Chereads / Pernikahan Tersembunyi: My Imperfect CEO / Chapter 42 - Aku Tidak Punya Adik!

Chapter 42 - Aku Tidak Punya Adik!

"Aku tidak punya adik," suara Anya terdengar tenang dan tegas saat mengatakannya.

Jawaban Anya itu bisa diibaratkan sebagai hukuman mati bagi Natali. Satu-satunya orang yang bisa menyelamatkannya di saat-saat seperti ini hanyalah Anya. Namun harga dirinya terlalu tinggi untuk memohon pada Anya. Ia benar-benar membenci wanita itu!

Aiden terdengar puas dengan jawaban Anya. Ia senang karena Anya mengingat nasihatnya untuk tidak selalu bersikap dengan lembut kepada semua orang, terutama pada orang yang berusaha untuk mencelakainya. Sekarang, Anya sama sekali tidak berusaha untuk membela Deny atau pun Natali. Ia mengangguk dan menyuruh para pengawalnya untuk membawa Deny dan Natali keluar dari rumahnya. "Bawa mereka berdua pergi dari tempat ini."

Para pengawal itu langsung melangkah maju, bergegas menjalankan perintah dari Aiden. Namun, sebelum mereka bisa berbuat apa-apa, Natali sudah bangkit berdiri terlebih dahulu.

Natali bangkit berdiri dengan menghentakkan kakinya penuh kemarahan. Rasa malu dan marah seolah bercampur aduk dalam hatinya, membuatnya bangkit berdiri dan berkata dengan angkuh, "Anya! Lihatlah! Kamu bisa tinggal di rumah bagus seperti ini karena siapa? Biaya rumah sakit ibumu sudah terlunasi, semua karena siapa? Siapa yang telah membantumu? Dasar kau wanita tidak tahu diri!" teriaknya sambil menunjuk-nunjuk ke arah Anya.

Mendengar tuduhan Natali, Anya tidak bisa menahan kemarahan yang memuncak di hatinya. Ia memang membutuhkan uang untuk biaya rumah sakit ibunya. Ia memang meminta bantuan Natali dengan meminjam uang, tetapi bukan berarti ia mau menjual dirinya demi uang itu. Ia masih memiliki harga diri!

Natali terus mengada-ngada, mengarang cerita bahwa ia meminta bantuannya untuk mencari seorang pria kaya. Sekarang, ia mengklaim bahwa dirinya lah yang telah membantu Anya sehingga Anya bisa tinggal di tempat yang nyaman dan berkecukupan. Namun, Anya malah bersikap tidak tahu diri dan sama sekali tidak berterima kasih padanya.

"Natali, apakah kamu pikir aku perlu berterima kasih padamu?" mata Anya dipenuhi dengan kemarahan. Jika tatapan bisa membunuh, mungkin ia sudah mencabik-cabik wanita di hadapannya itu.

"Apakah kamu masih belum sadar berkat siapa kamu bisa tinggal di rumah yang bagus seperti ini? Berkat siapa ibumu bisa selamat? Semua itu karena aku!" teriak Natali dengan tidak tahu malu.

Anya tidak bisa mempercayai apa yang didengarnya. Natali membela dirinya dengan cara seperti ini. Ia mengaku sebagai seseorang yang telah membantu Anya sehingga ia bisa mendapatkan kehidupan yang nyaman ini. Sungguh tidak masuk akal!

"Ketika ibu berada dalam bahaya, ayah sama sekali tidak mau membantu. Kamu berkata akan meminjamkan uang kepadaku dan aku mempercayaimu. Tetapi apa yang kudapatkan? Kamu malah memberi obat pada minumanku. Sekarang, karena aku bertemu dengan Aiden, kamu bilang bahwa semua ini berkat kamu?" tangan Anya gemetaran saat mengatakan hal itu. Tidak pernah seumur hidupnya ia merasa semarah ini. Saat ini, benar-benar tidak bisa menahan emosinya.

Sebelum ia melakukannya, Deny sudah menampar wajah Natali dengan keras, "Siapa yang suruh kamu berdiri? Berlututlah dan akui kesalahanmu. Minta maaf pada kakakmu!" teriaknya.

Tamparan itu membuat Natali kembali tersungkur di tanah. Sebelumnya, kakinya sudah terasa pegal dan kaku karena terlalu lama berlutut. Sehingga saat ayahnya menamparnya, kakinya itu tidak kuat untuk menahan tubuhnya yang oleng.

Aiden hanya menyaksikan semua itu dengan tatapan dingin. Matanya terlihat misterius dan tidak tertebak. "Anya, aku mengingat bahwa ibumu hanya punya satu putri. Bagaimana bisa kamu memiliki saudara sekarang?" tanyanya dengan sinis.

Mata Anya berkedip seolah kembali sadar dari emosinya. Ia menarik dan menghembuskan napas dengan teratur, berusaha untuk menenangkan dirinya. "Aku tidak punya adik!" jawab Anya sekali lagi, mengulang pernyataannya sebelumnya dengan lebih tegas.

"Anya Tedjasukmana!" teriak Deny dengan keras.

