Ketika pintu lift membuka dan menampakkan lobi hotelnya yang mewah, pemuda itu segera bergegas keluar dan berlari ke arah pintu putar otomatis. Diabaikan pandangan bertanya-tanya dari beberapa orang yang kebetulan berada di sana, maupun tatapan bingung dari para pekerja hotelnya yang nyaris tak pernah melihatnya berlari terburu-buru seperti itu.
Namun ketika menemukan dirinya berada di jalanan yang cukup ramai, dia kemudian berhenti, menoleh ke kanan dan kiri dengan kebingungan. Sebaiknya ke Leadenhall atau Royal Exchange?
Selang dua menit setelah berhenti, Skylar kemudian berbelok ke kiri dan kembali berlari menyusuri trotoar hingga bertemu dengan jalan raya yang lebih besar.
Dia kembali berlari, mengecek jamnya berkali-kali dan memastikan waktunya masih banyak. Dia cukup tahu toko-toko di Royal Exchange belum akan tutup dalam waktu satu-dua jam ke depan, namun dia merasa sedikit tidak enak karena telah terlanjur menyuruh Alexa agar jangan bergerak dan menunggunya begitu saja.
Sebuah ide yang terbesit di kepalanya tadi tentu saja adalah untuk memberi hadiah pada Alexa. Skylar tahu itu bukan kewajibannya untuk membelikan sesuatu sebagai kado ulang tahun sang gadis. Tapi mengingat perlakuannya pada sang pelayan yang cukup semena-mena selama ini, setidaknya dia ingin mengapresiasikan bentuk rasa terima kasihnya pada gadis itu.
Dan juga karena sang pemuda tahu kalau mungkin dia adalah orang terdekat dengan Alexa, setidaknya untuk saat ini. Gadis itu tidak lagi memiliki siapapun sekarang, selain dirinya untuk bergantung.
Memasuki pusat perbelanjaan, lagi-lagi dia dibuat kebingungan dengan pilihan hadiah untuk diberikan pada pelayannya. Pandangannya berpindah dari satu toko ke toko yang lainnya. Kebanyakan merupakan toko perhiasan, dan dia tahu ia tidak mungkin membelikan Alexa barang berupa perhiasan. Lagipula Alexa tidak terlihat seperti orang yang senang memakai perhiasan seperti beberapa orang perempuan yang sedang berlalu-lalang di tempat itu.
Skylar mengembuskan napas panjang dan mulai berjalan, mencari sesuatu untuk diberikan pada Alexa.
Ini sulit. Dia nyaris tak pernah membelikan hadiah pada seorang perempuan selain sang ibu, yang biasanya sudah cukup senang dengan kedatangannya ke Oslo dan membawakan kue blackforest besar.
Kue, gadis itu sudah membuat kue dan tidak ada gunanya dia membeli seloyang lagi. Pakaian pun sepertinya dia lebih senang menyeret Alexa ke toko dan menyuruhnya mencoba sebelum membelikannya pakaian macam-macam yang terlihat pas di tubuhnya, seperti waktu hari kedua gadis itu ada di rumahnya.
Pada akhirnya, dia memasuki Hermes, merasa mungkin lebih baik memberi tas bagi Alexa. Pramuniaga di dalam langsung menyambutnya, sedikit keheranan dengan penampilannya yang sedikit berkeringat dengan napas masih memburu. Dia hanya berkata bahwa membutuhkan tas untuk diberikan sebagai kado ulang tahun pada seorang gadis remaja dan sepenuhnya menyerahkan pada sang pramuniaga untuk menyarankan beberapa jenis tas yang dirasa cocok, hingga akhirnya Skylar memilih satu.
Skylar bahkan tidak bertanya berapa harga barang yang dibelinya dan hanya menyerahkan kartu kredit untuk membayar. Dia keluar dari toko dengan menenteng shopping bag berwarna oranye khas Hermes, melirik jamnya sekali lagi dan menyadari dia sudah pergi hampir setengah jam. Kakinya yang melangkah perlahan kemudian dipercepat hingga menemukan dirinya lagi-lagi berlari menuju ke hotelnya, mengabaikan pandangan penuh pertanyaan dari semua yang berada di lobi dan langsung menuju lift yang membawanya menuju kamarnya di lantai 51.
Waktu singkat yang didapatnya di dalam lift tidak cukup untuk membuat napasnya kembali teratur. Skylar keluar dari lift masih dengan napas terengah, tapi mempercepat langkahnya ke ruang tengah di mana dia menyuruh Alexa untuk menunggu. Matanya menemukan Sophie melingkar dekat kaki sang gadis, dalam keadaan yang sama dengan Alexa, tertidur. Lagi-lagi tertidur dengan damai. Padahal dia yang tadi amat mengantuk saja kini matanya terbuka lebar.
"Alexa, hei."
Diguncangnya pelan bahu sang gadis sampai terbangun.
Lagi-lagi gadis itu ketiduran, entah sejak kapan. Sepertinya karena dia terlalu bersemangat menyelesaikan semua pekerjaan agar bisa memasak benar-benar menghabiskan energinya. Setelah tubuhnya diguncang beberapa saat, Alexa mulai membuka kelopak matanya perlahan.
