Chapter 44 - Berkencan

Natali sedang menunggu ayahnya di dalam mobil dengan khawatir. Rasanya, ia ingin segera pergi dari tempat ini dan tidak kembali lagi. Mengapa ayahnya belum keluar juga dari rumah Aiden?

Beberapa saat kemudian, Deny keluar dari rumah Aiden dengan langkah yang tergesa-gesa. Natali melihat ayahnya kembali dengan tangan yang aneh dan wajah ayahnya terlihat pucat. "Papa, apa yang terjadi dengan tanganmu?"

"Cepat kita ke rumah sakit!" kata Deny dengan dingin. Ia mengabaikan pertanyaan Natali dan bergegas memerintahkan supirnya. Natali tidak berani bertanya lagi. Ia segera membuka pintu dan membantu ayahnya untuk naik ke dalam mobil.

Setelah mobil mereka berjalan dan mereka meninggalkan rumah Aiden, Natali tidak bisa menahan rasa penasaran dalam hatinya.

"Papa, siapa yang membuat tanganmu jadi seperti ini?" tanya Natali pada akhirnya. Tanpa perlu bertanya sebenarnya ia sudah tahu jawabannya. Tetapi ia ingin mendengar langsung, ia ingin tahu apakah Aiden benar-benar sekejam itu.

��Aiden," jawab Deny sambil menggertakkan giginya.

Seperti dugaan Natali, Aiden yang melakukan hal ini pada ayahnya. Apa mungkin Aiden mematahkan tangan ayahnya sebagai ganti untuk mengampuninya?

"Apakah ia sudah memaafkan kita? Apakah ia mau bekerja sama lagi dengan perusahaan papa?" tanya Natali.

Deny langsung menoleh dan menatap putrinya. Bagaimana ia bisa memiliki putri sebodoh ini? Karena kebodohan putrinya ini, sekarang ia telah kehilangan kerjasama dengan Keluarga Atmajaya. Karena kebodohan putrinya, semua rencananya telah berantakan ...

"Kamu masih berani bertanya seperti itu? Apakah kamu tidak sadar siapa yang menyebabkan semua ini?" tangan Deny terasa sangat sakit sehingga ia semakin kesal saat menatap Natali.

Natali langsung menutup mulutnya. Semua ini memang salahnya sehingga perusahaan keluarganya pun ikut terlibat. Tetapi bukan berarti ia tidak punya cara lain.

Natali langsung berusaha untuk mengalihkan pembicaraan. Ia mendapatkan informasi yang mungkin bisa membuat ayahnya sedikit gembira. "Papa, kemarin aku bertemu dengan Raisa. Kata Raisa, kakaknya, Raka Mahendra akan pulang ke Indonesia …"

Bukannya senang, Deny malah merasa kepalanya pusing. "Raka menyukai Anya, bukan kamu. Sekarang, kamu sudah dibuang oleh Keluarga Atmajaya. Mana mungkin Keluarga Mahendra mau menjadikanmu sebagai menantu ..."

"Tetapi lebih baik kita tidak berurusan lagi dengan Aiden, pa. Papa sudah lihat betapa kejamnya pria itu …"

Tentu saja Deny tahu bahwa ia tidak boleh membuat Aiden semakin marah. Pria itu terlalu berbahaya. Tetapi sepertinya semuanya sudah terlambat. Mereka sudah memprovokasi Aiden, membangunkan macan yang tertidur ...

"Kapan Raka kembali ke Indonesia?" tanya Deny tiba-tiba.

"Bulan depan," jawab Natali.

"Hmm … Kamu harus mencari cara bagaimana bisa mendekati Raka," Deny tahu bahwa jalannya untuk mendekati Keluarga Atmajaya sudah tertutup rapat-rapat. Sekarang, ia harus mencari jalan yang baru …

Di Rumah Aiden ...

"Aku akan mengambilkan teh untukmu," Anya berinisiatif membuat teh untuk Aiden untuk meredakan kemarahan Aiden. Selain itu, ia juga ingin melarikan diri sejenak dari suasana yang menegangkan di ruangan itu.

Setelah Anya pergi ke dapur, Aiden memutuskan untuk beristirahat di ruang kerjanya. Hana mengikutinya sampai ke lantai 2 karena ia mengkhawatirkan Aiden. Saat ini Harris sedang keluar sehingga tidak ada orang yang mendampingi Aiden.

"Tuan, mengapa Nyonya tidak memberitahu bahwa kalian sudah menikah?" tanya Hana secara langsung begitu mereka berada di ruang kerja.

Aiden tidak keberatan dengan pertanyaan Hana. Hana sudah bersamanya sejak ia kecil sehingga mereka sangat dekat. "Apalagi yang bisa ia lakukan?" kata Aiden sambil tersenyum tipis. "Jika Deny mengetahui hubunganku dengan Anya, ia pasti akan memanfaatkannya untuk bekerja sama dengan Atmajaya Group."

Hana mengangguk. Melihat sikap Deny tadi secara langsung, ia bisa melihat betapa liciknya pria itu.

"Bu Hana, kalau Harris sudah kembali, suruh ia langsung menemui saya," kata Aiden.

"Baik, Tuan." Pada saat ia menjawab, Aiden tiba-tiba menoleh ke arah pintu ruang kerjanya. Melihat hal itu, Hana juga menoleh ke arah yang sama. Ia menemukan sebuah bayangan terlihat dari celah pintu ruang tersebut.

Hana merasa terkejut. Bagaimana Aiden bisa tahu ada bayangan di ruangan tersebut? Ia bahkan tidak mendengar suara sama sekali. Namun, di sisi lain Hana juga merasa sangat gembira. Sepertinya, mata Aiden sudah membaik! Atau mungkin Aiden sudah bisa melihat ...