Deny merasa geram melihat tingkah Anya yang semakin memperkeruh suasana. Anak itu bukannya membantu orang tuanya untuk menyelesaikan masalah, malah membuat semuanya semakin rumit. Dasar kurang ajar!

Teriakan Deny membuat tubuh Anya sedikit tersentak. Ia langsung bersembunyi di belakang tubuh Aiden, sementara tangannya memegang ujung baju Aiden dengan sedikit gemetar. Ia tidak pernah mendengar ayahnya membentaknya dengan keras seperti ini. Selama ini ayahnya tidak pernah memedulikannya sehingga pria itu juga tidak mau buang-buang waktu untuk memarahinya seperti ini.

Melihat ketakutan Anya, Aiden berbisik pelan, "Tidak perlu takut. Ada aku di sini!" Kalimat itu saja sudah cukup untuk membuat Anya merasa lebih tenang. Tetapi tangan Anya masih memegang ujung baju Aiden seakan ia bisa mendapatkan ketenangan lebih dari sana.

Sementara itu, Deny yang merasa sangat geram tidak tahu harus melampiaskan kemarahannya kepada siapa. Saat ini, orang yang berada paling dekat dengannya adalah Natali.

Sepertinya hari ini bukan hari keberuntungan bagi Natali ...

Deny langsung menendang tubuh Natali dengan keras, membuatnya mengerang kesakitan. "Minta maaf pada kakakmu!" teriak Deny sambil menendang tubuh Natali berulang kali. Melihat ayahnya yang menggila, kali ini Natali benar-benar ketakutan. Ia merangkak dengan cepat ke arah Anya dan memohon, "Kakak! Tolong aku. Ayah benar-benar akan membunuhku."

Air mata membanjiri matanya saat ia berusaha untuk meraih Anya. Air mata itu bukan air mata penyesalan melainkan air mata karena rasa takut dan rasa sakit yang ia rasakan karena sikap Deny.

Aiden langsung menghalangi begitu Natali berusaha untuk mendekati Anya. Ia memanggil para pengawalnya dan menyuruhnya untuk menyeret Natali keluar.

"Kakak! Tidak… Maafkan aku! Tolong aku!" teriaknya sambil menangis dan meronta-ronta saat para pengawal itu menyeretnya keluar. Namun, tidak ada satu orang pun yang memedulikannya.

Melihat Natali yang diseret dan dipaksa untuk pergi, Deny merasa panik. Ia panik, bukan karena takut putrinya kenapa-kenapa, tetapi karena takut usahanya untuk memperbaiki hubungan dengan Aiden akan gagal. "Aiden, Anya dan Natali adalah putriku. Mereka berdua adalah putriku. Tidak masalah siapa yang kau pilih …"

Kata-kata itu seperti pisau yang menusuk hati Anya. Tidak hanya menusuknya begitu saja, tetapi juga memelintir lukanya, membuat luka yang menganga itu berdarah-darah. Aiden bisa merasakan kesedihan yang dirasakan Anya, kesedihan itu membuatnya semakin marah.

Senyum yang dingin dan sinis tersungging di bibirnya. "Anya bukan putri keluarga Tedjasukmana. Ia adalah putri dari Diana Hutama."

Tubuh Deny menegang saat mendengar nama mantan istrinya keluar dari mulut Aiden. Ia menatap ke arah Anya, tetapi putrinya itu sama sekali tidak membantah dan membelanya.

Deny menggertakkan giginya dan berkata, "Anya, ayo pulang dengan ayah!"

Anya tersentak karena permintaan Deny yang tiba-tiba. Tangannya meraih tangan Aiden dan memegangnya dengan erat. "Ini adalah rumahku. Rumahku adalah tempat di mana Aiden berada …"

Aiden tersenyum tipis saat mendengar kata-kata Anya. Tatapannya melembut saat ia melihat Anya yang memegang erat tangannya dan menjawab ayahnya dengan tegas.

"Anya Tedjasukmana! Wanita macam apa kamu, tinggal di rumah seorang pria? Ibumu masih sakit. Aku tidak akan meninggalkanmu sendirian tanpa pengawasan!" Deny sepertinya sudah kehabisan cara agar Aiden memaafkannya sehingga sekarang ia berusaha untuk memisahkan Anya dengan Aiden.

Sebagai seorang ayah, ia berhak untuk membawa putrinya pulang. Ia akan memberi putrinya itu pelajaran yang berarti sehingga lain kali Anya tidak akan menentangnya seperti ini. Ia akan menghajar putrinya yang kurang ajar ini!

Anya merasa panik dan ketakutan saat melihat tatapan di mata ayahnya. Ia tahu bahwa ayahnya marah besar. Ia tahu bahwa begitu ia pulang ke rumah ayahnya, ayahnya itu tidak akan memperlakukannya dengan baik. Ditambah lagi, ada Mona di rumah ayahnya. Wanita itu juga sama mengerikannya!

Tanpa sadar, tubuhnya gemetar ketakutan dan air mata mulai menggenang di matanya. Cengkeramannya pada tangan Aiden semakin erat. Ia benar-benar takut. Ia tidak mau ikut dengan ayahnya.

"Aiden …" gumam Anya sambil menatap Aiden dengan panik.