Di dapur restoran, tidak ada koki yang tak menyadari perubahan sikap Emy yang terjadi secara mendadak. Sejak ada pesanan makan malam untuk lantai 51, Emy terus tersenyum sambil melakukan pekerjaannya. Sementara itu, koki lain tak ada yang tidak tahu penyebabnya. Biar demikian, mereka tetap diam dan terus bekerja, membuatkan makanan pada pelanggan yang sudah duduk manis di kursi masing-masing.
Tidak sampai 30 menit sejak makanan diantarkan ke lantai 51, pelayan yang membawakan makanan itu kembali lagi ke dapur. Awalnya, hal itu tidak menarik perhatian. Karena memang, terkadang ada beberapa tamu yang tidak puas dengan makanan dan meminta pengganti. Koki-koki di sana pun tidak ada yang menduga jika makanan yang dikembalikan berasal dari lantai 51.
Begitu piring yang masih ditutup diletakkan di meja dan dibuka, pelayan tersebut baru berkata, "Pengembalian makanan dari lantai 51."
Kalimat tersebut tentu saja menarik perhatian sebagian besar koki, sementara sisanya masih terus bekerja sambil mendengarkan. Di dalam benak mereka, bagaikan ada satu suara yang sama, menduga-duga jika tak lama lagi akan terjadi badai besar di sini.
Benar saja, dalam hitungan ketiga, sudah terdengar teriakan tidak terima dari ujung dapur.
"Apa katamu?! Kenapa makanannya dikembalikan?!"
Bahkan, pelayan yang mengembalikan makanan pun sampai terkejut. Dia nyaris melempar piring berisi makanan tersebut karena kaget, beruntung tidak sungguhan terjadi.
"Tuan Fitzroy bilang mendadak tidak selera makan dan pergi makan di luar," jawab sang pelayan dengan nada takut. Meski di dalam hati, dia menggerutu kesal. Kenapa dia diperlakukan seolah-olah ini adalah salahnya? Padahal tugasnya hanya mengantar makanan dan mengembalikan, bukannya harus memaksa Tuan Fiztroy untuk makan makanan yang dibuatkan oleh dapur restoran.
Karena tak ingin kena marah atas hal yang bukan salahnya, pelayan itu pun segera keluar dari dapur, mengabaikan koki wanita yang masih bicara tanpa henti, menyuruhnya kembali ke dalam dapur.
Sementara itu, Koki Smith menyergah, menyuruh Emy diam dan kembali bekerja. "Tutup mulutmu dan kembali bekerja. Masih banyak pelanggan yang butuh makan." Nada yang diberikan oleh kepala koki begitu dingin, sanggup membuat Emy tutup mulut dalam sekejap.
Wanita itu pun menggertakkan giginya dan kembali bekerja di posisinya. Diam-diam, dia mengumpat dalam hati, bersumpah akan menyeret pelayan lelaki itu nanti setelah restoran tutup, kemudian menginterogasinya hingga puas.
Jawaban 'Tuan Fitzroy mendadak tidak selera makan dan memilih makan di luar' itu terdengar konyol. Secara tidak langsung, dia mengatakan bahwa masakannya menghilangkan selera! Tentu Emy tidak terima. Semua itu dianggapnya sebagai fitnah dan kebohongan yang dibuat-buat oleh pengantar makanan.
…
Alexa sama sekali tidak tahu kemana tuannya mengemudikan mobil. Meskipun dia sudah cukup familiar dengan jalan-jalan yang dilewati, namun Alexa tetap tidak tahu tujuannya. Dia tidak berani bertanya dan memutuskan diam, mengira jika tuannya sedang tidak ingin bicara karena kejadian di ruang makan tadi.
Sesungguhnya, Alexa juga tidak tahu kenapa tuannya mendadak mengatakan tidak nafsu makan. Aroma steak yang dipanggang itu sudah bisa membuat salivanya mengalir deras. Sementara, dugaan Alexa hanyalah karena bosan makan fillet mignon, makanya langsung mengatakan tidak nafsu makan.
Di dalam hati, gadis itu berharap tuannya tidak membawa ke restoran mahal yang mengharuskan menggunakan pakaian rapi. Dengan perban yang melilit tangan kiri, sebagus apapun pakaian yang dia kenakan, pasti tidak akan terlihat menyenangkan. Lagipula, pakaian yang dikenakan oleh sang pemuda di sebelahnya terlihat sangat santai.
Tidak lama, mobil pun berbelok ke restoran pizza. Begitu kendaraan berhenti dan mesin dimatikan, Alexa menghela napas lega.
Senyum terus terkembang di wajah Alexa, karena akhirnya dia bisa makan pizza. Seperti yang Skylar tahu, apa yang gadis itu rasakan selalu tergambar jelas di wajahnya. Dia pun tak mungkin tidak sadar betapa senangnya Alexa datang kemari. Matanya berbinar senang, senyum tak sabar, kepala yang ditolehkan ke kanan dan kiri, menatap makanan milik orang di meja lain.
