Bagi Alexa yang baru mendapatkan ponsel seumur hidupnya, dia belum paham benar cara penggunaannya selain untuk mengirim pesan dan telepon. Dia belum sempat mengutak-atiknya karena pekerjaan, dan juga lupa. Baginya, membaca buku lebih menyenangkan daripada melihat layar kecil di tangannya.
Akhir-akhir ini, tuannya menyuruh Alexa untuk mencoba macam-macam aplikasi di ponsel. Dia juga mengajarkan caranya menggunakan media sosial. Sebelum ini, Alexa hanya bisa membuatnya, tapi tidak pernah mengunggah apapun ke sana, sehingga dibiarkan kosong begitu saja. Tuannya bilang, dia bisa mengunggah foto-foto di sana dan juga mencari teman-teman semasa sekolah.
Sepertinya pemuda itu mulai khawatir pada Alexa yang tidak punya teman mengobrol di sana kecuali dirinya. Yah, meski dia merasakan hal baik ketika pelayannya tidak melulu sibuk dengan ponsel alih-alih bekerja, tapi Skylar jadi sedikit kasihan.
Sayangnya, Alexa juga tidak punya banyak teman semasa sekolah. Dia penyendiri meskipun tergolong pintar di sekolah dan selalu mendapat peringkat atas. Akibat sering dipukuli oleh bibinya, Alexa sering tidak masuk. Saat hadir pun, dia memilih menyendiri agar luka-luka di tubuhnya tidak terlihat oleh orang lain.
Karena itu pula, teman-temannya banyak yang curiga jika Alexa berbuat curang saat ujian. Banyak dari mereka yang menjauhi secara terang-terangan, dan bahkan melakukan perundungan, membuat Alexa semakin menyendiri dan tidak punya banyak teman.
Makanya, dia tidak peduli dengan mencari teman-temannya di media sosial. Alexa pasti merasa iri jika melihat teman-temannya sedang bersekolah atau apapun itu. Jujur saja, dia masih ingin sekolah. Tapi keadaan yang disebabkan oleh bibinya, memaksa Alexa putus sekolah dan tidak pernah lulus. Menghilang begitu saja dari sekolah.
Biarpun Alexa menerima saran dan petunjuk tuannya soal media sosial, namun Alexa tak benar-benar melakukannya. Alih-alih, dia belajar untuk mencari sesuatu dari browser. Dia sudah bisa mencari video dari aplikasi, sekarang dia belajar untuk mencari informasi menggunakan browser.
Saat ini pukul tiga sore. Sambil duduk di sofa lantai 51, Alexa sedang amat fokus dengan ponsel di tangannya. Karena tak ada hal lain yang ingin dia cari, Alexa pun mencari soal resep dan semacamnya. Sampai sebuah laman yang terbuka, membuat Alexa melonjak kegirangan.
Bersamaan dengan itu, lift berdenting dan terbuka. Pemuda dengan setelan rapi keluar dari sana dan berjalan santai menghampiri sang pelayan.
"Alexa—"
"Tuan! Lihat! Saya menang!" Tanpa membiarkan Skylar menyelesaikan kalimat, Alexa langsung menyela sembari menunjukkan layar ponselnya.
"Menang apa?"
Awalnya, dia sama sekali tidak paham. Apakah Alexa ikut undian di supermarket dan menang? Sampai akhirnya Skylar melihat apa yang tertera di layar ponsel di depannya.
"Pfft. Kau tidak menang apapun, Alexa." Dia tertawa. Isi layar yang ditunjukkan oleh Alexa adalah laman dengan tulisan, 'Selamat! Anda memenangkan 10.000 poundsterling!' sebuah iklan internet yang kebanyakan berisi virus. Apakah gadis itu menekannya karena terlalu girang mendapatkan 'uang'?
"Eh? Tapi di sini katanya saya menang sepuluh ribu pounds…" Gadis itu membalas dengan ekspresi bingung, yang perlahan berubah menjadi ekspresi kecewa.
"Itu hanya iklan internet, kadang-kadang ada virusnya dan akan membuat ponselmu rusak." Dengan separuh tertawa, Skylar menjelaskan. Sudah nyaris tiga bulan gadis itu berada di sini, dan Skylar masih terkesan dengan kepolosannya. Dia jadi penasaran seperti apa hidup yang dijalani oleh Alexa, sampai-sampai dia seperti orang yang baru keluar dari goa setelah sekian ribu tahun.
"Tapi kurasa ponselmu baik-baik saja. Kalau mendadak muncul yang seperti itu, tutup saja. Dan jangan pernah menekan iklan-iklan sejenis itu lagi," tambahnya setelah melihat ekspresi panik sang pelayan. "Jangan terlalu percaya iklan-iklan yang ada di sekeliling website. Fokus saja pada apa yang sedang kaucari."
Alexa mengangguk setelah menghela napas lega. Dia menerima pelajaran berharga hari ini. Untung saja pemuda itu maklum dengannya yang belum pernah memakai ponsel sebelum ini. Malah, Skylar menganggapnya sebagai hiburan.
Setelah terdiam beberapa saat, Skylar teringat dengan sesuatu. Dia barusan naik dari lantai dasar dan berniat mengatakan sesuatu pada Alexa, namun sudah disela karena gadis itu terlalu kegirangan.
