sambil meringis menahan air mata. "Pa … pahaku…" balasnya lirih.
"Chef Mike, lebih baik bawa ke kamar mandi saja."
"Kau benar. Bersihkan di kamar mandi saja, Alexa. Biar kubantu."
Isaac hanya mengangguk mengiakan, membiarkan dua orang itu masuk ke toilet dapur restoran untuk membasuh bagian lain yang terkena lelehan karamel. Mereka tidak bisa membuang waktu lebih lama. Jika lukanya semakin parah dan meninggalkan bekas, Mike punya kemungkinan besar dipecat dari sini, dan dia tak ingin itu terjadi. Anak dan istrinya nanti makan apa jika dia jadi pengangguran?
Sementara itu, tak lama setelah Alexa dan Mike meninggalkan dapur, Chef Smith masuk dengan wajah berang.
"Jika kalian bosan bekerja di sini, katakan saja! Tidak usah menghancurkan dapur!" teriak pria itu keras. Bahkan, sepertinya para tamu yang sedang makan di restoran bisa mendengar suara bentakannya.
Begitu mata Smith tertuju pada kekacauan di lantai, lagi-lagi dia meninggikan suaranya. "Kalian bukan bayi yang baru belajar masak! Bisa-bisanya menumpahkan karamel di lantai!"
Chef Jim, yang sedang membereskan lelehan karamel, sampai berjengit kaget karena tidak menduga ikut kena marah. Padahal dia tidak salah apapun, kenapa pula harus kena marah? Baru saja dia akan memberikan penjelasan pada Chef Smith, Isaac sudah menyela terlebih dahulu.
"Ini bukan kecerobohan Chef Jim. Beberapa saat lalu ada Alexa di sini, dan dia terdorong sampai jatuh, lantas terkena lelehan karamel panas." Isaac menjelaskan dengan suara tenang. Namun, di bagian akhir kalimat, dia mengarahkan kepalanya ke arah Emy yang berada tidak jauh di sana.
Gestur sederhana itu sudah bisa dipahami oleh Smith. Biar bagaimanapun, mereka berdua mengeluhkan orang yang sama. Tidak ada yang menyangka jika kejadian yang mereka khawatirkan akan terjadi secepat ini.
Sadar dirinya sedang dipandang dengan pandangan menyalahkan oleh Isaac, Emy tidak terima. "Bukan salahku! Dia saja yang menghalangi jalan dan tidak menjaga pancinya dengan hati-hati!"
Chef Smith langsung memijit kepalanya yang mendadak sakit. Dia menarik napas dalam beberapa kali untuk meredakan amarahnya. Padahal, sudah lama sekali dia tidak marah-marah pada karyawan dapurnya.
"Dengar, Emy. Kami semua berusaha membuat Alexa bersedia dan diperbolehkan bekerja di sini meski bukan sebagai koki permanen. Jika Tuan Fitzroy sampai melarang anak itu kemari lagi gara-gara kau…" Chef Smith menggantung kalimatnya. Sebagai gantinya, dia menarik napas dalam sekali lagi. "Sejujurnya, kehilangan kau di sini tak akan merugikan kami."
Kalimat dari kepala koki bagaikan petir yang menyambar di siang hari. Emy sampai membelalakkan matanya tidak percaya. Berani-beraninya mereka mengatakan tidak butuh dirinya hanya karena perempuan jalang itu!
Sayangnya, Emy tidak bisa membalas apapun. Sekesal apapun dia mendengar kalimat dari Chef Smith, dia tidak menyangkal jika masih butuh pekerjaan, sementara harga dirinya terlalu tinggi untuk meminta maaf. Wanita tersebut hanya membuang muka dan pergi dari dapur dengan langkah dihentakkan.
"Lebih baik kita membawanya ke rumah sakit untuk mendapatkan perawatan lebih lanjut."
Mike kembali muncul bersama Alexa. Di tangan kiri gadis itu sudah ditutupi oleh handuk lembab, berharap bisa sedikit meringankan rasa sakitnya. Wajahnya terlihat kacau, karena raut kesakitan masih terlihat jelas di sana.
"Lukanya sudah memerah. Aku khawatir kalau tidak segera diobati bisa meninggalkan bekas," tambah Mike lagi.
Isaac mengangguk. "Biar kuantarkan saja." Kemudian, pemuda tersebut menoleh ke arah kepala koki. "Aku tidak akan lama, Chef."
"Ya, hati-hati."
Setelah mendapat izin dari kepala koki, Isaac tak ingin membuang waktu di sana. Dia segera menggandeng Alexa dan membawanya menuju lobi, berniat pergi ke tempat parkir bawah tanah. Isaac akan mengantarkan gadis itu ke rumah sakit menggunakan mobilnya.
Namun, saat keduanya menunggu di depan lift, Skylar muncul di balik pintu lift yang terbuka. Tampaknya dia baru saja sampai di hotel setelah menyelesaikan urusannya apapun itu. Tentu saja, melihat salah satu kokinya bersama Alexa di depan lift membuat alisnya mengerut. Terlebih lagi, keadaan Alexa saat itu jauh dari kata baik-baik saja.
"Ada apa?" Tanpa melangkah keluar dari lift, Skylar bertanya, membiarkan keduanya masuk ke dalam lift, berniat turun ke bawah tanah.
Isaac tidak menyangkal jika dia kaget melihat kemunculan Skylar di balik pintu lift. Namun dia tetap tenang dan menjawab pertanyaannya, mengesampingkan kekhawatiran dia akan dimarahi atau tidak. "Alexa tidak sengaja terkena tumpahan karamel panas karena didorong seseorang. Kami sudah membilas lukanya dengan air, dan sekarang akan saya bawa ke rumah sakit."
"Tidak usah," potong Skylar cepat. Lift berdenting, kemudian pintunya membuka begitu mereka sudah tiba di tempat parkir bawah tanah. "Biar aku yang bawa ke rumah sakit. Kau kembalilah ke restoran. Sebentar lagi jam makan malam."
Isaac sebenarnya ingin melawan dan bersikukuh jika Alexa merupakan tanggung jawabnya, karena insiden itu terjadi di dapur restoran. Namun, kalimat yang diucapkan atasannya terdengar dingin dan penuh nada tidak suka. Isaac tentu tidak berani melawan dan hanya bisa berdiri diam di dalam lift, sambil menyaksikan kedua orang itu berjalan pergi meninggalkannya.
Meski ada sedikit keengganan, Isaac pun kembali ke restoran. Biarpun begitu, dia lega tidak menerima amarah dari bos besarnya, meski kalimat yang ditujukan padanya tadi penuh nada tak suka.
Atau mungkin amarah dari Tuan Fitzroy akan menyusul nanti setelah keduanya kembali dari rumah sakit…