Hana bergegas berbalik dan membuka pintu, melihat Anya yang membawa dua cangkir teh berdiri di ambang pintu. Tangan Anya sedang memegang dua cangkir teh sehingga ia tidak bisa membuka pintu ruang kerja Aiden.

Dengan bantuan Hana, Anya segera masuk ke dalam ruang kerja. Sementara itu, Hana bergegas pergi, meninggalkan Anya dan Aiden agar bisa berbicara berdua.

Setelah pintu itu ditutup, Anya meletakkan cangkir teh itu di atas meja dan duduk di hadapan dengan Aiden. Saat itu, otaknya berpikir dengan keras bagaimana ia harus memulai pembicaraan. Apakah ia harus meminta maaf atas tindakan ayahnya?

"Apakah kamu menyalahkanku karena telah mematahkan tangan ayahmu?" sebelum Anya selesai berpikir, Aiden sudah memulai pembicaraan terlebih dahulu. Sebenarnya, ia sama sekali tidak merasa bersalah telah mematahkan tangan Deny. Ia melakukan semua itu untuk Anya.

"Tidak. Kamu tidak salah. Ia yang memaksa ingin membawaku pulang hanya karena aku bermanfaat untuknya," kata Anya dengan pelan. Anya menggenggam kedua tangannya dengan erat, ia merasa sangat gelisah. "Ayahku adalah seorang licik. Ia akan terus mengganggumu hingga ia mendapatkan apa yang ia mau."

Anya merasa khawatir ayahnya itu tidak akan berhenti mengganggu Aiden.

"Aku adalah seorang pebisnis. Dalam bisnis aku selalu mempertimbangkan keuntungan yang aku dapat. Tidak perlu mengkhawatirkan aku," jawab Aiden.

Selain itu, sebenarnya ada hal lain yang Anya khawatirkan, yaitu mengenai pernikahan mereka.

"Aiden … Aku masih belum lulus kuliah. Sebelum aku lulus, bisakah kita merahasiakan pernikahan kita untuk sementara?" tanya Anya dengan suara pelan.

Aiden terdiam sejenak saat mendengar permintaan Anya. Tangannya yang hendak memegang cangkir teh di hadapannya tiba-tiba berhenti. "Kalau kau mau merahasiakan pernikahan kita, lalu bagaimana kita menjelaskan hubungan kita?"

"Pacar?" jawab Anya sambil tersenyum malu-malu.

Melihat hal itu, Aiden kembali tenang. Senyum tipis tersungging di wajahnya. Setidaknya, Anya mau mengakui kalau ia memiliki hubungan dengannya. Ia kembali mengangkat cangkir teh di hadapannya, membawa teh itu ke bibirnya dan menyesapnya pelan.

"Apa yang biasa dilakukan oleh orang yang berpacaran?" tanyanya dengan santai.

Anya berkedip berulang kali saat mendengar pertanyaan itu. "Apakah kamu tidak pernah jatuh cinta?" tanyanya balik.

Mendengar pertanyaan balik dari Anya, Aiden berdeham dan menjawab, "Apakah aku kelihatan kekurangan wanita?"

Anya memperhatikan wajah Aiden yang tampan, tubuhnya yang tinggi, sikapnya yang lembut wanita, kekayaannya yang luar biasa …

Tidak mungkin Aiden kekurangan wanita! Pasti ada banyak wanita yang ingin menjadi kekasih Aiden …

"Tidak …" jawab Anya dengan jujur sambil menggelengkan kepalanya.

"Aku hanya penasaran, bagaimana orang-orang seusiamu jatuh cinta," Usia mereka terpaut cukup jauh. Anya masih berusia 20 tahun sementara usia Aiden sudah berkepala tiga. Ditambah lagi, walaupun banyak wanita yang mengantre, ingin menjadi kekasihnya, bukan berarti ia mau berkencan dengan sembarang wanita.

Aiden menanyakan hal itu sambil menatap Anya lurus-lurus, membuat Anya merasa salah tingkah di bawah tatapan itu. Melihat mata Aiden saat ini, Anya merasa bahwa pria itu sama sekali tidak buta. Tatapannya seolah berusaha untuk menembusnya, mencari tahu isi hatinya yang sebenarnya ...

Selain itu, Anya merasa sedikit malu dengan pertanyaan Aiden. Ia malu harus membahas masalah percintaan dengan seorang pria.

"Aku tidak berkencan selama kuliah. Biasanya orang-orang yang berpacaran akan pergi berkencan, jalan-jalan, makan, menonton bioskop dan lain sebagainya," jawab Anya. Matanya terlihat berbinar dengan penuh damba.

"Apakah kamu tidak berkencan selama kuliah karena kamu tidak bisa melupakan mantan kekasihmu?" tanya Aiden dengan nada yang ringan. Nada itu membuat Anya seolah merasa bahwa mereka hanya mengobrol dengan santai. Tapi Anya tetap harus berhati-hati menjawabnya. Suasana hati Aiden bisa berubah begitu saja dalam sedetik kalau ia salah menjawab.

Aiden mengetahui tentang mantan kekasihnya! Tentu saja pria itu tahu. Apa yang tidak Aiden ketahui …

"Tidak. Aku sibuk belajar dan bekerja. Aku harus segera menyelesaikan kuliahku. Aku juga harus mengurus taman bunga milik mama untuk membiayai rumah sakit mama dan membiayai kuliahku. Kapan aku punya waktu untuk jatuh cinta?" jawab Anya dengan pelan.

"Kalau begitu, karena kita sekarang berpacaran, besok kita akan berkencan!" kata Aiden dengan spontan.

"Eh? Berkencan?"