Pandangannya masih sedikit buram. Kepalanya agak pusing, ditambah leher bagian belakangnya juga sedikit tertarik karena posisi tidurnya yang sama sekali tidak bisa disebut nyaman. Butuh beberapa waktu hingga Alexa benar-benar sadar jika masih ada di sofa. Baru tak lama kemudian, Alexa mengingat akan tugasnya; menunggu tuannya pulang, serta menjaga agar kuenya masih utuh karena akan dimakan lagi sekembalinya pemuda itu kemari.
Dan sekarang, saat dia mendengar suara yang tidak asing, serta ketika sepasang matanya bertemu dengan sosok tuannya, Alexa refleks mengucapkan selamat datang dengan lirih, seolah masih setengah sadar. Tuannya sudah kembali. Disempatkannya melirik jam yang tergantung di dinding tak jauh dari sana, dan jam itu menunjukkan jika tuannya hanya pergi sekitar tiga puluh menit.
Namun setelah Alexa kembali menatap pada tuannya yang terlihat lelah, dia sedikit memiringkan kepala. Pandangannya bertanya-tanya, apa gerangan yang membuat pemuda itu hingga terengah-engah seperti sekarang. Sama seperti saat pergi tadi yang sangat terburu-buru, apakah kembali lagi kemari juga dengan terburu-buru? Memangnya ada apa yang membuatnya hingga terengah-engah begini?
"Tuan baik-baik saja? Saya ambilkan air du—AAHH!"
Satu teriakan sontak dikeluarkannya ketika akan menaruh piring kecil di tangannya ke atas meja. Seharusnya piring itu masih berisi kue yang nyaris utuh, cheesecake milik tuannya yang janji akan dihabiskan sekembalinya dari urusan yang nampak mendesak.
Seharusnya.
Tapi yang Alexa lihat, piring itu kosong. Bersih.
"Sophie!"
Alexa menatap tidak percaya ke arah anjing itu. Berani-beraninya Sophie memakan kue di tangannya saat dia tertidur. Ditambah lagi, ketika Alexa menyeru, hewan berbulu putih itu hanya membuka sebelah matanya, mengibaskan ekornya singkat, dan kembali tidur.
"Ma-maaf, kuenya habis ... dimakan Sophie..." Terdengar nada penyesalan dalam kalimatnya. Alexa tidak tahu apa lagi yang harus dia katakan. Dia memang salah karena lengah dengan tertidur di sofa begitu saja. Bahkan saat Sophie mencuri kue di tangannya, Alexa sama sekali tidak terbangun karena kelewat pulas tertidur.
Pemuda itu hanya tertawa perlahan. Dia memang menyuruh Alexa untuk menjaga kuenya supaya bisa memakannya lagi. Tapi sepertinya Sophie mendahului, padahal dia pergi hanya setengah jam saja. Menegur Sophie seperti yang dilakukan Alexa pun tidak ada gunanya, hewan itu sudah kembali bersantai seakan tidak pernah melakukan kesalahan.
"Tidak apa, sudah seharusnya ia juga mendapat jatah kue, ya kan, Sophie?"
Anjingnya hanya menjawab dengan sebuah salakan singkat.
Alexa menghela napas. Syukurlah jika tuannya tidak marah dan malah memaklumi. Tapi, tetap saja dia harus mengambilkan yang baru dan juga segelas air, melihat keadaan sang pemuda yang mirip dengan pelari setelah menyentuh garis finish.
"Tunggu sebentar, akan saya ambilkan yang baru," kata Alexa sembari berjalan menuju dapur.
Awalnya, dia mengiakan setelah Alexa mengatakan akan mengambilkan kue yang baru. Namun, Skylar mendadak teringat sesuatu dan segera memanggil pelayannya, mencegahnya pergi dari sana saat itu juga.
"Tunggu dulu, Alexa!" Segera, tangannya terulur dan menarik tangan sang gadis, otomatis menghentikan gerakannya. Matanya menatap lurus pada mata pelayannya, membuat Alexa kebingungan.
"Tuan, ada apa—"
Belum sempat Alexa menyelesaikan kalimatnya, sebuah tas belanja berwarna oranye disodorkan padanya.
"Ini, untukmu. Hadiah ulang tahunmu."
Di dalam shopping bag yang diberikannya pada Alexa berisi sebuah tas Hermes berwarna baby pink. Dia tidak tahu apakah gadis itu akan menyukai pemberiannya atau tidak.
Sayangnya, Skylar tidak punya waktu yang banyak untuk berpikir demikian karena sang pemuda memilih kado tersebut dengan agak terburu-buru, kurang dari sepuluh menit, bahkan. Dia tidak sempat memilih banyak dan hanya mengambil satu yang sekiranya cocok untuk sang pelayan. Tinggal berharap Alexa cukup menyenangi pemberiannya, itu saja.
Dan Skylar tidak memberikan waktu bagi Alexa untuk bertanya macam-macam padanya setelah menyerahkan hadiah tersebut. Pemuda itu justru kemudian menarik sang pelayan perlahan, kemudian memeluknya.
Dia tidak pernah melakukan itu sebelumnya. Gestur yang biasa diberikannya pada gadis itu tidak lebih dari sekedar tepukan di bahu. Dan hari ini, entah apa yang mendorongnya, hingga akhirnya Skylar memutuskan untuk mendekap sosok di depannya.
"Happy Birthday, Alexa."