"Barusan aku sudah bicara dengan kepala koki, dan dia bersedia mengajarimu kalau restoran sedang tidak sibuk."
Perubahan ekspresi Alexa lagi-lagi datang bagaikan badai. Entah sudah berapa kali Skylar melihat perubahan ekspresi di wajah itu selama kurang dari lima menit ini. Dia bahkan ingin tertawa namun ditahan.
"Sungguh? Terima kasih banyak!"
"Berterima kasihlah pada kepala koki di bawah. Berhubung dapur sedang tidak terlalu sibuk, ayo kuantar kau ke bawah dan menemuinya."
Kalimat ajakan itu tidak segera dijawab. Alexa berkedip beberapa kali, berusaha mencerna apa yang barusan dikatakan oleh tuannya. "Sekarang?"
"Ya, sekarang. Kau tidak berpikir langsung belajar padanya tanpa memperkenalkan diri dulu, kan?"
Apabila gadis itu berpikir bisa langsung belajar tanpa memberi salam dan memperkenalkan diri terlebih dahulu, bisa jadi kepala kokinya akan berubah pikiran. Paling tidak, Alexa harus memberikan kesan baik lebih dulu sebelum benar-benar meminta ilmu dari yang lebih profesional.
"Tidak perlu ganti baju." Skylar buru-buru mencegah sebelum Alexa pergi ke lantai dua untuk mengganti pakaiannya.
Buat apa? Mereka hanya memberi salam. Apalagi, pakaian yang dipakai Alexa sekarang juga bukan pakaian jelek dan kumal seperti sebelumnya. Gadis itu tak akan mempermalukannya bahkan jika hanya mengenakan celana panjang dan juga baju berlengan panjang. Cukup rapi untuk ukuran 'pelayan'.
"Baiklah kalau begitu…"
Alexa pun mengikuti sang pemuda ke dalam lift. Ponselnya diletakkan di atas meja, membiarkannya di sana. Dia tidak menganggap ponsel perlu dibawa dalam hal-hal seperti ini. Lagipula, di celananya tidak ada saku untuk menyimpan ponsel.
Lift turun dengan cepat. Tidak sampai satu menit, mereka sudah tiba di lantai dasar, tempat lobi berada. Keduanya berjalan ke lobi, namun tidak sampai melewati meja resepsionis. Mereka berbelok ke kiri, tempat restoran berada. Tempat itu dipisahkan dengan pintu kaca ganda dari lobi.
Begitu melewati pintu, Alexa bisa melihat tempat itu yang cukup luas. Ada banyak meja dan kursi yang ditata sedikit berjauhan. Tidak ada meja paling besar di sana. Semua meja ditata hanya untuk dua orang. Di bagian tengah ruangan, terdapat chandelier yang membuat tempat itu terlihat mewah.
Karena restoran sedang sepi, ruangan itu semakin terlihat luas. Namun, Alexa bisa melihat beberapa kertas bertuliskan 'reserved' di beberapa meja. Sepertinya meja-meja itu sudah dipesan untuk makan malam nanti.
Alexa mengikuti tuannya menuju dapur. Karyawan yang kebetulan berada dekat dengan mereka, awalnya terkejut melihat orang di luar pekerja dapur yang bermaksud masuk ke sana. Dia berniat melarang, namun setelah melihat siapa lelaki itu, karyawan tersebut berhenti dan mempersilakannya masuk.
Aroma makanan segera menyeruak begitu pintu dapur terbuka. Alexa merasa takjub, karena ini pertama kalinya dia masuk ke dapur restoran, setelah hanya melihat melalui layar kaca. Di dalam dapur, ada sekitar enam koki dengan pakaian khasnya. Kebanyakan laki-laki, tapi ada satu koki perempuan di sana.
Koki-koki itu semuanya sedang bekerja. Meski restoran sedang sepi pengunjung, tangan mereka bergerak. Ada yang mengelap dan membersihkan kompor, mencuci piring, dan lain sebagainya. Menyadari ada yang masuk dan bukan pegawai dapur, mereka semua langsung menoleh. Sadar siapa yang datang, para koki memberi salam satu per satu.
Satu koki yang terlihat paling tua berjalan menghampiri mereka. Koki itu memiliki kumis tipis berwarna abu-abu. Dari wajahnya tampak sudah sangat berpengalaman dengan pekerjaan dapur. Melihatnya, Alexa sudah menebak jika pria tersebut adalah kepala koki di sini.
"Ah, Mr. Fitzroy," sapanya seraya menghampiri.
"Inikah kerabat yang kau maksud?" Pria tersebut bertanya sambil mengamati Alexa yang berada di belakang Skylar.
Gadis itu tidak langsung menjawab, melainkan kepikiran dengan kata 'kerabat' yang dikatakan barusan. Apakah tuannya mengakui dirinya sebagai kerabat saat meminta tolong pada kepala koki? Namun pilihan itu terdengar masuk akal, alih-alih mengakuinya sebagai 'pelayan pribadi' atau semacamnya.
"Benar. Namanya Alexa." Pemuda tersebut mengambil satu langkah ke samping, kemudian memperkenalkan keduanya. "Alexa, ini kepala koki yang kumaksud. Namanya Mr. Smith."
"Ah, selamat sore, Tuan Smith."