Kekeh kecil pun lolos dari bibirnya, menarik perhatian Alexa yang saat itu sedang menatap potongan pizza di meja sebelah.
"Aku baru sadar kau tidak pernah buat pizza di rumah," kata Skylar tanpa menunggu gadis yang duduk di depannya mengutarakan keheranannya karena ditertawakan.
"Nampannya tidak ada. Saya harus menunggu gaji bulan depan jika akan membelinya."
Tentu saja, Alexa juga sangat ingin membuat pizza sendiri di rumah. Sayangnya, belum ada nampan yang cukup besar untuk digunakan memanggang pizza ukuran sedang. Jika tuannya tidak keberatan makan pizza berbentuk persegi, maka Alexa tak akan membelikan loyang lain.
"Tak usah menunggu gajimu, beli saja pakai kartu kredit yang kuberikan padamu."
"Eh … boleh?"
Skylar mengangkat sebelah alisnya. Dia lupa kalau Alexa bukanlah perempuan gila harta seperti kebanyakan wanita yang dikenalnya. Gadis itu pasti selalu meminta izin setiap kali akan menggunakan uangnya. Jujur saja, karena sifat Alexa yang semacam itu, membuatnya merasa tenang dan tak pernah mengecek berapa jumlah pengeluaran kartu kredit yang dipegang Alexa setiap bulannya.
"Pakai saja, toh kau juga membuatkan makanan untukku." Anggap saja ini adalah sebuah hubungan timbal balik. Skylar bisa menyediakan fasilitas apapun untuk Alexa, sementara gadis itu menggunakan asetnya untuk membuat Skylar puas. Dia mengeluarkan materi, yang kemudian diubah menjadi sesuatu menggunakan skill milik Alexa.
Kemudian, Skylar menyodorkan buku menu pada gadis yang duduk di depannya. Sejak dia sering makan di luar bersama Alexa, Skylar selalu menyuruh gadis itu yang memilihkan menu. Kecuali jika Alexa merasa sungkan jika dibawa ke restoran mahal seperti waktu lalu.
"Kau yang pilih."
Tidak seperti saat berada di restoran mahal, Alexa dengan senang hati menunjuk satu menu pizza karena tidak terbebani harga. Satu menu yang sangat ingin dicobanya sejak dulu.
Skylar hanya mengangguk, tidak keberatan dengan menu apapun yang dipilihkan untuknya. Kemudian, dia meletakkan saku sikunya di atas meja, menggunakan tangan untuk menyanggah dagu. Bukan sikap yang baik, tapi tak akan ada yang peduli karena restoran semacam ini tak membutuhkan table manner.
Kemudian, pemuda tersebut mengatakan apa yang ada di pikirannya. "Apa lebih baik pesan satu lagi untuk dibawa pulang? Untuk sarapan besok pagi…"
Alexa tentu saja tidak keberatan. Dia tidak punya hak mengatur menu makanan ketika dia sedang dilarang masuk ke dalam dapur. "Kenapa? Tidak pesan dari bawah saja?" Hanya saja, dia penasaran, karena memesan dari restoran di bawah pasti mendapat menu yang lebih variatif.
"Tidak. Aku tidak ingin menemukan benda aneh bersama makananku seperti barusan."
…
Pukul sembilan malam, restoran di hotel sudah tutup dan tidak melayani pesanan lagi. Setelah para tamu keluar dari sana, sebagian lampu dimatikan, menyisakan beberapa sebagai penerangan redup di dalam sana.
Di dalam dapur, para koki sedang bersih-bersih dan merapikan peralatan. Hanya Emy yang melakukannya dengan buru-buru, hingga dia selesai mendahului rekan-rekan lain, kemudian langsung melesat pergi, meninggalkan tanda tanya di kepala masing-masing.
Wanita itu bahkan keluar dari dapur tanpa mengganti pakaiannya. Dia mencari pelayan laki-laki yang mengembalikan makanan yang dia siapkan ke dapur. Ada banyak pertanyaan yang belum terjawab karena tadi dia sudah disela oleh orang lain ketika akan menginterogasinya.
Setelah mencari ke beberapa tempat, Emy akhirnya menemukan pelayan itu di ruangan karyawan. Tanpa basa-basi, dia menariknya paksa ke tempat parkir bawah tanah. Emy sama sekali mengabaikan perlawanan dari pelayan lelaki tersebut. Begitu mereka sampai di tempat parkir bawah tanah, dia langsung menatap tajam pada sang pelayan.
"Katakan, apa yang tadi terjadi di atas sampai kau mengembalikan makanan ke dapur."
Setiap kata yang diucapkan Emy penuh penekanan, hingga membuat pelayan lelaki tersebut terdiam sesaat. Mau tak mau dia diam dan menurut, karena ada sedikit perasaan terancam setelah mendengar kalimat wanita di depannya.
"Tadi…"